Harga Karet Terus Turun, Petani Semakin Merana
PALEMBANG, KOMPAS — Harga karet di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan terus mengalami penurunan. Petani semakin merana karena penurunan harga komoditas itu juga dibarengi dengan kenaikan biaya produksi dan inflasi kebutuhan pokok.
Ketua Unit Pengolah Pemasaran Bokar Matarmas Jaya, Desa Talang Ipuh, Kecamatan Suak Tapeh, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Aryanto, Senin (2/7/2018), mengatakan, harga karet di tingkat petani kini Rp 7.950 per kilogram, turun dibandingkan dua minggu lalu yang harganya mencapai Rp 8.600 per kg.
Meski harga karet saat ini jauh lebih baik dibanding tahun 2016 yang menyentuh harga terendah yakni Rp 4.000 per kg, skala keekonomian harga dinilai belum pas. ”Harga beras sekitar Rp 10.000 per kg, harga karet masih jauh di bawahnya. Seharusnya, harga 1 kg karet sama dengan harga 1 kg beras,” kata Aryanto.
Kondisi petani semakin merana karena saat ini produksi tanaman karet turun. Pohon mengalami fase rontok daun sejak empat bulan lalu karena faktor cuaca. Akibatnya, poduksi getah karet turun hingga 40 persen. ”Alhasil, 1 hektar lahan karet hanya bisa menghasilkan sekitar 60 kg per hektar, jauh dari produksi biasa di cuaca normal yang bisa mencapai 100 kg per hektar,” kata Aryanto.
Irwanto, petani karet Kecamatan Parayaman, Kabupaten Ogan Ilir, mengatakan, saat ini harga hanya Rp7.500-Rp 8. 000 per kg. Harga itu diperoleh petani dari sistem lelang.
Sementara petani yang menjual produknya pada tengkulak, harga bisa lebih rendah hingga Rp 1.000 per kg. Menurut Irwanto, petani karet bisa sejahtera saat getah karet dihargai paling tidak Rp 15.000 per kg.
Di Sumatera Utara, kondisinya lebih parah. Martiani beru Sebayang (26), petani dan tauke karet di Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hulu, Kabupaten Deli Serdang, mengatakan, dalam beberapa bulan ini, petani kian terpuruk karena harga karet anjlok hingga Rp 5.000 per kilogram. Banyak petani yang membiarkan kebun karetnya terbengkalai tidak disadap. Para petani pun kesulitan mencari tenaga kerja untuk menyadap.
Untuk bisa menghidupi petani, harga karet paling tidak berada di kisaran Rp 10.000 per kilogram atau setara dengan 1 kilogram beras.
Menurut Martiani, untuk bisa menghidupi petani, harga karet paling tidak berada di kisaran Rp 10.000 per kilogram atau setara dengan 1 kilogram beras. Harga itu sebenarnya masih di bawah harga getah karet pada tahun 2011 yang pernah mencapai Rp 18.000 sampai Rp 20.000 per kilogram. ”Ketika itu, harga satu kilogram karet sama dengan dua kilogram beras. Kini sebaliknya,” kata Martiani.
Martiani mengatakan, getah karet yang bisa ia kumpulkan dari para petani terus menurun. Saat ini, ia hanya bisa mendapat 5-7 ton getah karet per minggu. Padahal, tahun lalu ia bisa mengumpulkan 10 ton getah per minggu.
”Bahkan, tahun 2011, kami bisa mengumpulkan 100 ton getah karet per minggu dari para petani. Ketika itu, gudang dan rumah penuh dengan getah karet,” katanya.
Acong Surbakti, petani karet di Desa Suka Makmur, Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang, juga mengalami hal serupa. Para pemilik kebun karet di desanya kesulitan mendapat tenaga harian untuk menyadap karet karena rendahnya upah yang dibayarkan berdasarkan bagi hasil. Saat ini penyadap hanya bisa menyadap karet 12 kg per hari atau senilai Rp 76.000.
Jika bagi hasil dengan pemilik, penyadap hanya mendapat Rp 38.000 per hari. Hal ini membuat penyadap harian lebih memilih menjadi buruh bangunan karena pendapatannya bisa dua kali lipat dibandingkan menyadap karet.
Harga dunia
Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Utara Edy Irwansyah, di Medan, mengatakan, harga karet remah di pasar dunia terus mengalami penurunan. Harga karet saat ini sekitar 1,33 dollar AS per kilogram, turun dari 1,5 dollar AS pada Januari. Petani pun kian terpuruk karena harga getah karet di tingkat petani ikut turun dari Rp 6.500 menjadi Rp 5.000 per kilogram.
”Petani karet sangat terpuruk akibat penurunan harga karet di pasar dunia yang sulit dibendung. Banyak petani yang membiarkan kebunnya terbengkalai atau menggantinya dengan tanaman lain. Dengan harga Rp 5.000 per kilogram, hasil karet tidak bisa lagi menghidupi petani,” kata Edy.
Edy mengatakan, harga karet di pasar dunia mengalami anomali dan sangat sulit diprediksi. Pada periode Januari hingga Mei 2018, konsumsi karet dunia sebenarnya mengalami peningkatan 6,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2017. Selain itu, harga minyak dunia juga terus naik. Seharusnya, kenaikan harga minyak dunia diikuti kenaikan harga karet remah. Hal itu karena minyak merupakan bahan baku pengganti karet.
Edy mengatakan, pembatasan ekspor yang dilakukan tiga negara penghasil karet terbesar, yakni Thailand, Indonesia, dan Malaysia, pada periode Januari sampai Maret juga tidak berdampak signifikan. Harga karet sempat naik, tetapi kembali anjlok ketika pembatasan ekspor berakhir.
Menurut Ketua Gapkindo Sumatera Selatan Alex K Eddy, penurunan harga karet disebabkan oleh kondisi pasar dunia yang kurang baik lantaran adanya kebijakan dari China yang menahan pembelian dan juga perang dagang antara AS dan China.
Menurut Alex, momen penurunan harga ini merupakan saat yang tepat untuk meremajakan karet. Kemampuan produksi lahan karet di Sumsel hanya 1 ton per hektar per tahun. Padahal, dengan bibit unggul, seharusnya lahan di Sumsel dapat menghasilkan 2 ton karet per hektar per tahun.
Momen penurunan harga ini merupakan saat yang tepat untuk meremajakan karet.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian mengatakan, saat ini pihaknya tidak bisa membantu petani karena keterbatasan anggaran. ”Dua tahun lalu, pemerintah masih memberikan bantuan. Saat itu anggaran untuk dinas perkebunan sekitar Rp 20 miliar. Namun, sekarang hanya Rp 4 miliar per tahun,” ujarnya.
Rudi berharap petani bisa mensiasati penurunan harga dengan membentuk kelompok dan bergabung dengan UPPB agar harga karet dapat terdongkrak.
Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan melaporkan, nilai tukar petani (NTP) di Sumatera Selatan bulan Juni 2018 mencapai 93,65 persen atau turun sebesar 0,65 persen dibandingkan NTP bulan sebelumnya.
”Penurunan terjadi di beberapa sektor, seperti tanaman pangan sebesar 0,37 persen, hortikultura 1,23 persen, dan sektor pekebunan rakyat 1,51 persen, termasuk di antaranya karet,” kata Kepala Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan Yos Rusdiansyah.
NTP menurun karena pendapatan petani tidak sebanding dengan biaya konsumsi, termasuk untuk pemeliharaan tanaman. Kemungkinan penurutan NTP itu, kata Yos, disebabkan oleh kenaikan biaya pupuk dan bibit serta kenaikan biaya kebutuhan pokok.
Juni ini, Sumsel juga mengalami inflasi 0,66 persen karena naiknya indeks kelompok sandang (3,91 persen), kelompok bahan makanan (0,59 persen). ”Kenaikan ini dipicu oleh kenaikan harga jelang Lebaran. Namun, inflasi di Sumsel masih terkendali,” ujarnya.Kondisi ini membuat petani karet semakin terpuruk.