JOMBANG, KOMPAS - Majelis Ulama Indonesia membuat komitmen dengan pemerintah untuk membangun ekonomi umat Islam yang disebut ekonomi keumatan. Hal tersebut dilakukan dengan mengucurkan dana untuk pembiayaan ekonomi usaha kecil di sekitar pesantren. Pembiayaan dirancang Rp 8 miliar bagi setiap pesantren untuk sekitar 1.000 pesantren.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin saat membuka Halaqah (pembahasan) Pengasuh Pesantren bertema ”Urgensi Keuangan Syariah untuk Pemberdayaan Ekonomi Umat” yang diselenggarakan Majelis Permusyawaratan Pengasuh Pesantren se-Indonesia (MP3I) di Pondok Pesantren Tebuireng, Cukir, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Minggu (1/7/2018). Hadir, tuan rumah pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, KH Salahuddin Wahid, dan anggota Badan Pembina Ideologi Pancasila, Mahfud MD.
Salahuddin mengatakan, sejarah pelembagaan ekonomi syariah tercatat dimulai 1991, ditandai dengan didirikannya Bank Muamalat, diikuti BPR Syariah, disusul bermunculannya BMT (Baitul Mal wal Tamwil) yang di antaranya sukses, yakni BMT Sidogiri, Pasuruan, Jatim, karena menghimpun dana hingga belasan triliun rupiah.
”Sebanyak 70 persen uang hanya berputar di ibu kota. Padahal, Islam dan Pancasila mengajarkan, uang tak boleh terhenti di satu kelompok saja. Ketimpangan ekonomi yang diakibatkannya memicu ketimpangan sosial, dan itu menjadi sumber segala masalah bangsa,” katanya.
Salah satu yang dianggap bisa mendorong penguatan ekonomi umat Islam, menurut Salahuddin, adalah pesantren. Ada ribuan lembaga pondok pesantren dengan puluhan juta santri dan keluarga santri. Umat Islam selama ini hanya menjadi konsumen dan harus diupayakan agar umat Islam menjadi produsen dengan cara memberdayakan dan memberikan aliran modal kepada, antara lain, pesantren.
Ma’ruf Amin mengatakan, perundingan dengan Presiden
Joko Widodo menghasilkan model ekonomi baru, antara lain dengan redistribusi lahan dan kemitraan. Pemerintah secara bertahap juga sudah membagikan sertifikat dan sedang merancang bentuk kemitraan, yakni hubungan konglomerat dengan masyarakat.
”Misalnya kebutuhan pabrik produk olahan singkong, pemasok bahan bakunya adalah petani singkong gurem. Itu model ekonomi kemitraan yang mendorong penguatan ekonomi umat Islam, bukan menjadikan umat sebagai sasaran pasar konsumsi saja,” katanya. (ODY)