Memuja Sanghyang Sangkara di Pura Kopi
”Pengharapan ke hadapan Sanghyang Sangkara/Dewanya segala tetumbuhan/Agar semua tetanaman menjadi subur dan berbuah lebat/Serta kemudian, seluruh isi alam menjadi makmur dan sejahtera...”
Liris kata terapal dalam doa para petani kopi Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali. Mereka memuja Sanghyang Sangkara, sang penjaga tetumbuhan. Ketulusan hati mengalir bersama aroma kopi yang keluar dari banten saiban. Di antara dupa dan bunga, warga Desa Munduk tak lupa mengembalikan kopi kepada Sang Pemberi.
Doa dalam kegiatan bersyukur atas berkah kopi itu dilakukan warga Munduk setiap 25 hari sebelum hari raya Galungan dalam upacara Tumpek Uduh atau Tumpek Wariga, yaitu upacara menyambut turunnya Sanghyang Sangkara, penjaga tumbuh-tumbuhan.
Pada saat itu, tepatnya Sabtu Kliwon Wuku Wariga (210 hari sekali), warga Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, akan berduyun-duyun datang membawa banten saiban (persembahan) ke Pura Kopi Subak Abian Munduk. Pura kopi terletak bersebelahan dengan lahan Puri Lumbung, penginapan pertama di Desa Munduk.
Posisi pura berada di lahan yang lebih tinggi, seakan menggambarkan kepala manusia dalam posisi rebah. Adapun bangunan lain dalam deretan di bawahnya seakan menggambarkan badan dan anggota tubuh lain.
Warga percaya, Pura Kopi Subak Abian Munduk dibangun tahun 1920-an. Bendesa (kepala desa adat) Desa Munduk Putu Ardana menjelaskan bahwa pura dibuat warga agar Tuhan selalu dekat dengan mereka. Pura kopi tersebut, menurut Putu Ardana, tidak banyak dan hanya ada di daerah-daerah tertentu, terutama di sentra penghasil kopi.
”Keberadaan Pura Kopi Subak Abian Munduk tidak lepas dari sejarah Desa Munduk sebagai penghasil kopi. Tanaman kopi saat itu dibawa Belanda ke Munduk. Sebab, Desa Munduk menurut sejarahnya adalah salah satu pesanggrahan (tempat peristirahatan) Belanda di Buleleng sekitar awal tahun 1900-an. Saat itulah, Belanda mulai mengenalkan tanaman kopi di sini,” kata Putu Ardana.
Warga Desa Munduk berjumlah 6.000 orang dan 10 persennya adalah petani kopi. Tanaman kopi di Desa Munduk umumnya jenis robusta karena ditanam pada ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut (mdpl). Desa Munduk terletak pada ketinggian berkisar 600 mdpl-1.500 mdpl.
Dalam sejarahnya, Desa Munduk merupakan kawasan perkebunan kopi pada masa Belanda. Masa-masa kejayaan kopi di Desa Munduk adalah era tahun 1920-an hingga sebelum tahun 1970. Sebab, pada tahun 1970, banyak tanaman kopi yang dibabat kemudian digantikan cengkeh. Kondisi itu terjadi karena harga kopi jatuh hingga sangat rendah.
Padahal, pada masa jayanya, tuan tanah pemilik perkebunan di Munduk mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke luar Bali. Putu Ardana, misalnya, saat itu mampu mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
”Yang memanfaatkan Pura Kopi Subak Abian Munduk terutama adalah anggota subak dan petani kopi. Ini bentuk ucapan terima kasih pada alam semesta akan rezeki berlimpah, terutama untuk tanaman perkebunan, termasuk kopi,” kata Nyoman Bagiarta, sesepuh Desa Munduk. Selain pura kopi, Desa Munduk juga memiliki pura sawah (tempat bersyukur petani padi).
Hingga kini, Pura Kopi Subak Abian Munduk terus digunakan. Pura akhirnya, pura itu menjadi monumen pengikat rasa syukur dan hormat nak (orang) Munduk dengan tanaman kopi yang menghidupi mereka.
Warga Desa Munduk pun mencoba mengembalikan kejayaan kopi miliknya. Mereka berjuang mengangkat kopi Munduk dengan kembali menggenjot produksi kopi robusta serta menguatkan ikon kopi arabika Blue Tamblingan.
Kopi Blue Tamblingan adalah kopi arabika yang ditanam di sekitar Danau Tamblingan pada ketinggian 1.500 mdpl. Kopi tumbuh subur di kawasan hutan Amerta Jati. Pura itu berasal dari empat desa adat Tamblingan Dalam, yaitu Desa Munduk, Desa Gobleg, Desa Gesing, dan Desa Umajero.
Kopi spesial
Bali terus bertumbuh sebagai penghasil kopi spesial di dunia. Kopi dibudidayakan hampir di semua daerah, kecuali di Kota Denpasar. Dari delapan kabupaten di Bali terdapat enam kabupaten yang memiliki kebun kopi arabika. Adapun kebun kopi robusta berlokasi di semua kabupaten. Hampir seluruh kebun kopi merupakan perkebunan rakyat.
Dari pencatatan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Bali, luas lahan kopi di Bali mencapai 35.490 hektar. Dua pertiga dari luas lahan kopi itu merupakan kebun kopi robusta. Sisanya lahan kopi arabika. Kebun-kebun kopi di Bali menghasilkan lebih dari 17.000 ton biji kopi pada 2016.
Hingga 2017, Bali memiliki dua kopi spesial yang sudah mendapatkan sertifikat indikasi geografis (IG), yakni kopi arabika Bali Kintamani dan kopi robusta Pupuan. Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Bali Ida Bagus Wisnu Ardhana menyebutkan, kopi arabika Bali Kintamani dibudidayakan di tiga kabupaten, yaitu Bangli, Buleleng, dan Badung. Adapun lahan tanaman robusta Pupuan terdapat di Kabupaten Tabanan.
Sertifikasi IG awalnya diinisiasi oleh negara-negara Eropa untuk Indonesia (selain karena keterikatan sejarah masa lalu, juga karena orang Eropa berusaha menjaga plasma nutfah di Nusantara). Dengan IG, kopi Indonesia langsung diterima di Eropa tanpa harus mendapat sertifikasi dari perusahaan penyedia jasa sertifikasi dunia.