JAKARTA, KOMPAS — Penanganan kota-kota di Indonesia dinilai masih pada tahap penyediaan infrastruktur dasar seperti akses air bersih, pengentasan kawasan kumuh, dan sanitasi. Terkait itu, Korea Selatan dianggap bisa jadi contoh pengembangan kota pintar.
”Ternyata pengembangan smart city di Korea memang jauh lebih maju. Itu bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam pengembangan smart city. Road map kita, tahun 2015 sampai 2025 ini adalah dalam rangka mewujudkan pemenuhan persyaratan minimal untuk pelayanan infrastruktur perkotaan seperti air minum, sanitasi, dan pengentasan kawasan kumuh,” kata Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Sri Hartoyo dalam Joint Cooperation Meeting dengan Kementerian Pertanahan, Infrastruktur dan Transportasi Korea Selatan, Rabu (4/7/2018), di Jakarta.
Pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut penandatanganan Nota Kesepahaman antara Menteri PUPR dengan Menteri Pertanahan, Infrastruktur dan Transportasi Korea pada Konferensi Habitat III di Ekuador pada 2016 lalu. Melalui pertemuan tersebut, terbuka kemungkinan untuk kerja sama lebih lanjut berupa pertukaran penelitian, pengalaman, hingga kerja sama langsung antara pemerintah daerah di Indonesia dengan Korea Selatan.
Sri Hartoyo mengatakan, peta jalan Indonesia saat ini adalah fokus pada pemenuhan standar pelayanan minimum infrastruktur dasar untuk perkotaan, yakni akses air bersih, pengentasan kawasan kumuh, dan sanitasi dengan program 100-0-100. Kemudian, pada 2025 sampai 2035, pemerintah akan mendorong terwujudnya kota hijau. Baru pada 2035-2045, pengembangan kota pintar akan diwujudkan.
Namun, mewujudkan infrastruktur dasar perkotaan bukan hal mudah. Arus urbanisasi menjadi salah satu tantangan. Pada 2025, diperkirakan 68 persen penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan, terutama di 12 kota metropolitan dan 20 kota sedang. ”Jadi memang smart city itu tidak bisa tiba-tiba,” ujar Sri Hartoyo.
Salah satu yang bisa dipelajari dari Korea Selatan dalam proses pengembangan kota pintar adalah membuat Undang-Undang tentang kota pintar. Undang-Undang tersebut menjadi dasar pengembangan kota pintar di seluruh kota di sana.
”Ada UU khusus untuk smart city. Lalu kami mengadopsi kebijakan baru untuk pembangunan perkotaan. Kami berencana investasi sampai 50 triliun untuk 50 tahun ke depan untuk 200 wilayah,” kata Deputi Direktur Divisi Kebijakan Perkotaan Kementerian Pertanahan, Infrastruktur dan Transportasi Korea See-Hee Ahn.
Menurut Ahn, antara tahun 80-an sampai 90-an, populasi di Korsel mulai terkonsentrasi di perkotaan. Kemudian, pada tahun 2000, penduduk yang menua mulai menjadi tantangan. Maka pemerintah mulai fokus untuk meningkatkan kualitas hidup warga. Mereka pun memerlukan waktu 10 tahun untuk mengembangkan kota pintar. Dua kota yang dijadikan percontohan kota pintar adalah Sejong dan Busan.
Hingga saat ini, lanjut Sri Hartoyo, upaya meningkatkan akses air bersih, pengentasan kawasan kumuh, dan sanitasi yang diwujudkan dalam program 100-0-100 masih terus dijalankan pemerintah. Hingga 2017, cakupan penyediaan sanitasi bagi masyarakat sekitar 77 persen. Sedangkan untuk pengentasan kawasan kumuh di perkotaan masih tersisa 6 persen atau sekitar 22.800 hektar dari target 38.000 ha hingga 2019 dan penyediaan air bersih sekitar 73 persen.
Menurut Sri Hartoyo, tantangan yang dihadapi dalam penyediaan infrastruktur dasar adalah pelibatan masyarakat dalam pembangunannya. Sebab, yang terpenting adalah pengelolaan pascakonstruksi dibanding sekadar membangun.