JAKARTA, KOMPAS – Ekonomi Indonesia tumbuh positif pada triwulan II tahun ini. Namun pertumbuhan itu tertahan impor yang meningkat tajam. Di sisi lain, ekspor tidak dapat mengimbangi lonjakan impor karena harga komoditas utama masih bergejolak dan ada hambatan perdagangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2018 sebesar 5,27 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Sementara, pertumbuhan impor pada triwulan II-2018 sebesar 15,17 persen dan ekspor sebesar 7,7 persen. Hal itu menyebabkan pertumbuhan ekonomi dari sektor selisih ekspor dan impor minus 1,21 persen secara tahunan.
Impor tumbuh tinggi karena impor minyak dan gas bumi (migas) meningkat tajam di paruh pertama tahun ini. Di sisi lain, impor barang modal, bahan baku/penolong, serta barang konsumsi juga tumbuh tinggi.
Mantan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi di Jakarta, Rabu (8/8/2018), mengatakan, ekonomi Indonesia itu didorong oleh konsumsi. Saat ini dan nanti ke depan, pola konsumsi dan barang konsumsi masyarakat Indonesia terus berubah.
Hal itu tidak terlepas dari pertumbuhan kelas menengah yang semakin bertambah dan pergeseran desa menjadi kota. Apabila kebutuhan konsumsi itu tidak terjawab dengan suplai dari dalam negeri, Indonesia bisa bergantung impor.
“Impor bukanlah suatu hal yang tabu untuk dilakukan. Jika memang tidak mampu memproduksi atau memanfaatkan sumber daya untuk menghasilkan produksi yang optimal dan efisien, impor bisa saja dilakukan,” kata dia.
Menurut Bayu, pemetaan kebutuhan masyarakat Indonesia, terutama pangan, sangat penting. Negara-negara lain telah melakukan pemetaan itu guna membaca pasar negara-negara tujuan ekspor.
Australia, yang kini menjadi negara pemasok sebagian pangan Indonesia, telah memiliki peta kemampuan produksi domestik dan kemampuan produksi Indonesia, sehingga dapat mengisi pasar pangan Indonesia.
“Yang perlu dikhawatirkan adalah pengisi pasar kita ke depan bukan petani atau produsen dalam negeri, tetapi pebisnis-pebisnis negara lain. Di sektor pangan, swasembada memang perlu terus digenjot. Jangan sampai impor mengendorkan swasembada tersebut,” ujarnya.
Hambatan ekspor
Di tengah-tengah impor yang meningkat tajam, ekspor Indonesia ke sejumlah negara mengalami tantangan. Harga komoditas ekspor utama seperti minyak kelapa sawit dan karet turun. Amerika Serikat (AS) yang merupakan pangsa ekspor terbesar kedua, kini juga turut menghambat ekspor Indonesia.
AS tengah meninjau kembali kebijakan pembebasan tarif Generalized System of Preferences (GSP) Indonesia. AS juga mengajukan retaliasi kenaikan tarif sejumlah produk Indonesia kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) senilai 350 juta dollar AS pada 2 Agustus 2018.
Rataliasi atau tindakan balasan perdagangan itu terkait dengan sengketa yang diadukan AS atas kebijakan restriktif yang diterapkan Indonesia dalam importasi produk hortikultura, hewan dan produk hewan.
Indonesia kalah dalam gugatan yang diajukan AS bersama Selandia Baru itu ke WTO pada 2015. WTO merekomendasikan agar Indonesia menyesuaikan sejumlah regulasinya yang terkait dengan ekspor produk-produk dari AS dan Selandia Baru itu.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengatakan, Indonesia telah melakukan penyesuaian regulasi seperti yang diminta WTO. Namun AS menyatakan Indonesia belum cukup melakukan penyesuaian, karena eksportir produk hortikultura dari AS masih kesulitan mengekspor produknya ke Indonesia.
AS berupaya mengamankan hak retaliasi apabila Indonesia dinyatakan gagal memenuhi kewajibannya sesuai rekomendasi dari Badan Penyelesaian Sengketa WTO. Permintaan otorisasi AS itu masih akan dibahas Badan Penyelesaian Sengketa WTO pada 15 Agustus 2018.
“Kalau Badan Penyelesaian Sengketa WTO mengabulkan permintaan retaliasi itu, masih perlu dibentuk panel untuk menentukan besaran nilai retaliasi. Nilai retaliasi yang diajukan AS senilai 350 juta dollar AS itu masih nilai sepihak yang masih dapat diperdebatkan dalam badan panel nanti,” kata Iman.
Iman menambahkan, untuk menyelesaikan masalah itu tanpa harus melalui retaliasi, Indonesia akan kembali berkonsultasi dengan AS. Hal itu sebenarnya telah dilakukan Kementerian Perdagangan saat berkunjung ke AS pada 24-27 Juli 2018.