JAKARTA, KOMPAS — Komitmen perbankan bertransaksi surat berharga dengan syarat dibeli kembali masih rendah. Padahal, transaksi ini dapat meningkatkan ketahanan perbankan dalam menghadapi risiko sistemik.
Melalui transaksi surat berharga dengan syarat dibeli lagi (repurchase agreement/repo), likuiditas juga dapat mengalir secara merata ke seluruh bank. Dengan demikian, dana tidak terparkir di Bank Indonesia (BI).
Penempatan di bank sentral seharusnya sebagai residual, bukan dipandang sebagai penempatan untuk memperoleh bunga
Menurut catatan BI, transaksi repo pada 2015 mencapai Rp 3 triliun per hari. Pada 2017, nilai transaksi repo berkisar Rp 2 triliun-Rp 3 triliun per hari. Kemudian, tahun ini, berkisar Rp 1 triliun-Rp 2 triliun per hari.
Kepala Departemen Pendalaman Pasar Keuangan BI Nanang Hendarsyah kepada Kompas, Jumat (6/4/2018), mengatakan, bagi bank, kemungkinan besar transaksi repo dianggap terlalu rumit. Sebab, bank harus memelihara kolateral surat berharga karena perlu valuasi atas harga surat berharga yang berubah sesuai pasar.
Selama ini, transaksi repo masih belum merata karena didominasi bank-bank nasional kategori buku III dan IV. Hampir semua bank pembangunan daerah (BPD) sudah menandatangani perjanjian repo, tetapi baru sebagian kecil yang memanfaatkan.
”Hal itu terjadi karena sistem BPD belum memadai dan masih banyak BPD yang belum memiliki kolateral surat berharga,” katanya.
Nanang menambahkan, BI melihat bank-bank asing masih terbatas sekali melakukan transaksi repo karena ada kekurangpercayaan terhadap kontrak legal. BI dan Otoritas Jasa Keuangan telah meminta bank-bank asing yang aktif di pasar antarbank (PUAB) rupiah—tetapi tidak aktif di pasar repo—untuk aktif bertransaksi repo.
Perbankan, termasuk bank asing, lebih tertarik bertransaksi di pasar PUAB yang tidak memerlukan jaminan. Pekan lalu, nilai transaksi PUAB Rp 25 triliun per hari dan terkonsentrasi di transaksi satu malam.
Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank CIMB Niaga Tbk Adrian Panggabean memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan tahun ini di bawah dua angka, yaitu 9 persen. Kendati demikian, pertumbuhan kredit perbankan yang rendah itu dibarengi dengan pertumbuhan pendanaan yang cukup pesat lewat pasar modal.
”Kenaikan suku bunga acuan sejumlah bank sentral negara-negara maju juga masih terus berlanjut tahun ini,” ujarnya.