JAKARTA, KOMPAS — Kontribusi industri furnitur terhadap pendapatan devisa semakin menurun dalam lima tahun terakhir. Pemicunya, daya saing produk turun, sementara mebel impor kian menyerbu pasar lokal, dan industri penopang di hulu menghadapi kendala.
Oleh karena itu, selain memperkuat daya saing produk, pemerintah dan pelaku dinilai perlu mengatasi problem di hulu serta memperkuat pemasaran.
Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) mencatat, nilai ekspor kerajinan dan mebel Indonesia pada 2013 mencapai 3 miliar dollar AS. Namun, nilainya anjlok jadi 1,8 miliar dollar AS tahun 2017. Situasi ini dianggap ironis karena terjadi ketika pasar mebel dan kerajinan dunia tumbuh 8-10 persen.
Sementara itu, Indeks Keunggulan Komparatif (Revealed Comparative Advantage/RCA) industri furnitur atau mebel Indonesia turun signifikan. Tahun 2010, RCA industri mebel Indonesia 1,16 persen, tetapi pada tahun 2016 turun jadi 0,8 persen.
Ketua Asosiasi Perajin Kayu Jepara (APKJ) Margono, Kamis (23/5/2018), mengatakan, mebel impor semakin membanjiri pasar Indonesia. Kendati tidak berbahan baku kayu solid, produk-produk impor mampu menyuguhkan mebel multiguna, bisa dibongkar pasang, dan disesuaikan dengan ruangan.
”Kami harus membeli paku, aksesori mebel, bahkan pegangan pintu, kunci pintu, kunci jendela, dan penyangga jendela impor. Hal itu terjadi karena industri-industri pembuat produk-produk itu di Indonesia semakin berkurang,” katanya.
Di tengah program sertifikasi legalitas kayu, Margono berharap pemerintah adil terhadap produk mebel impor. Produk mebel impor mesti memiliki standar legalitas kayu yang jelas. Selain itu, industri penopang perlu diperkuat dan dintegrasikan dengan industri mebel.
Daya saing
Sekretaris Jenderal HIMKI Abdul Sobur menambahkan, penurunan ekspor mebel Indonesia dipicu oleh sejumlah faktor. Namun, secara umum karena daya saing yang turun.
Menurut dia, regulasi belum memihak pertumbuhan industri mebel dalam negeri. Contohnya, kewajiban sertifikasi sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), tata niaga perdagangan kayu dan rotan yang belum stabil, dan bunga bank yang masih tinggi.
Kebutuhan kayu sekitar 3.000 pelaku anggota HIMKI diperkirakan 6 juta meter kubik per tahun. Dari jumlah itu, 30 persen merupakan kayu impor, terutama kayu pinus dan oak dari Amerika Serikat. Meski harganya relatif lebih mahal, yakni Rp 5 juta per meter kubik, kayu impor memiliki tingkat kekeringan yang lebih baik dan tak perlu sertifikasi SVLK.
Salah satu solusi untuk mengembangkan industri mebel nasional adalah dengan membangun sentra yang mengintegrasikan hulu hingga hilir.
Sementara kayu lokal, tingkat kekeringannya tak seragam, sering di bawah standar sehingga lebih mudah memuai, retak, dan pecah. Selain itu, meski telah melalui proses SVLK di hulu, kayu lokal mesti melalui SVLK lagi ketika berpindah tangan kepada pelaku industri.
Salah satu solusi untuk mengembangkan industri mebel nasional adalah dengan membangun sentra yang mengintegrasikan hulu hingga hilir. Integrasi mencakup proses penebangan, pengeringan, SVLK, pemotongan, hingga pengolahan jadi furnitur.
Saat ini, ada tiga sentra mebel yang dibina Kementerian Perindustrian, yakni di Jepara, Solo, dan Mataram. Direktur Industri Kecil dan Menengah (IKM) Pangan, Barang dari Kayu, dan Furnitur Direktorat Jenderal IKM Kementerian Perindustrian Sudarto mengatakan, selain di tiga sentra itu, pihaknya berencana menerapkan model sentra di sentra rotan di Cirebon.
Selain mesin pengering dan pelatihan, pemerintah menganggarkan dana untuk membiayai proses SVLK, terutama untuk produk berorientasi ekspor. ”Kami tengah menyiapkan teknologi digital untuk mengintegrasikannya,” kata Sudarto.