Lindungi ABK, Susi Dorong Ratifikasi Konvensi ILO soal Penangkapan Ikan
Oleh
M Fajar Marta
·3 menit baca
GENEWA, KOMPAS — Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mendorong dan mendukung penuh rencana pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) soal penangkapan ikan atau yang dikenal dengan ILO Convention on Work in Fishing Industry No 188 (ILO Convention 188).
Konvensi tersebut akan menjamin fasilitas kesehatan dan keamanan yang layak bagi para pekerja di kapal ikan atau anak buah kapal (ABK) selama berada di laut.
Selain itu, ABK juga dijamin mendapatkan istirahat yang cukup dan perjanjian kerja tertulis.
”Selama ini, kehidupan ABK di laut sangat sengsara, tidak ada tempat tidur untuk beristirahat, bahkan tidak ada air bersih yang cukup untuk minum dan mandi. Mereka juga tidak pasti akan berapa lama berada di laut. Kondisi ini harus diperbaiki,” kata Susi Rabu (29/11) di Geneva, Swiss.
Terkait proses ratifikasi tersebut, Menteri Susi bertemu dengan sejumlah pejabat ILO di Geneva kemarin.
Koordinator Penasihat Khusus Satgas 115 Mas Achmad Santosa mengatakan, saat ini Indonesia tengah dalam proses untuk meratifikasi ILO Convention 188.
Karena ABK bukan tergolong sebagai nelayan, otoritas yang berhak mengatur adalah Kementerian Tenaga Kerja. Karena itulah, Kementerian Tenaga Kerja menjadi ujung tombak dalam proses ratifikasi ini.
”Jika ILO Convention 188 sudah diratifikasi, kehidupan ABK akan menjadi lebih baik,” kata Achmad Santosa.
Implementasi
Kendati Indonesia belum meratifikasi ILO Convention 188, sejatinya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah mengimplementasikan semangat konvensi tersebut dalam sejumlah aturan yang menjadi kewenangannya.
Susi telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35/PERMEN-KP/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan.
Peraturan tersebut mewajibkan industri perikanan harus memenuhi kondisi kerja yang adil dan layak bagi pekerja, antara lain hak untuk remunerasi dan waktu istirahat yang cukup dan layak, standar hidup layak, termasuk akomodasi, makan dan minum, mendapatkan pengobatan, mendapatkan asuransi jaminan sosial, mendapatkan perlindungan dari risiko kerja, serta hak khusus perempuan, anak, dan penyandang disabilitas.
Pengusaha perikanan juga wajib menghindari terjadinya kerja paksa dalam bentuk penyalahgunaan kerentanan, penipuan, pembatasan ruang gerak, pengasingan, kekerasan fisik dan seksual, intimidasi dan ancaman, penahanan dokumen identitas, penahanan upah, jeratan utang, kondisi kerja dan kehidupan yang menyiksa, serta kerja lembur yang berlebihan.
Diakui dunia
Cerita dan upaya pemberantasan pelanggaran HAM di industri perikanan yang dilakukan Indonesia kemudian menjadi perbincangan global.
Dunia mengapresiasi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Menteri Susi untuk mendorong bisnis perikanan yang berbasis HAM.
Bahkan, menurut Achmad Santosa, Indonesia menjadi pelopor dalam menerapkan praktik bisnis perikanan berbasis HAM.
”Sertifikasi hak asasi manusia pada usaha perikanan yang diwajibkan Indonesia mungkin menjadi yang pertama di dunia. Negara lain belum menerapkan hal serupa,” ujar Achmad Santosa di Geneva.
Untuk menularkan dan berbagi pengalaman mengenai komitmen dan upaya Pemerintah Indonesia dalam mendorong praktik bisnis berbasis HAM, Susi pun pada Senin (27/11) berbicara pada forum tahunan mengenai bisnis dan HAM di Kantor PBB Geneva.