JAKARTA, KOMPAS — Program pemerintah untuk menyamakan harga-harga kebutuhan di Papua dan wilayah lain di Indonesia masih terkendala. Program ini belum sepenuhnya dapat diwujudkan karena infrastruktur yang direncanakan masih belum selesai. Akibatnya, arus barang ke Papua belum lancar karena minimnya sarana pelabuhan.
Bupati Nabire Isaias Douw menganggap wilayah tugasnya itu merupakan simpul penting bagi masuknya barang di Papua. ”Pelabuhan Nabire ini pintu masuk barang ke kawasan adat Meepago. Karena minimnya sarana pelabuhan, harga-harga barang di sana masih sulit ditekan,” kata Isaias Daouw seusai bertemu Staf Khusus Presiden Bidang Papua Lenis Kagoya di Jakarta, Jumat (13/10).
Kawasan adat Meepago meliputi Kabupaten Deiyai, Dogiyai, Paniai, Intan Jaya, dan Nabire. Pelabuhan Nabire, menurut Isaias, kurang memadai dipakai sebagai sandaran kapal besar. Kondisi ini memaksa sejumlah pengelola kapal kargo antre sebelum bersandar di Nabire. Isaias meminta perhatian Kementerian Perhubungan untuk segera mempercepat pembangunan Pelabuhan Nabire.
Keluhan Isaias dibenarkan oleh Lenis. Setelah melihat kondisi di lapangan dalam dua pekan terakhir, pembangunan Pelabuhan Nabire dan Depapre dinilai mendesak untuk dipercepat. Arus barang ke Papua saat ini meningkat signifikan, sementara pelabuhannya masih belum siap menerima peningkatan itu.
Selain itu, pemerintah daerah perlu membuat badan usaha milik daerah (BUMD). Keberadaan BUMD diyakini dapat mengendalikan harga barang di Papua. Selama ini, barang yang masuk ke Papua diterima swasta sehingga harga kembali sulit ditekan.
Tertahan berlayar
Minimnya infrastruktur pelabuhan diakui oleh pelaku usaha kargo. Ritha Manik, Presiden Direktur PT Duta Shipping International, mengatakan, kapal perusahaannya belum dapat melanjutkan pelayaran ke Nabire. Menurut rencana, kapal itu memuat beragam barang kebutuhan untuk masyarakat Papua.
Ritha mengakui Pelabuhan Nabire memiliki medan paling berat di antara pelabuhan lain di Papua dan Papua Barat. Kapal milik PT Duta Shipping terlalu besar untuk singgah di Pelabuhan Nabire sehingga belum bisa mengangkut barang dari Surabaya, Jawa Timur. Dia mengusulkan agar pemerintah mempercepat pembangunan Pelabuhan Nabire dan Depapre.
Secara terpisah, anggota Komisi II DPRD Papua, Deerd Tabuni, mengatakan, seharusnya ada penyediaan sarana transportasi di daerah pelaksana tol laut untuk mendistribusikan barang ke daerah lainnya di pegunungan atau yang diakses melalui sungai. Tujuannya agar dampak dari tol laut juga dirasakan warga di daerah-daerah tersebut.
”Kementerian Perhubungan seharusnya menyiapkan kapal khusus untuk sungai dan pesawat dengan subsidi biaya kargo untuk mendistribusikan barang kebutuhan pokok dari daerah penerima program tol laut ke daerah pedalaman. Apabila ini terjadi, semua warga di daerah terisolasi bisa merasakan keadilan dan tidak didiskriminasikan,” kata Deerd.
Ia berpendapat, Presiden Joko Widodo selaku pencetus tol laut harus mengevaluasi pelaksanaan program tersebut di Papua. ”Selama tiga tahun terakhir, warga di sebagian besar kabupaten di Papua masih membeli barang kebutuhan pokok dengan harga yang tidak wajar jika dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Seharusnya ada perubahan untuk mengatasi kesulitan warga di daerah pedalaman,” katanya.