BOGOR, KOMPAS--Angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia masih tinggi. Hal ini disebabkan kurangnya pengawasan dan pembiaran terhadap perilaku berlalulintas.
Kedua faktor itu mengambil porsi terbesar dari kecelakaan yang ada. "Hasil penelitian Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) menunjukkan, 72 persen faktor penyebab kecelakaan adalah tidak adanya pengawasan dan pembiaran," kata Staf Ahli Menteri Perhubungan bidang Logistik, Multimoda, dan Keselamatan Cris Kuntadi saat membuka Accident Review Forum di Bogor, Jawa Barat, Kamis (19/7/2018).
Mengutip hasil penelitian KNKT, menurut Cris, faktor prasarana hanya mengambil porsi dua persen. "Namun, pada praktiknya, kita lebih senang mengurus prasarana karena di sana ada proyek. Sementara pengawasan kurang dilakukan," kata Cris.
Ketua Global Road Safety Partnership Iskandar Abdulbakar mengatakan, pemerintah menargetkan untuk menurunkan angka kecelakaan. Namun, belum berhasil. Pencapaian Indonesia kalah dibandingkan Malaysia yang angka kecelakaannya terus menurun. "Persoalannya, ketika pemerintah membuat regulasi, penerapan di lapangan tidak ada. Misalnya soal peraturan tentang penurunan batas kecepatan untuk mengurangi risiko kecelakaan. Aturannya ada, tetapi penerapannya tidak ada," kata Iskandar.
Setiap satu kilometer per jam kecepatan diturunkan, maka potensi kecelakaan yang hilang sebesar 4 persen.
Contoh lain adalah penggunaan helm. Hingga kini masih banyak pengendara motor yang tidak menggunakan helm, terutama di perkampungan, baik di kota maupun di daerah. "Pada 2016, jumlah korban yang meninggal dunia dj jalan mencapai 31.000. Pemerintah menargetkan untuk menurunkan hingga separuh. Tetapi hasilnya, sampai sekarang, angka korban meninggal masih 31.000. Artinya ada 80 orang tewas akibat kecelakaan setiap harinya," kata Iskandar.
Yang juga memprihatinkan adalah kategori usia korban yang paling banyak meninggal adalah 15-29 tahun. Padahal usia 15 tahun belum boleh mengendarai kendaraan bermotor.
Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono menambahkan, pembiaran itu terjadi di semua kalangan. Misalnya, sekolah membiarkan muridnya yang belum cukup umur membawa kendaraan sendiri karena tidak ada angkutan umum. Orangtua membiarkan dan mencontohkan pelanggaran lalu lintas seperti tidak menggunakan helm serta mengangkut penumpang lebih dari ketentuan. "Penerapan hukum memang tugas aparat hukum. Tetapi kita semua bisa berpartisipasi demi keselamatan," kata Soerjanto.