Buih-buih Nira Terakhir
Air telah memenuhi permukaan buluh. Hasil deres tandan buah enau itu hampir saja meluber. Pagi itu, Zaelani (58) bergegas memanjat pohon yang menjadi sandaran hidupnya sejak belia.
Sekejap saja ia sudah sampai di atas pohon setinggi 3 meter itu. Buluh yang terikat pada batang buah dengan cekatan dilepaskan, lalu perlahan diturunkan. Adi Ismanto (38), rekannya, bersiap menyambut buluh dari bawah.
Tabung sepanjang 1 meter itu terasa berat karena berisi 8 liter air nira. Itulah hasil penderesan selama semalam dari salah satu tandan buah enau di Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Air nira berwarna putih, berbuih, dan sedikit keruh, namun terasa manis dan segar.
Jika diambil di atas pukul 09.00, kata Zaelani, rasanya semakin asam karena terfermentasi.
Hasil sadapan yang terkumpul langsung dibawa pulang. Air nira dimasak hingga mengental menjadi gula cair. Gula kental itu cukup nikmat diseduh langsung bersama bubuk kopi. Namun, jika dibubuhkan serbuk kemiri, gula cair dapat mengeras dan menjadi bongkahan gula. Dari satu tabung buluh dapat dihasilkan sekitar 1 kilogram gula aren batangan.
Hasilnya dijual ke pasar-pasar tradisional dan supermarket dengan harga Rp 25.000 per kilogram. Dibandingkan gula merah dari tebu, gula aren lebih diminati meskipun harganya lebih mahal. ”Berapa pun yang kami buat pasti langsung habis terjual,” kata Zaelani. Ia memproduksi rata-rata 40 kilogram gula dalam sepekan.
Menjelang hari raya keagamaan, pesanan gula aren membanjir. Zaelani kewalahan melayani. Sementara ia hanya mampu memproduksi maksimal 10 kilogram sehari. ”Tenaga saya tidak akan sanggup kalau lebih dari itu,” katanya.
Meski permintaan cukup besar, produksi gula aren terus menurun. Penurunan itu dirasakan hampir 20 tahun terakhir sejak penanaman tebu meluas di Nusantara. Gula pasir dan gula merah diproduksi massal. Suplainya melimpah di pasaran. Orang lebih mudah membelinya di warung ketimbang harus mengolah sendiri. Di zaman yang serba instan, proses produksi gula aren pun dianggap tak mudah alias merepotkan.
Zaelani masih ingat, sewaktu dirinya muda, pohon enau tumbuh di mana-mana. Hampir setiap keluarga pasti memiliki pohon itu di kebun. Mereka menderes nira untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti untuk teman minum kopi, bahan masakan, dan membuat kue.
Tradisi nira begitu lekat dalam kehidupan masyarakat. Seorang pemuda baru dianggap layak meminang gadis apabila telah terampil menyadap dan menajur. Menyadap artinya menderes nira, sedangkan menajur adalah memancing ikan. Setiap pemuda yang telah memiliki dua keterampilan itu dianggap mampu menghidupi keluarganya secara berkecukupan.
Menderes nira memang tidak semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan keterampilan dan ketelatenan. Sebab, air nira tidak serta-merta menetes dari batangnya. Untuk mendapatkan airnya, salah satu batang tunas buah perlu dipotong, sisanya lalu diikat dan dipukul-pukul, serta dibuat sayatan. Barulah nira akan mulai menetes.
Di sejumlah desa, penyadapan air nira melalui sebuah prosesi ritual. Di desa tua Jambi Tulo, pemukulan tandan buah muda aren berlangsung selama sepekan. Selama itu, pemukulan diiringi dengan nyanyian dan doa. Proses itu disebut nguwal. Pada pekan berikutnya, barulah tandan dipotong dan disayat. Air nira pun keluar lebih deras selama dua hari dua malam.
Beragam produk
Tak hanya gula, dari sebatang pohon enau, beragam produk pangan dan kerajinan bisa dihasilkan. Buahnya, kolang-kaling, bermanfaat sebagai bahan minuman segar. Sementara kulit batangnya untuk melapisi lantai rumah atau membangun jembatan. Tulang daunnya untuk sapu lidi. Serabut pelepahnya untuk sapu ijuk.
Bisa dibilang segalanya dapat diolah dari pohon enau.
Dalam penjelajahannya di Pulau Sumatera abad ke-18, peneliti asal Dublin, William Marsden, secara khusus menulis tentang aren atau yang disebutnya jagri. Ia mendeskripsikan besarnya manfaat dari sebatang enau. Bahkan, Marsden mendapati pohon itu juga memiliki sagu yang dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat.
Sementara itu, ijuk dan gomuto yang sangat mirip dengan rambut kuda yang hitam dan kasar bermanfaat untuk membuat tali dan pena. ”Ijuk ini terdapat pada batang pohonnya dan tampaknya terikat oleh serat-serat tebal atau ranting-ranting yang biasanya dimanfaatkan penduduk setempat sebagai pena untuk menulis,” kata Marsden dalam buku karyanya berjudul The History of Sumatra, 1811.
Meredupnya tradisi nira tak hanya terdesak oleh gula pabrik. Sawit yang meroket di pasar dunia ikut mematikan budidaya enau. Warga mengganti beragam tanaman sumber pangan yang multikultur itu menjadi kebun monokultur.
Adi Ismanto pun mengakui, semasa kecil, rumahnya dikelilingi pohon enau, durian, dan duku. Namun, delapan tahun terakhir, hamparan berganti kebun sawit. ”Dulu, kami senang karena harga sawit bagus. Lebih enak memanen sawit daripada menderes nira. Hasilnya jelas beda,” ujarnya mengenang masa-masa keemasan sawit.
Kini, harga sawit anjlok, masyarakat mulai mengeluh. Sebab, kualitas hidup mereka kini terperosok, tak lagi sejahtera sebagaimana di masa lalu. ”Sekarang sawit sudah tak punya harga. Mau makan apa? Pohon nira sudah tak ada, apalagi durian dan duku,” kata Jalaluddin (60), tokoh adat setempat.
Ia mendorong para pemuda kembali menghidupkan kearifan yang tertanam dalam tradisi lama, seperti pengolahan sagu dari batang enau. Kendalanya, generasi tua yang terampil mengolah sagu enau sudah tiada. Penderes nira pun tersisa sedikit. Tinggal segelintir orang.
Bisa jadi air yang masih menetes dari batang aren di desa itu adalah tetesan-tetesan nira terakhir. Sungguh memilukan.
(Irma Tambunan)