Pelaku UKM Perlu Pendampingan dalam Pelaporan Pajak
Oleh
DD14
·3 menit baca
Aris Setiawan Yodi
Ketua Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia M Ikhsan Ingratubun saat ditemui di Jakarta, Senin (19/3)
JAKARTA, KOMPAS – Usaha pemerintah untuk memaksimalkan potensi penerimaan pajak dari sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) perlu memperhatikan penyederhanaan sistem atau mekanisme pelaporan keuangan.
Ketua Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia M Ikhsan Ingratubun Senin (19/3) di Jakarta mengatakan, persoalan penerimaan pajak yang tidak maksimal dari sektor UKM disebabkan oleh minimnya pendampingan kepada pelaku UKM. Banyak pelaku UKM yang masih tidak mengerti cara pelaporan penghasilan dalam rangka pembayaran pajak.
Dalam PP No 46/2013 tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Kategori UKM yang dimaksud adalah usaha dengan peredaran bruto atau omzet maksimal Rp 4,8 miliar per tahun. Tarifnya bersifat final sebesar 1 persen. Dalam aturan baru, tarifnya akan diturunkan menjadi 0,5 persen. Adapun tentang batasan UKM berdasarkan omzet, tetap seperti aturan lama, yakni maksimal Rp 4,8 miliar per tahun. (Kompas, 13/3)
“Dari data sekitar 50 an juta pelaku UKM, mungkin hanya sekitar 10-15 persen saja yang membayar pajak. Itu karena masih banyak yang tidak paham bagaimana cara pelaporan pajak,” tutur Ikhsan.
Selain penurunan pajak final bagi UKM, pemerintah berencana memberikan opsi mengenakan pajak normal bagi pelaku UKM. Artinya, jika pelaku UKM memilih mekanisme pengenaan pajak normal, maka pajak dihitung berdasarkan laba. Jika usahanya mengalami kerugian, maka tidak dikenakan pajak. Ini berbeda dengan pemberlakuan mekanisme PPh final, yang menghitung pajak berdasarkan omzet.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, jika dalam peraturan baru nantinya pelaku UKM diberikan opsi pengenaan pajak final atau normal, hal itu lebih mencerminkan keadilan. Selama ini, pengenaan pajak final 1 persen diberlakukan kepada semua pelaku UKM, padahal margin keuntungan setiap usaha berbeda, bahkan ada usaha yang tidak mengalami laba harus membayar pajak.
“Ini lebih lebih memberikan keadilan bagi kedua sisi, bagi pemerintah tidak dianggap sewenang-wenang memungut pajak bagi yang rugi. Sebaliknya, pemerintah juga memiliki insentif karena mendorong wajib pajak memiliki pembukuan. Dari sisi tertib pajak lebih bagus,” kata Prastowo.
aris.setiawan
-
Prastowo menyampaikan, jika nantinya wajib pajak memilih untuk mengenakan mekanisme pajak normal, maka wajib pajak harus memiliki pembukuan terhadap usahanya, sehingga dapat dibuktikan usahanya mengalami rugi.
Masih rumit
Namun demikian, Prastowo mengamini apa yang dikatakan oleh pelaku UKM bahwa sistem pelaporan pajak bagi pelaku UKM masih rumit. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) terbaru yang menggolongkan UKM sebagai entitas tanpa akuntabilitas publik saat ini dinilainya masih cukup rumit bagi pelaku UKM.
“Standar akuntansi keuangannya diperbaiki dahulu, kita harus mengadopsi PSAK untuk UKM, setelah itu diintegrasikan dengan akuntasinya pajak supaya selaras. Jadi wajib pajak tidak perlu bikin akuntasi wajib pajak dan versi keuangan mereka. Kalau bisa disiapkan juga aplikasi yang mempermudah wajib pajak melakukan pelaporan,” tutur Prastowo.
Menurut Prastowo, jika sistem sudah dipermudah dan penurunan pajak diterapkan, hal itu dapat menarik minat pelaku UKM untuk masuk di dalam sistem para wajib pajak. Dengan demikian, kontribusi penerimaan pajak dari sektor UKM bisa ditingkatkan. Sejauh ini, kontribusi pajak dari UKM hanya sekitar Rp 3 triliun. Menurutnya, masih banyak potensi pajak yang bisa dimaksimalkan dari pelaku UKM.
“Agar kebijakan ini berjalan efektif perlu juga ada disinsentif bagi yang tidak masuk sistem pajak, entah diaudit, tidak mendapatkan izin untuk melakukan pinjaman di bank, dan lain-lain,” ujar Prastowo.