JAKARTA, KOMPAS--Tantangan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen pada tahun ini semakin kompleks. Tekanan tidak hanya akibat ketidakpastian global, tetapi juga dinamika kondisi politik nasional dan produktivitas yang rendah.
Berdasarkan Laporan Asian Development Outlook Supplement yang diterbitkan Bank Pembangunan Asia (ADB) pada Juli 2018, pertumbuhan ekonomi Asia Pasifik diproyeksikan 6 persen pada tahun ini dan 5,9 persen pada 2019. Pertumbuhan ekonomi RI pada 2018 direvisi, dari 5,3 persen menjadi 5,2 persen.
Director Economic Analysis and Operational Support Division Economic Research and Regional Cooperation Department ADB Edimon Ginting kepada Kompas, mengatakan, tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi tidak hanya dari eksternal, seperti eskalasi perang dagang Amerika Serikat-China. Perekonomian Indonesia bisa melambat akibat dinamika politik nasional dan produktivitas yang rendah.
Oleh karena itu, pemerintah mesti sigap mengantisipasi dampak kedua faktor itu agar target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen pada tahun ini bisa tercapai. Kepercayaan investor harus terus ditumbuhkan. Selain itu, pertumbuhan ekonomi seharusnya tidak lagi ditopang konsumsi.
“Sebagai negara berkembang, ekspor penting sebagai pengendali pertumbuhan ekonomi, bukan konsumsi,” kata Edimon di sela-sela Seminar Nasional dan Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XX di Bandung, Jawa Barat, Kamis (9/8/2018).
Menurut Edimon, saat ini negara-negara berkembang di Asia Pasifik serius menggenjot ekspor demi menyelamatkan ekonomi domestiknya. Strategi ekspor secara masif dikembangkan Vietnam, Thailand, dan Korea Selatan melalui diversifikasi produk dan pasar. Mereka tak lagi bergantung pada komoditas sehingga dampak depresiasi nilai tukar bisa ditekan. Oleh karena itu, strategi peningkatan ekspor mesti konkret dan tuntas dari hulu ke hilir.
Menurut Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono, ekspor bisa lebih optimal dengan memanfatkan ekonomi berbasis digital. Potensi ekspor melalui e-dagang cukup besar karena jumlah konsumen terus naik.
Laporan We Are Social dan Hootsuite, Januari 2018, pembeli barang konsumsi melalui e-dagang di Indonesia pada 2017 sebanyak 28,07 juta orang atau naik 13 persen dalam setahun.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, kualitas pertumbuhan ekonomi nasional cukup baik. Indikatornya berupa pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, jumlah penduduk miskin konsisten menurun, ketimpangan diperbaiki, dan inflasi terkendali.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, Indonesia berpotensi jadi negara berpenghasilan tinggi. Namun, ada syarat bonus demografi bekerja produktif. “Kalau bonus demografi justru menjadi masalah, Indonesia bisa masuk jebakan pendapatan menengah,” kata Perry.
Ekspektasi pasar
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kehabisan daya dorong untuk terus menguat. Pelaku pasar menunggu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden hingga masa pendaftaran berakhir pada Jumat (10/8/2018) tengah malam. Kamis, IHSG ditutup melemah 0,485 persen ke posisi 6.065,256.
Kepala Riset MNC Sekuritas Edwin Sebayang menegaskan, stabilitas pertumbuhan IHSG dapat kembali terjaga jika nama-nama yang muncul sesuai ekspektasi pelaku pasar.
Secara terpisah, Direktur Departemen Internasional Bank Indonesia Erwin Haryono, mengatakan, di tengah pelemahan rupiah terhadap dollar AS, pelaku bisnis dapat memanfaatkan fasilitas Perjanjian Tukar-menukar Mata Uang Lokal (BCSA) dalam perdagangan dan investasi bilateral. Penggunaan mata uang masing-masing negara dapat mengurangi ketergantungan terhadap dollar AS. (KRN/DIM/HEN)