Persaingan UMKM Semakin Ketat
JAKARTA, KOMPAS — Persaingan antarusaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) semakin ketat dan pendapatan para pelaku usaha juga semakin berkurang. Kondisi ini disebabkan jumlah pesaing yang bertambah banyak, seperti dalam usaha percetakan dan konfeksi.
Taufik Akbar (31), pemilik usaha PD Percetakan Karya Indah di Jalan Gading Raya, Jakarta Timur, mengutarakan, pendapatannya semakin menurun dari tahun ke tahun. ”Sekarang makin susah dapat pesanan karena banyak pesaingnya,” ujar Taufik.
Di Jalan Gading Raya sekarang terdapat setidaknya enam usaha percetakan. Padahal, sepuluh tahun lalu baru ada dua tempat. Tiga tahun belakangan mulai banyak usaha percetakan di sekitar Jalan Gading Raya.
Taufik meneruskan usaha yang dirintis orangtuanya sejak 1991. Dia mulai bekerja di tempat itu sejak 2005 dan sekarang sudah dia ambil alih. Menurut Taufik, sepuluh tahun yang lalu pendapatan kotor per bulannya sekitar Rp 5 juta. Sekarang pendapatannya sekitar Rp 3 juta per bulan.
Taufik mengatakan, pesanan yang paling menguntungkan untuk usaha percetakan adalah undangan. Namun, tahun ini pesanan undangan berkurang dibandingkan tahun lalu. Pesanan undangan yang diterima Taufik tiap bulan dua atau tiga. Pada Juli setelah Lebaran lalu, dia mendapat sedikit peningkatan pesanan sebanyak lima.
Pesanan paling banyak setelah undangan adalah faktur-faktur perusahaan. Akan tetapi, itu juga tidak bisa diandalkan karena lebih tidak tentu. Taufik juga membuat inovasi selama setahun ini dengan membuat suvenir, seperti mug, untuk menarik minat orang-orang yang memesan undangan pernikahan. ”Ternyata itu juga tidak banyak yang pesan,” kata Taufik.
Penurunan pendapatan karena ketatnya persaingan juga dirasakan Daniel Faisal (48), pemilik usaha konfeksi Safira Busana yang juga berada di Jalan Gading Raya. Sudah satu tahun Faisal mendirikan usaha yang dikelolanya sendiri bersama tiga pekerjanya. Sebelumnya, Faisal bekerja sama dengan temannya melakukan usaha konfeksi. Menurut Daniel, saat ini sulit bagi pemilik usaha seperti dirinya jika sekadar menunggu pesanan.
”Walaupun sudah punya pelanggan-pelanggan lama, saya tetap aktif menawarkan barang saya. Kalau tidak, saya bisa kalah saing,” ucap Daniel.
Kebanyakan pesanan untuk Daniel adalah seragam sekolah dan kantor atau pabrik. Dia berkeliling melakukan survei di sekolah-sekolah atau kantor dan mengirim proposal untuk seragam baru kepada mereka. Strategi ini dirasanya cukup berhasil karena tahun ini dia mendapat pesanan seragam dari empat sekolah.
Daniel mengatakan, jika dirinya tidak aktif menawarkan dagangannya, kesempatan itu akan diambil usaha konfeksi lain. ”Beberapa tahun lalu, yang mengirimkan proposal paling hanya dua atau tiga. Kalau sekarang bisa lima atau lebih,” kata Daniel.
Banyaknya pesaing itu juga berimbas ke harga yang menurut Daniel semakin tidak beraturan. Dia menceritakan, ada orang yang menurunkan harganya secara drastis demi memenangkan pesanan. Padahal, harga bahan pakaian tiap tahun selalu naik. Contohnya, bahan katun untuk kaus tahun lalu Rp 64.000 per kilogram. Tahun ini, harga itu naik menjadi Rp 67.000 per kilogram. Daniel merasa kewalahan jika menghadapi pesaing yang semacam itu karena dia juga masih harus membayar sewa tempat usahanya sekarang sebesar Rp 18 juta per tahun.
Usaha oleh-oleh
Untuk menghindari persaingan, ada juga yang memilih membuat usaha yang belum dilakukan orang lain, seperti Endah Rohaedah (43). Dia bersama adiknya membuka usaha oleh-oleh Kota Bogor di Kemayoran, Jakarta Utara. Dia tidak menamai tempat usahanya itu, tetapi secara khusus dia menjual kue lapis talas Sangkuriang yang sebenarnya tidak membuka cabang selain di Bogor.
”Kami memanfaatkan orang yang ingin kue itu, tetapi malas pergi ke Bogor,” ujar Endah.
Sebab, sebenarnya Sangkuriang tidak membuka cabang, mereka membeli kue lapis itu dengan harga normal Rp 25.000 dan menjualnya kembali seharga Rp 40.000.
Awalnya, banyak orang yang meragukan keaslian kue yang mereka jual dan harganya yang lebih mahal. Namun, lama-kelamaan usaha yang dirintis tiga tahun yang lalu itu membuahkan hasil. Segmen orang-orang yang rela membayar lebih mahal itu ternyata cukup banyak. Sudah ada empat toko yang mereka buka untuk menjual kue lapis dan oleh-oleh khas Bogor lainnya itu.
Setiap hari mereka membeli 100 boks kue lapis talas yang disebar di empat toko mereka. Hasilnya, rata-rata yang terjual tiap hari 70 boks atau lebih. Keuntungan yang mereka dapat per hari Rp 300.000 sampai Rp 500.000.
Kendala yang dihadapi Endah dan adiknya adalah keraguan orang-orang untuk membeli di tempat mereka, terutama saat empat bulan pertama setelah dibuka. ”Promosinya cuma dari mulut ke mulut. Kue ini, kan, lumayan banyak dicari. Karena hanya sedikit yang jual di Jakarta, kami bisa mendapat untung dan buka tiga cabang lagi,” ujar Endah. (DD02)