Keterlibatan BUMN di Proyek Insfrastruktur Kian Dibatasi
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Permintaan Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia atau Gapensi agar proyek infrastruktur dengan nilai sampai Rp 100 miliar dikerjakan swasta saja, bukan badan usaha milik negara atau BUMN, dipenuhi pemerintah. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan menerbitkan surat imbauan kepada BUMN.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono di Jakarta, Rabu (30/5/2018) menyatakan, dirinya sudah menandatangani surat imbauan itu. "Saya akan kirim ke Menteri BUMN. Lalu Dirjen (Direktur Jenderal) Bina Konstruksi akan mengirim surat ke semua BUMN dengan lampiran surat dari saya," ujarnya.
Pada Senin (28/5/2018), Menteri PUPR dipanggil Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pemanggilan dilakukan setelah ada laporan dari Gapensi terkait keterlibatan swasta di proyek-proyek infrastruktur pemerintah.
Menteri PUPR menindaklanjuti pertemuan itu dengan menerbitkan surat imbauan ke perusahaan-perusahaan BUMN agar tidak mengikuti proses lelang proyek infrastruktur bernilai kurang dari Rp 100 miliar. Sebelumnya, pemerintah membatasi lelang proyek infrastruktur pemerintah bernilai kurang dari Rp 50 miliar bagi perusahaan BUMN.
Menurut Basuki, dirinya tidak bisa begitu saja melarang BUMN ikut lelang proyek infrastruktur pemerintah bernilai Rp 50-100 miliar. Sebab, proyek di atas Rp 50 miliar memang diperuntukkan bagi kontraktor berkategori besar, termasuk BUMN.
Di sisi lain, Kementerian PUPR mencatat, mayoritas belanja modal untuk proyek infrastruktur pemerintah sudah dikerjakan swasta. Pada tahun 2017, misalnya, dari total belanja modalsebesar Rp 77 triliun, 93 persen atau Rp 71,6 triliun di antaranya terdiri dari paket-paket proyek bernilai kurang dari Rp 50 miliar dan seluruhnya dikerjakan swasta. Sementara, proyek bernilai Rp 50-100 miliar yang totalnya Rp 3,08 triliun, 90 persennya dikerjakan swasta dan 10 persen sisanya oleh BUMN.
"Ini data dari e-monitoring lho, jadi tidak direkayasa. Mungkin yang ingin diikuti (swasta) bukan untuk (proyek infrastruktur) di PUPR, melainkan proyek-proyek investasi. Mungkin ini persepsi ya," ujar Basuki.
Pembatasan
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Gapensi Andi Rukman Karumpa mengatakan, ada tiga hal yang disampaikan kepada Wapres Jusuf Kalla. Pertama adalah permintaan agar BUMN tidak mengikuti lelang proyek infrastruktur yang nilainya di bawah Rp 100 miliar, naik dari sebelumnya Rp 50 miliar.
Kedua, pihaknya menyampaikan proses lelang dengan penawaran harga yang sangat rendah dan dinilai tidak sehat. Ketiga, Gapensi meminta agar BUMN memperbanyak kerja sama dengan swasta, bukan hanya sesama BUMN.
Anggaran proyek infrastruktur rawan dimanipulasi oleh pemburu rente terutama di tingkat kabupaten/kota.
"Pada 2014, Gapensi sudah meminta agar proyek di bawah Rp 50 miliar tidak diikuti BUMN dan itu sudah dipenuhi. Tahun lalu kami meminta untuk proyek di bawah Rp 100 miliar (tidak diikuti BUMN), tapi belum ada surat edaran dari Menteri PUPR yang mengatur itu," kata Andi.
Selain itu, menurut Andi, Gapensi melihat masalah lelang dengan penawaran yang terlalu rendah sampai 78 persen atau 76 persen dari nilai proyek. Hal itu dinilai tidak sehat karena membanting harga penawaran dengan nilai yang terlalu rendah. Pihaknya meminta ada batasan agar tidak terjadi persaingan yang tidak sehat.
Rawan manipulasi
Menurut Basuki, adanya penawaran harga yang rendah dalam proses lelang tidak bisa dihindari. Namun, panitia lelang tidak harus memenangkan peserta dengan penawaran terendah. Justru jika ada yang menawar di bawah 80 persen, panitia bisa curiga dan memeriksa harga per satuannya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai, anggaran untuk proyek infrastruktur paling rawan untuk dimanipulasi bagi para pemburu rente, terutama di tingkat kabupaten/kota. Dari penelitian KPPOD di 46 kabupaten/kota pada periode 2010-2014, kerusakan infrastruktur justru dipelihara agar anggaran proyek infrastruktur terus dialokasikan.
"Badan legislatif di daerah yang harusnya mengawasi malah ikut memasukkan kepentingan mereka. Biasanya mereka masuk ke proyek-proyek yang tidak besar di pelosok, termasuk program infrastruktur dengan skema swakelola," kata Endi.