Roda globalisasi yang berputar semakin cepat membuat semua komponen yang ada bekerja berpacu dengan waktu untuk bisa mengimbanginya. Industri kreatif yang terkena dampaknya mengalami perubahan. Dunia kreatif mengubah makna waktu. Saat ini waktu tidak dipandang sebagai batas bekerja dan beristirahat, tetapi hanya menjadi pengawal target, tanpa peduli waktu istirahat para pekerja.
Jati (29) mengenang pekerjaannya dulu di sebuah perusahaan media raksasa di Indonesia. Lelaki ini tertawa miris saat bercerita bagaimana waktu tidak menjadi hal yang diperhitungkan bagi perusahaannya. Bagi voice over seperti Jati, saat itu yang menjadi patokannya hanya arahan dari atasan, tanpa peduli waktu istirahat yang seharusnya diterima.
”Saya mulai bekerja di perusahaan itu tahun 2013. Pernah saya bekerja dari jam 9 pagi sampai jam 3 pagi sekitar satu tahun saat perusahaan itu merintis suatu program. Jujur, sebagai voice over saya membutuhkan waktu istirahat karena suara memiliki keterbatasan,” ujarnya.
Jati menjelaskan, kultur perusahaan media itu hanya memandang tim sebagai patokan, tetapi keadaan individu tidak diindahkan. Akibatnya, jika sedang membutuhkan voice over secara mendadak, meskipun waktu kerja Jati telah habis, tidak urung ia dipanggil agar kebutuhan tersebut terpenuhi.
Lelaki ini pernah protes kepada atasan mengenai sistem kerja yang dinilai tidak sesuai dengan kemampuannya, berharap bisa mendapatkan pengertian dan keringanan, tetapi yang terjadi malah atasan Jati merespons dengan sedikit ancaman bahwa ia akan dipecat jika tidak bisa mengimbangi ritme kerja di sana.
”Bos saya mengatakan, jika saya tidak sanggup dan mau berhenti silakan, banyak orang di luar sana yang mencari pekerjaan. Saya tidak terima dengan alasan seperti itu. Tidak manusiawi. Lebih baik saya mengundurkan diri. Saya tulis sendiri suratnya, saya serahkan sendiri. Begini lebih baik,” kenangnya.
Selain Jati, Ellena Ekarahendy (26), art director dari sebuah agensi periklanan, merasakan hal yang sama, bekerja melebihi waktu wajar. Ia berkisah pernah bekerja dari jam 10 pagi hingga jam 3 pagi untuk mengejar target yang ditetapkan klien. Ellena yang memang memiliki minat di bidang kreatif ini merasa telah menggadaikan waktu istirahat karena persaingan yang ketat di industri ini.
”Klien tidak peduli dengan waktu istirahat kami. Persaingan sangat ketat, jika tidak diambil, mereka bisa dengan mudah mendapatkan agensi yang lain. Kami tidak punya nilai tawar. Hal ini sangat memberatkan karena saya memiliki passion di bidang ini,” ujar lulusan desain komunikasi visual (DKV) ini.
Ellena yang juga merupakan Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) mengharapkan ada regulasi yang membuat agensi periklanan memiliki nilai tawar sehingga klien tidak bisa menetapkan target tanpa melihat kondisi dan kapasitas kerja manusia yang ada di dalamnya.
”Jangan sampai gara-gara kami memiliki passion di bidang ini, klien merasa kami membutuhkan mereka. Kami tahu persaingan di dunia kreatif memang keras, tetapi kami juga butuh istirahat. Saya juga bilang kepada teman-teman lain, jangan sampai passion membuat mereka tidak mempedulikan waktu istirahat,” ujarnya seusai diskusi Ekonomi Digital dalam Perspektif Kelas Pekerja.
Acara yang diadakan di Gedung Joang 45, Jakarta, Minggu (28/1), ini juga mendatangkan Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Regulasi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Ari Juliano Gema, International Labour Organization (ILO) Global-Program Officer Valentine Offenloch, dan Peneliti Prakarsa Irvan Tengku Harsa. Diskusi ini juga diakhiri dengan orasi dari Sindikasi terkait kondisi pekerja kreatif di era ekonomi digital.
Ari Juliano memandang industri kreatif merupakan salah satu pekerjaan yang sulit untuk menetapkan standar yang telah ditetapkan pemerintah, yaitu delapam jam bekerja dalam sehari. Ia mengatakan, pengecualian tersebut seharusnya diimbangi dengan pemberian fasilitas yang bisa mendorong produktivitas.
”Saya dulu sebagai pengacara juga begitu, bekerja sesuai permintaan klien. Sektor-sektor yang memiliki pengecualian, seperti industri kreatif, mungkin bisa dinegosiasikan dengan pihak-pihak tenaga kerja, dalam hal ini kementerian dan dinas terkait,” katanya.
Keselamatan kerja
Dalam diskusi ini, Valentine Offenloch memiliki pandangan dari sisi kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Ia menjelaskan, pola kerja industri kreatif yang lebih banyak mengerjakan segala sesuatunya di luar kantor menjadikan sisi K3 tidak diperhatikan dengan baik. Biaya yang ada juga biasanya dibebankan kepada pekerja sehingga terkadang mereka kewalahan mengatur waktu bekerja.
”Saat ini, mungkin pada awal-awal bekerja tidak terlihat. Tetapi, kondisi bekerja yang tidak stabil akan menimbulkan banyak penyakit. Biaya dan waktu yang menjadi tanggungan pekerja sendiri membuat tidak ada evaluasi berkala di dalam industri ini. Pemerintah harus melakukan inisiatif, mengubah peraturan sehingga sesuai dengan perkembangan zaman,” katanya.
Buramnya batas waktu bekerja dan isirahat memang dirasakan Alfa (35), media social specialist. Sambil memegang dagu, ia berpikir waktu yang dia butuhkan untuk bekerja. ”Memang tidak jelas. Pokoknya, klien menargetkan saya mengunggah tulisan, gambar, ataupun tutur visual lainnya ke media sosial. Biasanya mereka meminta tiga posting-an per hari,” ujarnya.
Tidak adanya batas waktu membuat Alfa bisa bekerja selama seminggu tanpa henti. Ia memang merasa lelah, tetapi itu harus dilakukannya demi menyambung hidup. ”Pekerjaan ini tidak semudah yang dibayangkan orang-orang. Kami harus memikirkan konsep tulisan berdasarkan pasar. Mencari daya tarik yang sesuai dengan selera hingga menargetkan jumlah pembaca ataupun penonton karya yang telah dibuat,” ujar lelaki ini.
Alfa berharap pemerintah memiliki perhatian dengan industri yang nantinya akan menjadi penopang perekonomian negara ini. Alfa menuturkan, kapasitas berpikir dan bekerja di depan layar harus menjadi pertimbangan dalam K3 karena semuanya bisa menimbulkan dampak negatif bagi tubuh jika berinteraksi terlalu lama.
Seraya menunjukkan kepalanya, Alfa berkata, ”Kantor kami di sini. Kami bekerja dengan ide dan kami ingin pemerintah tahu pekerjaan ini menuntut banyak energi untuk berpikir dan berkreasi,” ujarnya. (DD12)