JAKARTA, KOMPAS - Indonesia memiliki struktur perekonomian makro yang berbeda dengan Turki dan Argentina. Oleh karena itu, nilai tukar rupiah masih kuat dalam menghadapi gejolak perekonomian global, kendati sempat mendekati Rp 15.000 per dollar AS pada pekan ini.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam di Jakarta, Minggu (9/9/2018) mengatakan, nilai tukar mata uang rupiah juga ikut terdepresiasi ketika bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve System, menaikkan suku bunganya secara bertahap.
Kondisi itu menimbulkan kekhawatiran Indonesia akan mengalami krisis ekonomi seperti yang dihadapi Turki dan Argentina. Bank Indonesia (BI) menyebutkan, hingga 31 Agustus 2018, rupiah telah terdepresiasi 7,89 persen. Sementara itu, mata uang lira dari Turki terdepresiasi 42,27 persen dan peso dari Argentina lebih dari 50 persen.
“Indonesia bersama kedua negara tersebut memang masuk ke kategori rentan,” tutur Piter. Tetapi, perbedaan yang ada saat ini adalah Indonesia memiliki inflasi yang terjaga dan pertumbuhan ekonomi yang sesuai target, serta cadangan devisa yang mencukupi.
Indonesia memiliki inflasi yang terjaga dan pertumbuhan ekonomi yang sesuai target, serta cadangan devisa yang mencukupi.
BI menyatakan, cadangan devisa Indonesia sebesar 117,9 miliar dollar AS per Agustus 2018. Jumlah itu setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Jumlah cadangan devisa tersebut turun dibandingkan Januari 2018 yang mencapai 131,9 miliar dollar AS. Menurut Piter, penggunaan 14 miliar dollar AS untuk intervensi pasar dan pembayaran selama delapan bulan masih rendah sehingga nilai tukar Indonesia masih dapat terus terjaga hingga akhir tahun 2018.