Tak Sebatas Sentra Batik Tulis
Sumber daya alam yang minim bukan hambatan untuk maju. Ini dibuktikan oleh warga Desa Jarum yang dari tahun ke tahun mengembangkan desanya sebagai sentra batik tulis. Kini, desa itu mengembangkan diri sebagai desa wisata.
Minimnya potensi sumber daya alam untuk pertanian mendorong warga Desa Jarum, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, mengembangkan ekonomi kreatif, yakni usaha batik. Jarum menjadi sentra batik tulis dengan kekhasan pewarna alami, sekaligus desa wisata.
”Lahan sawah di Jarum semuanya lahan tadah hujan sehingga warga tidak bisa menggantungkan penghasilan dari pertanian,” kata Kepala Desa Jarum Suratmi, Senin (27/8/2018).
Sebagian besar lahan desa yang berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, ini merupakan lahan kering.
Data Kecamatan Bayat Dalam Angka 2017 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik Klaten menunjukkan, luas lahan sawah di Jarum 31,3 hektar, sedangkan luas tanah kering nonsawah 120 hektar. Luas sawah dengan pengairan teknis dan sederhana tercatat 0 hektar. Artinya, seluruh sawah di Jarum merupakan lahan tadah hujan.
Kondisi itu mendorong warga, khususnya perempuan dewasa, menjadi pembatik. Sementara para pria banyak yang merantau menjadi pedagang angkringan di Solo, Yogyakarta, dan kota-kota lain. Sebagian sukses menjadi juragan angkringan.
Suratmi mengatakan, sebagai sentra produksi batik tulis di Klaten, Jarum kini dikembangkan sebagai desa wisata. Desa wisata Jarum dirintis pada 2013. ”Kami telah membentuk kelompok sadar wisata,” katanya.
Selama tiga hari, Jumat-Minggu (24-26/8/2018), di Jarum digelar Festival Batik Jarum dengan tema Klaten Mbiyen (dahulu). Festival tahunan ini disemarakkan dengan lomba peragaan busana batik, membatik bersama di kain sepanjang 50 meter, pertunjukan seni gejog lesung dan wayang kulit, serta pameran batik yang diikuti para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah batik di Jarum.
”Festival ini digelar untuk mempromosikan desa wisata Jarum serta untuk mengembangkan UMKM batik,” ujar Ketua Panitia Festival Batik Jarum 2018 Susana Dewi Puspitawati.
Susana menyebutkan, usaha kreatif batik di Jarum dipelopori Purwanti pada 1968. Sejak itu, usaha batik berkembang hingga kini. Membatik menjadi pekerjaan utama ataupun sambilan untuk menambah penghasilan warga. ”Umumnya ibu-ibu di Jarum itu bisa membatik. Istilahnya, orang Jarum baru lahir sudah bisa pegang canting,” ujar Susana, putri Purwanti.
Di Jarum tercatat ada 25 kelompok UMKM batik dengan jumlah tenaga kerja 200-300 orang. Mereka membatik menggunakan canting dan bahan baku malam yang umumnya dikerjakan di rumah masing-masing. Setiap pembatik bisa mengantongi Rp 80.000 per potong kain tergantung kerumitan motif batik yang dibuat. Selain batik tulis, sebagian UMKM ada yang membuat batik cap. ”Batik buatan Jarum telah dipasarkan ke berbagai daerah di Jawa sampai ke luar Jawa,” katanya.
Titik balik
Tidak sedikit pelaku usaha batik di Jarum membuka usaha diawali dari menjadi karyawan di usaha batik milik orang lain. Winarti (37), pemilik Win Batik, misalnya, sebelum membuka usaha batik sendiri, pernah bekerja sebagai pembatik untuk orang lain. Bencana gempa bumi 2006 mengubah jalan hidupnya.
”Akibat gempa 2006, tempat saya bekerja berhenti produksi sementara. Setelah gempa, ada pelatihan bagi pembatik yang diadakan IOM (Organisasi Internasional untuk Migrasi) untuk pemulihan mata pencarian masyarakat, saya ikut,” tuturnya.
Winarti pun mendapatkan berbagai pelatihan, antara lain pembuatan pewarna alami, manajemen usaha, dan pemasaran batik. Setelah mengikuti pelatihan, Winarti bergabung dalam kelompok UMKM batik. ”Tahun 2011, saya memberanikan diri mandiri. Saya bekerja sendiri, saya pasarkan sendiri,” ujar Winarti yang kini menggandeng lima pembatik.
Batik tulis dia produksi menggunakan bahan pewarna alami. Pewarna alami menjadi keunggulan dan kekhasan batik tulis Jarum. Dengan pewarna alami, warna batik tulis terkesan teduh dan kalem. Harga jual batik tulis Rp 300.000-750.000 per potong. Winarti dan Suratmi menilai ada persoalan klasik regenerasi pembatik di Jarum. Para remaja putri kini kurang berminat menggeluti batik.
Sebaliknya, Susana yang kini mengelola batik Purwanti tetap optimistis, Jarum tidak akan kehabisan generasi pembatik. ”Selama ada (perempuan) yang tinggal di Jarum, mereka tetap akan membatik. Sebab, membatik bisa dikerjakan di rumah kapan pun. Mereka bisa bekerja tanpa meninggalkan rumah,” katanya.
Terus berkembang
Batik ternyata juga menarik minat pemuda Jarum. Setiawan (21), salah satunya. Tak hanya bekerja sebagai pembuat pola motif batik, ia mengembangkan usaha kaus lukis dengan pewarna alami batik. Kaus dilukis motif batik, bunga, barong Bali, dan obyek lukisan lain.
”Pewarna alami memiliki keunggulan dibandingkan dengan cat minyak untuk melukis di kaus sebab bisa meresap ke pori-pori kain,” kata lulusan SMK jurusan otomotif ini.
Setiawan menitipkan kaus buatannya ke pedagang suvenir di Malioboro, Yogyakarta, serta bekerja sama dengan temannya untuk dijual di toko kaus di Pasar Ngasem, Yogyakarta.
Produknya diminati wisatawan. Setiap bulan, rata-rata dia bisa menjual 20 kaus seharga Rp 200.000 per buah. Ia pun semakin bersemangat mengembangkan usaha yang telah dirintisnya sejak dua tahun lalu. Kini, ia tengah menyiapkan produk baru, yaitu kaus batik tulis dengan motif rancangan sendiri.
Suratmi yang juga memiliki usaha batik menuturkan, berkat usaha batik tulis, tidak ada pengangguran di Jarum. Upaya pengembangan desa wisata Jarum diharapkan dapat semakin meningkatkan pendapatan masyarakat desa. Untuk pengembangan desa wisata ini, Pemerintah Kabupaten Klaten memberikan dukungan antara lain perbaikan infrastruktur desa.
Pengelolaan desa wisata Jarum dilakukan oleh paguyuban Pendopo Jarum yang dipimpin Susana. Menurut dia, paket-paket wisata telah disiapkan bagi para wisatawan, antara lain kelas kerajinan, kelas seni dan tani, kunjungan industri, homestay, dan mancakrida (outbound).
Di kelas kerajinan, para wisatawan bisa praktik membatik menggunakan canting atau cap di atas kain, gantungan kunci kayu, atau topeng kayu dengan tarif Rp 15.000-Rp 40.000 per orang. Wisatawan juga bisa mencoba memahat serta menghaluskan batu alam yang dibentuk menjadi cobek dan ulekan dengan tarif Rp 15.000-Rp 25.000 per orang. ”Paket kelas batik diminati sekolah-sekolah yang ingin memberi pengalaman siswa-siswi mereka belajar membatik,” katanya.
Di kelas seni dan tani, pengunjung dapat melihat serta belajar memainkan gamelan, tari tradisional, dan memainkan seni musik gejog lesung. Bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana bermalam di desa bisa menginap di homestay bertarif Rp 80.000 per malam.
”Kami sekarang fokus mengembangkan desa wisata, menjaring tamu-tamu untuk belajar membatik, dan pengalaman unik lain,” kata Susana. Hal ini untuk mengoptimalkan potensi Jarum sebagai sentra batik tulis.