Trump Tabuh Genderang ”Bunuh Diri”
Akhirnya jadi juga Presiden AS Donald Trump menabuh genderang perang dagang. Pada Kamis (31/5/2018), di Washington DC, Pemerintah AS mengumumkan pengenaan tarif impor baja dan aluminium asal Uni Eropa, Meksiko, dan Kanada.
Langkah AS ini langsung disambut dengan berbagai rencana balasan dari para mitra dagang utama yang selama ini menjadi sekutu terdekat AS. Alasan pengenaan tarif impor ini adalah UE, Kanada, dan Meksiko dinilai tak bersedia memberikan AS konsesi soal perdagangan.
Terhadap UE, AS menuntut agar tarif impor mobil dari AS diturunkan dari kisaran 10 persen sekarang ini. Sejauh ini UE menolak. Tiga mitra dagang AS ini berkontribusi sekitar 40 persen dari total impor baja AS dengan nilai total 29 miliar dollar AS pada 2017.
Kanada dan Meksiko dikenai tarif impor dengan alasan tidak bersedia mengubah kesepakatan dalam lingkup Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). AS menuntut Kanada dan Meksiko menaikkan upah buruh agar produk AS mampu bersaing dengan produk buatan Kanada dan Meksiko di pasar NAFTA.
Keputusan AS soal pengenaan tarif adalah sebuah tindakan ilegal.
Terhadap komponen otomotif, AS menuntut penggunaan kandungan lokal NAFTA dari 62,5 persen menjadi 75 persen. Artinya, semua produk otomotif yang dipasarkan di NAFTA harus minimal 75 persen asli buatan AS, Kanada, dan Meksiko. Ini bertujuan mendorong Kanada dan Meksiko memakai komponen otomotif buatan NAFTA.
Kanada, Meksiko, dan UE tidak mau tunduk pada tuntutan AS. Tiga mitra dagang AS ini berjanji akan membalas aksi AS dengan mengenakan tarif impor terhadap barang-barang asal AS.
”Keputusan AS soal pengenaan tarif adalah sebuah tindakan ilegal,” kata Presiden Perancis Emmanuel Macron, merujuk pada tindakan unilateral AS tanpa memberi tahu Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) soal keputusan itu.
Menteri Perekonomian Meksiko Ildefonso Guajardo menambahkan, ”Aksi AS tidak akan menguntungkan siapa pun. Meksiko pun akan membalas langkah AS.”
Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau dengan nada berang mengatakan, ”Langkah AS tidak saja merugikan secara ekonomi, tetapi juga merupakan langkah yang menyakiti aliansi militer AS-Kanada.”
Langkah Trump tidak saja mengganggu hubungan ekonomi, tetapi juga berpotensi mengganggu hubungan non-ekonomi.
Efek domino
Bagaimana efek dari langkah AS yang akan dibalas oleh mitra dagangnya? Susah menilai seberapa besar kerugian akan terjadi. Hanya saja, perang tarif ini sangat tidak bisa diabaikan. Potensi perang dagang bisa melebar ke komoditas lain jika aksi balas-membalas berkembang. Ini yang paling membahayakan.
Di samping itu, seperti kata ekonom AS, peraih Nobel Ekonomi 2013 Robert J Shiler, ”Ketidakpastian dalam persepsi pebisnis justru lebih berbahaya.”
Perang tarif, walau belum berskala meluas, sudah akan membuat pebisnis cenderung memilih sikap wait and see. Shiler mengatakan, perang dagang pasca-malaise di AS tahun 2008-2009, menjatuhkan bisnis, bukan saja karena perdagangan amblas. Aktivitas ekonomi juga akan amblas akibat ada ketidakyakinan para pebisnis untuk melakukan investasi baru.
Pengenaan tarif oleh AS juga tidak hanya merugikan para mitra dagang AS, tetapi juga konsumen AS. Tidak semua warga AS makmur dan belum semua pulih dari krisis ekonomi 2008. Tarif adalah hantaman bagi warga AS sendiri.
”Tarif merupakan pajak tambahan bagi konsumen AS, membebani industri pengguna baja, dan selanjutnya mengganggu pekerja,” kata Senator AS dari Partai Republik, Orrin Hatch.
Hanya segelintir pihak, terutama pendukung Trump, yang merasa senang dengan pengenaan tarif ini. Secara keseluruhan, perang tarif tidak menguntungkan siapa pun.
Senator Republiken lainnya, Ben Sasse, menyamakan keputusan Trump dengan langkah proteksionisme dekade 1930-an. ”Ini langkah parah,” kata Sasse. Pengenaan tarif merupakan aksi ”bunuh diri” secara ekonomi.
Perang tarif akan mengubah prospek ekonomi global, yang justru sedang tumbuh dalam fase tercepat sejak 2011.
Sasse berang karena tarif dikenakan terhadap sekutu utama AS. ”Keinginan membuat AS kembali berjaya bukan berarti dengan melakukan proteksionisme yang akan membawa AS ke suasana seperti 1929,” ujar Sasse merujuk pada malaise alias depresi terbesar ekonomi AS sepanjang sejarah.
Oleh sebab itu juga, Presiden Komisi UE Jean-Claude Juncker, di Brussels, Belgia, mengatakan, keputusan AS itu menjadi hari buruk pada rezim perdagangan dunia. Keputusan ini juga dilakukan saat para menteri keuangan dan pimpinan bank sentral dunia mempersiapkan diri menjelang pertemuan di kota Whistler, Kanada.
Perang tarif akan mengubah prospek ekonomi global, yang justru sedang tumbuh dalam fase tercepat sejak 2011, menurut laporan IMF.
Begitu menakutkan prospek ini sehingga pebisnis AS mencoba melobi Gedung Putih agar perang tarif dihindarkan. Akan tetapi, permohonan ini tidak didengar.
Trump mengatakan, tarif adalah janji yang dia berikan kepada para pemilihnya. Masalahnya, sebagian pemilih Trump adalah kelompok ultranasionalis yang tidak peduli dengan dunia.
Ada harapan
Akan tetapi, ada harapan perang tarif tidak berkembang ke arah lebih buruk. Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross menyebutkan, ”Keputusan ini fleksibel, bisa berubah.” Dia katakan, jika ada perkembangan lanjutan dalam negosiasi dagang, di mana UE, Kanada, dan Meksiko mau mengendur sedikit, AS bisa mengubah atau mungkin membatalkan pengenaan tarif sewaktu-waktu.
Akan tetapi, para mitra dagang AS sudah telanjur jengkel. Jerman, misalnya, seperti diutarakan Menteri Perekonomian Peter Altmaier, sempat berpikir tentang kesediaan menurunkan tarif impor otomotif asal AS. Tujuannya adalah mencegah pengenaan tarif oleh AS.
Hanya saja, Jerman tidak bisa berpikir dan bertindak sendirian sebab harus tampil dengan payung UE. Dan, untuk ini Perancis telah jengkel. Kunjungan Macron ke AS untuk bertemu Trump pada April lalu percuma dan sia-sia menghentikan Trump soal pengenaan tarif.
Cara bernegosiasi salah
Cara AS menekan dan berdiplomasi dengan mitra-mitranya tidak elegan dan telah membuat para mitra dagang merasa terinjak harga dirinya. Penasihat dagang Trump, Peter Navarro, misalnya, menuduh Bank Sentral Eropa telah memanipulasi kurs euro untuk menekan harga ekspor.
Kepala Perwakilan Dagang AS (USTR) Robert Lighthizer juga serupa. Dia adalah seorang megalomania perdagangan yang mengenang aksinya saat AS di bawah kepemimpinan Presiden Ronald Reagan. Saat itu, Lighthizer sukses menekan Jepang.
Kini UE mengatakan tidak bisa ditekan dengan mudah oleh pihak lain, termasuk AS. Lighthizer juga harus menyadari bahwa kekuatan ekonomi AS tidak seperti di era Reagan.
Lighthizer juga harus menyadari, semua upaya proteksionisme pada masa Reagan tidak berhasil membangkitkan industri AS yang terlena dan tidak siap dengan persaingan pasar internasional.
Dan lagi, isu perang dagang bukan semata-mata soal ekonomi. Dunia tidak mau menjadi alat atau diperalat Trump yang terbebani janji kampanyenya.
Dunia juga paham bahwa AS dan pebisnisnya berbisnis di banyak negara dan diuntungkan dengan investasi di mancanegara. Hubungan ekonomi global tidak semata-mata soal perdagangan.
Dunia tidak mau menjadi alat atau diperalat Trump yang terbebani janji kampanyenya.
Korporasi AS meraih untung besar dari bisnis di seberang. Akan tetapi, sayangnya korporasi AS marak menggelapkan pajak sehingga mengurangi penerimaan negara AS dari pajak. Hal ini turut melesukan kekuatan AS dari sisi keuangan negara dan selanjutnya memukul ekonominya.
Para mitra dagang AS berpikir, defisit perdagangan AS bukan salah negara-negara lain. Adalah AS yang menjalankan ekonomi makro tanpa saksama sehingga kalah dalam perdagangan dunia.
Harus berubah
Agar eskalasi perang dagang tidak melebar, sebaiknya Trump harus berubah. AS harus menganalisis lebih saksama, mengapa daya saingnya anjlok.
Atau, AS akan terpukul sendiri karena ulahnya mengenakan tarif, yang secara implisit menyatakan, negara-negara lain yang salah di balik defisit perdagangan AS, bukan pengelolaan ekonomi AS yang amburadul.
Tambah lagi, AS tidak boleh lupa. Perekonomian dunia kini tidak lagi ditopang secara signifikan oleh ekonomi AS seperti di masa lalu. Perekonomian dunia saat ini tumbuh karena Asia yang, menurut Bank Pembangunan Asia (ADB), relatif aman dari potensi perang dagang. Alasannya, ada pertumbuhan dagang yang pesat sedang terjadi di luar pasar AS.
Oleh sebab itu, menarik untuk menantikan, apakah Trump akan sadar bahwa keputusannya salah atau tetap nekat dengan keputusan yang salah itu dengan risiko AS masuk ke jurang ekonomi secara perlahan.
Rasanya, AS harus berubah atau mengubah paradigma soal rezim perdagangan dunia yang menentang proteksionisme. (AFP/AP/REUTERS)