Mencari Bentuk Pertamina
Kalau ada yang tidak mau (dikonsolidasi), pilihannya hanya dua. Mereka atau saya yang pergi. Saya sudah ungkapkan kepada pemegang saham. Tidak masalah kalau saya hanya tiga bulan di sini atau dua bulan juga silakan.
Kalimat-kalimat diucapkan Elia Massa Manik dalam wawancara eksklusif Kompas dua pekan setelah dirinya ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Pertamina (Persero). Karir Massa, demikian ia dipanggil, di kursi nomor satu Pertamina berakhir pada 20 April 2018 atau berlangsung selama 13 bulan empat hari. Selain Massa, empat direktur Pertamina turut dicopot dari jabatannya.
Kursi direksi Pertamina memang panas. Dalam sejarahnya, sebagai perusahaan milik negara, perjalanan Pertamina tidak lepas dari campur tangan politik, ekspansi bisnis hingga jauh dari bisnis utama sebagai perusahan minyak dan gas, termasuk kisah suram di pusaran kasus korupsi. Maklum, bisnis Pertamina adalah bisnis minyak dan gas bumi, komoditas vital bernilai triliunan rupiah dan pernah melambungkan perusahaan tatkala Indonesia masih surplus minyak di dekade 70 dan 80-an.
Sekadar mengulang, di era pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, bongkar pasang kursi direksi Pertamina terjadi beberapa kali. Diawali dengan pengangkatan mantan Direktur Utama PT Semen Indonesia (Persero) Dwi Soetjipto menjadi Direktur Utama Pertamina pada November 2014, selang setahun kemudian, dibuat kursi jabatan baru Wakil Direktur Utama Pertamina.
Sempat diterpa isu perpecahan antara direktur utama dengan wakilnya, keduanya diberhentikan pada Februari 2017. Lalu pada 16 Maret 2017, Massa diangkat menggantikan Dwi Soetjipto. Pada November 2017, Nicke Widyawati ditunjuk sebagai Direktur Sumber Daya Manusia Pertamina menggantikan Dwi Wahyu Daryoto. Sebelumnya, Nicke adalah Direktur Pengadaan Strategis di PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Penambahan nomenklatur berupa dua direktorat baru sekaligus penghapusan direktorat gas terjadi pada Februari 2018.
Bongkar pasang jabatan teras Pertamina seolah menandakan Kementerian BUMN, yang mewakili negara selaku pemilik saham, belum menemukan formasi yang tepat. Kegemaran ini dikhawatirkan mengganggu kinerja perusahaan, meskipun Pertamina disebut-sebut telah memiliki sistem manajemen yang mapan. Padahal, Pertamina terus berpacu dengan waktu menuntaskan pekerjaan rumah di tengah tantangan bisnis migas yang kian rumit seiring kejatuhan harga minyak di akhir 2014.
Sebut saja rencana pembangunan kilang baru di Bontang, Kalimantan Timur, dan di Tuban, Jawa Timur. Itu belum termasuk program peningkatan kapasitas kilang lama, yaitu kilang Balikpapan di Kaltim, kilang Cilacap di Jawa Tengah, kilang Dumai di Riau, dan kilang Balongan di Jawa Barat. Seluruh target tersebut diharapkan tuntas pada 2025 dengan kapasitas produksi menjadi 2 juta barrel per hari atau naik dua kali lipat dibanding sekarang. Investasinya diperkirakan mencapai Rp 500 triliun.
Tantangan lain yang dihadapi Pertamina adalah bagaimana menaikkan produksi minyak dan gas perusahaan. Sejauh ini, sebagai perusahaan migas nasional, kontribusi produksi minyak Pertamina hanya 25 persen dari total produksi minyak nasional yang ada di angka 700-800 ribu barrel per hari. Sebuah kontribusi yang belum bisa dikata ideal.
Berikutnya, program BBM satu harga. Program ini adalah menjual bahan bakar minyak jenis premium dan solar bersubsidi dengan harga yang sama di seluruh pelosok Indonesia yang dikategorikan sebagai wilayah terluar, terdepan, dan terpencil. Premium dijual Rp 6.450 per liter dan solar bersubsidi Rp 5.150 per liter. Pemerintah menugaskan Pertamina merealisasikan program BBM satu harga di 150 lokasi sampai 2019 nanti.
Hal lain yang tak kalah menantang adalah harga minyak yang masih fluktuatif. Ini berpengaruh langsung pada keuangan perusahaan. Bisnis hilir Pertamina berada di posisi yang tak mudah. Menjual premium dan solar bersubsidi di bawah harga keekonomian, dipastikan menguras kas perusahaan. Apalagi, Pertamina tak bisa semerta-merta menaikkan harga BBM non subsidi dan diharuskan izin terlebih dahulu ke pemerintah. Pertamina kian terbatas geraknya.
Sebagai BUMN, Pertamina diwajibkan mendapat untung. Di saat yang sama, BUMN juga harus melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat. Dua hal ini kerap membuat gamang. Sudah lazim bahwa ukuran kinerja direksi dalam perusahaan adalah persoala rugi laba.
Pejabat direktur utama yang baru nanti juga bakal langsung menghadapi tantangan berat dalam hal kecukupan pasokan BBM dan elpiji menjelang Idul Fitri. Kelangkaan elpiji adalah isu yang kerap kali berulang saat Idul Fitri datang. Selain itu, direktur utama harus mampu menciptakan iklim yang solid dalam waktu singkat. Konsolidasi, khususnya pejabat non karir yang ditunjuk sebagai direktur utama, perlu waktu dan sekaligus membuang-buang waktu untuk penyelesaian berbagai pekerjaan rumah Pertamina di atas.
Pemerintah harus bisa memastikan bahwa penunjukan Direktu Utama Pertamina berikutnya adalah sosok yang benar-benar tepat. Jika masih gemar bongkar pasang, misi dan visi Pertamina menjadi perusahaan kelas dunia pada 2025 rasanya sulit dicapai. Begitu pula dengan rencana membangun kilang baru. Jangan sampai Pertamina hanya menjadi pengimpor BBM saja yang ujung-ujungnya menyuburkan praktik pemburu rente seperti yang pernah terjadi.