Jalan Pembebasan Lewat Tenun
Para perempuan Mamasa, Sulawesi Barat, yang harus menjadi tulang punggung keluarga, kini boleh berlega hati. Difasilitasi oleh Pekka dan Toraja Melo, kain tenunan mereka mulai diminati pasar. Artinya, sumber nafkah mereka terjamin.
Sebanyak 30 perempuan tampil di panggung setinggi satu meter. Langkah mereka pelan, berlenggok bak model berpengalaman. Sambil melempar senyum ke hadirin, mereka menampilkan kain tenun dominan berwarna merah dipadu baju lengan panjang warna putih. Kain tenun tersebut adalah hasil karya mereka sendiri.
Di panggung, para perempuan tersebut berdiri membentuk barisan memanjang. Dari sana, sebagian berkacak pinggang lalu menatap ke arah penonton. Setelah cukup, berdua-dua mereka berjalan melewati tengah ruangan. Lalu meninggalkan panggung sembari melambaikan tangan. Teriakan dukungan dari hadirin pun menggema.
Para perempuan itu memperagakan kain tenunan mereka sendiri di Desa Balla Satanatean, Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, Rabu (21/3/2018).
Desa Balla Satanatean berjarak 30 kilometer dari Mamasa, ibu kota Kabupaten Mamasa. Lebih dari separuh jalan dari Mamasa ke tempat yang terletak di pegunungan tersebut berupa tanah yang di banyak titik tergerus erosi. Untuk mobilitas mereka, warga lebih banyak berjalan kaki. Dalam kehidupan sehari-hari warga menggantungkan hidup pada sawah di lembah dan kebun di lereng gunung.
Para ”model” yang tampil di panggung mewakili 337 perempuan yang tergabung dalam program pemberdayaan perempuan kepala keluarga di delapan desa di Kecamatan Balla dan Mamasa. Program ini dilakukan dalam tiga tahun terakhir oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Perempuan Kepala Keluarga (Pekka).
Di Mamasa, Pekka bersinergi dengan Toraja Melo, produsen tenun Toraja. Toraja Melo, usaha sosial untuk mengangkat tenun dari Toraja, dua tahun lebih dulu menjalin kerja sama dengan perempuan penenun Mamasa sebelum Pekka.
Perempuan kepala keluarga merujuk pada perempuan yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, baik karena suaminya meninggal, sakit, maupun bercerai.
Tenun Mamasa berciri dominan warna merah cerah. Kain agak kaku karena penenun menggunakan benang poliester. Berkat kerja sama dengan Toraja Melo, para penenun diperkenalkan dengan desain yang lebih lembut. Warna merah menyala dikombinasikan dengan garis putih dan kuning di bagian tengah atau ujung kain, seperti yang ditampilkan para perempuan saat peragaan.
Rangge (55), warga Desa Balla Satanatean, salah satu dari 337 perempuan yang terlibat dalam program itu, bangga memperagakan tenun Mamasa. ”Saya penenun, tetapi baru kali ini menjadi model,” ujarnya.
Tulang punggung
Rangge adalah tulang punggung ekonomi untuk dua anaknya. Satu orang masih duduk di bangku sekolah menengah kejuruan dan satu orang lagi putus sekolah. Suaminya sudah lama pergi entah ke mana.
Sebelum bekerja sama dengan Toraja Melo dan Pekka, Rangge tak setiap bulan menenun karena terkendala modal. Untuk menghasilkan satu kain, dibutuhkan hingga 9 dus benang dengan biaya Rp 150.000. ”Saya tidak selalu punya uang sebanyak itu setiap bulan,” tuturnya.
Setelah menjalin kerja sama dengan Toraja Melo dan Pekka, Rangge bisa menghasilkan kain setiap bulan yang dijual Rp 400.000-Rp 450.000 per potong. Kerja sama dengan Toraja Melo terjalin dalam dua bentuk.
Pertama, Toraja Melo menyediakan benang jenis katun yang lebih lembut dan desain yang telah ditentukan. Kain menjadi milik Toraja Melo. Rangge dan penenun lain dibayar Rp 200.000 per kain.
Bentuk kerja sama kedua, penenun membeli sendiri benang dengan kombinasi desain yang disarankan oleh Toraja Melo. Untuk kain tersebut, penenun menjual ke kota Mamasa atau pasar setempat.
Untuk menjaga keberlangsungan pekerjaan, Pekka membentuk kelompok simpan pinjam. Para penenun bisa meminjam uang kelompok dengan bunga 1 persen per bulan.
Bagi Rangge, membeli alat produksi untuk menenun jadi lebih gampang berkat kelompok simpan pinjam. Setiap bulan rata-rata ia bisa menghasilkan kain dengan keuntungan Rp 200.000 per potong. ”Ini cukup membantu memenuhi kebutuhan harian dan biaya sekolah anak saya,” katanya.
Meneruskan pendidikan anak bungsu ke bangku kuliah pun kini bukan hal mustahil dengan kerutinan ia menenun.
Lain lagi dengan Aruan Bamba (62), warga Desa Balla Barat. Ia kini merasa tenang di masa tuanya. Bergabung dengan program Pekka sejak Desember 2017, semula ia yang tak memiliki keterampilan menenun. Namun, ia belajar dengan cepat.
Sejauh ini ia sudah menghasilkan dua kain. Uang hasil menjual kain sangat berarti baginya saat suaminya tak bisa lagi bekerja karena terserang stroke. ”Selain dapat uang dari memelihara ayam, saya bisa menambah penghasilan dengan menenun,” ucap Aruan yang masih menanggung biaya hidup seorang anak. Dua anaknya yang lain sudah menikah.
Sentuhan desain
Direktur Toraja Melo Dinny Jusuf mengatakan, hambatan utama dalam pemasaran tenun Mamasa lebih pada desainnya yang monoton dengan warna merah menyala. Perbaikan desain pun jadi solusi agar kain dan produk turunannya disukai pasar.
Dari kain yang ditenun para perempuan Mamasa, Toraja Melo juga menghasilkan berbagai produk turunan, mulai dari baju, rok, dasi, hingga tas.
Berkat desain yang dimodifikasi, tahun lalu jajaran direksi Bank DBS Indonesia meminati baju yang dikreasi dari tenun Mamasa. ”Kami bekerja keras untuk menghasilkan desain yang disukai pasar. Para perempuan di Mamasa terbukti bisa melakukannya,” ucap Dinny.
Menurut Direktur Pekka Nani Zulminarni, tenun merupakan pintu masuk untuk pemberdayaan perempuan kepala keluarga dan perempuan pencari nafkah di Mamasa. Tenun potensial untuk dikembangkan menjadi kekuatan ekonomi.
Untuk menjaga keberlangsungan tenun, perempuan perlu dikonsolidasi dengan pembentukan kelompok simpan pinjam, advokasi kepemimpinan, dan penguatan akses terhadap sumber daya.
”Kami melihat perempuan di sini bekerja keras untuk mencari nafkah. Itu modal besar untuk penguatan ekonomi dan sosial,” kata Nani.