Kulit Manis Terakhir
”Masuklah, boleh asal ada tempatnya. Dempet- dempet tak apo asal hati tak sempit,” sapa ramah Janaruddin (76), bapak pemilik warung kopi di Desa Pulau Raman, Kecamatan Muara Siau, Kabupaten Merangin, Jambi, April 2018. Sesaat ia menyuguhkan beberapa gelas kopi robusta lokalan yang diolahnya sendiri secara tradisional pesanan Tim Kaldera Badang Geologi Kementerian ESDM.
Maklum, warungnya sempit. Janaruddin meminta tamu dan pelanggannya tak keberatan duduk berdempetan di tiga kursi kayu panjang 1 meter dengan satu meja papan kayu persegi panjang berukuran sekitar 1 meter x 2 meter.
Kebanyakan mereka yang datang ke warung Janaruddin memesan kopi. Meskipun di Merangin, minum kopi bukan tradisi asli masyarakat setempat karena mereka mengenal kopi sekitar 10 tahunan belakangan. Berkembangnya perkebunan kopi karena ada permintaan perluasan kebun dari provinsi lain di Pulau Sumatera. Maka, sebagian dari mereka hanya sebagai pemilik lahan, penanam, tetapi kurang lihai mengolah panenan biji-biji kopi robusta, apalagi arabika.
Sepanjang perjalanan berkeliling di Merangain, penjemuran biji kopi robusta di atas lembaran terpal menjadi pemandangan hampir di setiap rumah warga. Lalu menjelang petang, terpal- terpal digulung dan tetap di halaman.
Perkebunan kopi pun belakangan benar-benar menjadi pilihan warga setempat sebagai komoditas penopang ekonomi setempat. Apalagi melewati wilayah Kecamatan Lembah Masurai, kebun kopi menjadi panoramanya.
Sebelumnya, mereka mengandalkan karet dan kulit manis (Cassia vera). Sekali panen, pemilik mendapatkan 500 kilogram karet berupa kotak-kotak karet padat. Satu kotak karet padat memiliki berat 60 kilogram. Harga per kilogramnya tercatat Rp 6.000 dan bisa berfluktuasi sesuai pasar.
Untuk memanen kulit manis diperlukan puluhan tahun, sedangkan kopi tidak membutuhkan puluhan tahun untuk berbuah dan dipanen. Harga kopi lumayan menjanjikan saat para peneliti kaldera datang. Harga kopi robusta berada di Rp 21.000 per kilogram. Rata-rata panen setahun dua kali dari 1 hektar lahan mendapatkan sekitar 400 kilogram biji kopi kering.
Produksi kopi Kabupaten Merangin, dalam periode tahun 2013-2017, merambat naik. Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Merangin tahun 2018 mencatat produksi kopi tahun 2013 sebanyak 6.493 ton dan bertambah menjadi 6.866 ton pada tahun 2017.
Karet masih bertahan sebagai andalan. Khas bau karet kering dapat terhirup di beberapa desa sekitarnya. Angka produksi lima tahun terakhir juga naik dari 60.772 ton pada tahun 2013 menjadi 64.479 ton pada tahun 2017.
Hanya saja, produksi kulit manis terus menurun. Tahun 2017 mencatat produksi sebanyak 2.796 ton. Angka ini turun dari produksi tahun 2013 sebanyak 3.396 ton. Rata-rata produksi turun 120 ton per tahun meskipun harga tahun 2018 terhitung Rp 30.000 per kilogram.
Masdiamat (45), warga Desa Renah Plaan, Kecamatan Jangkat, memilih mengganti sekitar satu hektar kebun kulit manisnya menjadi tanaman kopi robusta. Ia hanya menyisakan tiga pohon kulit manis dari puluhan yang dia punya sebelumnya.
Lahan sekitar kaldera itu memang subur. Begitu pula sekitar kaldera Masurai. Berdasarkan hipotesis Badan Geologi, kebun-kebun yang berkembang di lahan kaldera itu subur dan kopi menjadi salah komoditas andalannya.
”Hampir semua tanaman kopi yang tumbuh di lahan kaldera itu terkenal enak. Misalnya, kopi Kintamani yang berasal dari kaldera Batur, kopi Ijen dari kaldera Ijen, dan Masurai bisa jadi juga enak tinggal bagaimana cara pengolahannya saja, baik robusta maupun arabika. Ya hanya belum ada penelitiannya secara pasti,” kata Dipowigubo, Koordinator Tim Kaldera Masurai Badan Geologi, saat ke Merangin, Jambi, pertengahan April 2018.
Selain perkebunan kopi, karet, dan kulit manis, Merangin juga mengandalkan tanaman hortikultura, seperti kentang dan sayuran. Hanya saja, tanaman hortikultura tetap harus memperhatikan kondisi alamnya. Mengapa? ”Ya, tanaman hortikultura itu sebaiknya bukan tanaman utama karena tidak bersifat mengikat air. Jika hujan turun dan deras, banjir bisa menjadi ancaman bencana yang nyata. Jadi informasi mitigasi tetap harus terus disosialisasikan agar masyarakat tetap harmonis dengan alam Gunung Masurai,” ujar Dipo.
Berkeliling desa di sekitar kaldera Masurai, pemandangan tak lepas dari persawahan, perkebunan, dan juga bunga warna- warni yang tumbuh di hutan ataupun halaman rumah warga. Udara segar dan dingin menyelimuti sepanjang hari, apalagi pagi hari.
Sesekali jika berjalan kaki berpapasan dengan warga setempat dan anak sekolah, melihat aktivitas di persawahan dan perkebunan, atau ketika menjelang malam, mereka pulang dari shalat berjemaah di masjid.
Hanya saja, warga setempat tak terlalu paham apa itu kaldera Masurai, gunung yang dilihat setiap hari dengan radius melingkar 15 kilometer itu meletus besar. Mereka tak tahu kapan, bagaimana, dan seperti apa letusannya.
Buku Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor menceritakan perdagangan hasil hutan dan kendali yang dimiliki Jambi terhadap Selat Malaka. Jambi kala itu merupakan jalur utama perlintasan kapal-kapal asing. Hal ini menjadi alasan utama mengapa Jambi menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam bidang ekonomi.
Setelah Jambi diperintah Adityawarman pada abad ke-14, datanglah bangsa Eropa. Lalu, pedagang-pedagang asal Arab dan Portugis mulai singgah di Jambi pada abad ke-16. Abad selanjutnya, komoditas lada menarik perhatian pedagang Inggris dan Belanda. Perusahaan East India Company (EIC) milik Inggris menganggap Jambi sebagai sumber utama lada mereka dan membawa kain India serta emas sebagai alat penukarnya.
Beberapa literatur menyebutkan, berkat lada dan keterampilan bangsawan Jambi dalam memanfaatkan persaingan Inggris dengan Belanda, daerah itu menikmati masa kemakmuran. Jambi hingga Palembang mengalami kemakmuran.
Komunitas pedagang China yang bermukim menjadi penghubung utama para petani lada dan pedagang lokal dengan para kapten kapal pedagang dari Jawa, Siam, China, Inggris, dan Belanda. Selain lada, Jambi juga mengirim komoditas damar, terutama jenis yang dikenal sebagai jerenang atau dragon’s blood ke China dan Eropa.
Jatuhnya harga lada, konflik dengan Johor, dan kemudian perpecahan antara warga di pegunungan dan yang tinggal di dataran rendah akhirnya memicu memudarnya pengaruh dan kekuatan ekonomi Jambi.
Awal abad ke-19, mitra dagang utama Jambi menjadi Singapura dan Penang (Malaysia). Damar masih menjadi komoditas utamanya. Lalu, abad ke-20, Belanda menguasai dengan membawa komoditas karet. Karet menggantikan lada.
Hingga tahun 2017, produksi lada terus tergerus hingga tahun 2017. Pemerintah Kabupaten Merangin mencatat tak ada lagi produksi lada pada tahun 2016 dan 2017. Hal ini terindikasi dalam kurun 3 tahun produksinya hanya mentok di 3 ton pada tahun 2013.
Beragam perjalanan komoditas Jambi dari sejarahnya. Catatan pasang dan surut komoditas yang diperdagangkan. Damar menggantikan lada. Karet menumbangkan kejayaan damar. Pasang surut ini berulang hingga ke masa modern.
Ketika karet surut, yang pasang adalah kulit manis. Kulit manis pun mengalami masa keemasan pada tahun 1980-an.
Bahkan, di Kabupaten Merangin, hamparan perkebunan kopi menggantikan pohon-pohon kulit manis.
Kemilau kulit manis memudar seiring mendesaknya kebutuhan ekonomi masyarakat setempat. Kopi menggantikan harumnya kulit manis. Semoga, kulit manis dari kebun Masdiamat bukan menjadi yang terakhir.
(Ayu Sulistyowati)