Proyek Energi Terkendala Dana, Skema Gabungan Diusulkan
Oleh
M Paschalia Judith J
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Konstruksi lebih dari 50 persen proyek energi baru dan terbarukan atau EBT belum dapat mulai akibat pendanaan. Oleh sebab itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengusulkan skema pembiayaan gabungan dengan komersial dan nonkomersial.
Dari 70 proyek EBT yang sudah ditandatangani dalam perjanjian pembelian daya atau power purchase agreement (PPA) pada 2017, ada 46 proyek yang belum dapat memulai konstruksi. “Proyek-proyek itu belum mendapatkan pembiayaan sehingga tidak bisa mulai konstruksi,” kata Manajer Senior Energi Alternatif PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN Budi Mulyono saat ditemui di Jakarta, Selasa (22/5/2018).
Pada saat PPA, Budi mengatakan, pemilik-pemilik proyek itu belum mendapatkan kepastian peminjaman pembiayaan. Saat ini, pihaknya memantau perkembangan tiap proyek dalam mendapatkan sumber pinjaman dana.
Ketidakyakinan itu juga didasari oleh ekspektasi terhadap proses imbal hasil. Budi mengatakan, pemilik proyek mengharapkan mendapatkan imbal hasil setelah 2 – 3 tahun dengan tingkat pengembalian atau internal rate of return (IRR) berkisar 14 – 18 persen.
Di sisi lain, Budi memperkirakan, imbal hasil proyek-proyek EBT tersebut didapatkan minimal 15 tahun. Tingkat IRR diharapkan sekitar 8 persen.
Pada saat yang sama, PLN juga tengah melelang enam paket pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di daerah-daerah terisolasi di Pulau Sumatera. Proyek-proyek EBT yang akan dilelang maupun yang sudah PPA belum dimasukkan dalam proyek investasi nonanggaran pemerintah (PINA). “Kami akan mengusulkan untuk dimasukkan,” ucap Budi.
Oleh sebab itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro mengusulkan skema pembiayaan gabungan komersial dan nonkomersial. “Kira-kira IRR-nya berkisar 13 – 15 persen,” ujarnya saat ditemui secara terpisah.
Pembiayaan nonkomersial yang dimaksud berasal dari perbankan sedangkan pembiayaan nonkomersial dapat berasal dari PINA. Jika skema pembiayaan gabungan itu tidak diterapkan, Indonesia terancam hanya mampu merealisasikan pemenuhan EBT setengah dari target, yakni 23 persen pada 2025.
Chief Executive Officer PINA Ekoputro Adijayanto mengatakan, pihaknya akan memfasilitasi proyek-proyek ramah lingkungan dan memperhatikan aspek pengembangan berkelanjutan. PINA akan menjembataninya dengan investor yang berminat.
Selain PINA, proyek-proyek tersebut juga dapat dipenuhi dengan skema green climate fund (GCF) yang difasilitasi Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Parjiono mengatakan, potensi pendanaan untuk Indonesia berkisar 2,8 miliar dollar Amerika Serikat per tahun.