JAKARTA, KOMPAS--Persentase kemiskinan di kawasan timur Indonesia, khususnya Maluku dan Papua, masih tinggi. Untuk mengatasinya tidak cukup dengan membangun infrastruktur dan jaring pengaman sosial, tetapi juga pengembangan investasi dan inklusi keuangan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Maluku dan Papua pada Maret 2018 justru meningkat dari Maret 2017. Pada Maret 2018, jumlahnya 1,53 juta orang atau 21,2 persen dari total penduduk wilayah itu. Adapun pada Maret 2017 sebanyak 1,52 juta orang.
Penduduk miskin di Maluku dan Papua lebih banyak di perdesaan, yaitu 1,41 juta orang. Di kota sebanyak 119.840 orang.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada Yogyakarta A Tony Prasetiantono kepada Kompas, Rabu (18/7/2018), mengatakan, Maluku dan Papua merupakan dua wilayah yang paling berat menghadapi persoalan isolasi atau konektivitas, kualitas sumber daya manusia, dan investasi. Inklusi keuangan di kedua daerah itu juga masih rendah.
Hal itu menyebabkan pengentasan kemiskinan berjalan sangat lambat. Tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur dan menyediakan jaring pengaman sosial.
"Langkah membangun infrastruktur memang sudah tepat kendati membutuhkan waktu lama untuk menggerakkan ekonomi daerah. Sementara jaring pengaman sosial hanya merupakan solusi jangka pendek," ujarnya.
Tony berharap pemerintah mendorong pendidikan formal berbasis vokasi dan menarik investasi. Investasi itu bisa berbasis sumber daya alam maupun pariwisata. Dengan insentif yang atraktif, maka investor diyakini akan bersedia mengembangkan investasi tersebut.
Di sisi lain, tambah Tony, iklusi keuangan harus terus didorong. "Jangkauan layanan industri finansial formal diperluas. Bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan nonbank harus diberi insentif untuk membuka cabang di wilayah itu," katanya.
Kepala Departemen Riset Industri dan Regional Kantor Ekonom Bank Mandiri, Dendi Ramdani , mengemukakan, sebetulnya perekonomian daerah penghasil komoditas masih positif. Namun, lajunya melambat.
Data terakhir pertumbuhan ekonomi per provinsi menunjukkan, daerah-daerah penghasil komoditas tumbuh lebih rendah pada triwulan I-2018 dibandingkan dengan triwulan I-2017. Daerah-daerah itu misalnya, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah.
"Beberapa komoditas harganya turun seperti karet yang turun 20,5 persen dan minyak sawit mentah yang turun 11 persen per 17 Juli 2018," ujarnya.
Belum efektif
Dana desa dalam APBN 2018 dialokasikan Rp 60 triliun. Sasarannya meliputi 74.958 desa di 434 kabupaten/kota.
Namun, penyaluran dana desa dan bantuan sosial belum efektif memacu pertumbuhan ekonomi di Indonesia bagian timur. Sebab, pembangunan infrastruktur tidak menopang pengembangan industri unggulan di daerah.
Mengutip data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi penanaman modal asing pada triwulan-I 2018 terkonsentrasi di Jawa (Rp 40,7 triliun), Sumatera (Rp 10 triliun), dan Kalimantan (15,9 triliun). Namun, realisasi investasi modal asing di Papua nol, Maluku Rp 1,1 triliun, dan Sulawesi Rp 6,2 triliun.
Pertumbuhan ekonomi dalam dua dekade terakhir masih terkonsentrasi di wilayah barat Indonesia. Jawa dan Sumatera mendominasi pembentukan produk domestik bruto, yang masing-masing berperan 58 persen dan 22 persen.
Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng, selama ini penyaluran dana desa dipukul rata, tidak mempertimbangkan kondisi demografi dan potensi industri unggulan di setiap daerah. Kondisi itu menyebabkan laju penurunan kemiskinan dan ketimpangan lambat.
“Formula dana desa harus sensitif terhadap kondisi nyata dan konteks kedaerahan. Kalau dana dibagi rata. ketimpangan sulit terkoreksi,” kata Robert.
Apalagi, instruksi mengalokasikan 30 persen dari dana desa untuk industri padat karya belum diimplementasikan di semua daerah.