JAKARTA, KOMPAS — Suku bunga perbankan yang masih tinggi, baik untuk kredit pemilikan rumah maupun kredit konstruksi, ditengarai menjadi hambatan bagi industri properti. Sementara kemudahan regulasi dari pemerintah pusat untuk mendorong properti belum sepenuhnya berjalan.
Padahal, pertumbuhan industri properti dapat menarik kegiatan di sektor lainnya.
"Industri properti merasakan tantangan berat saat ini. Dampaknya pada penjualan properti, khususnya untuk segmen menengah ke atas. Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengatasi hal itu, yakni dengan Program Sejuta Rumah beserta kemudahan-kemudahannya, pelonggaran loan to value, lalu ada program pengampunan pajak. Kemudian paket kebijakan ekonomi, meski di lapangan antara kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah ada anomali," kata Wakil Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kebijakan, Hukum, dan Perundang-undangan Properti Ignesjz Kemalawarta di Jakarta, Kamis (20/7).
Ia juga mewakili Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) dalam seminar "Strategi Penanganan Pembiayaan Sektor Properti di Tengah Melemahnya Daya Beli".
Ignesjz mengatakan, hingga saat ini kredit perbankan masih mendominasi pembiayaan perumahan di Indonesia, baik dalam bentuk kredit pemilikan rumah (KPR) maupun kredit konstruksi. Namun, suku bunga yang dikenakan untuk kedua jenis kredit itu masih cukup tinggi. Hal ini memberatkan pengembang karena saat ini daya beli turun, produk properti belum laku, sedangkan kewajiban utang harus dilunasi.
Di sisi regulasi, lanjut Ignesjz, pemerintah telah berupaya merelaksasi maupun menderegulasi. Ia mencontohkan, relaksasi rasio pinjaman terhadap aset (loan to value/LTV) sehingga uang muka pembelian rumah pertama menjadi 15 persen. Paket Kebijakan Ekonomi XIII untuk mendorong pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diikuti penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah juga telah diterbitkan.
"Anomalinya, kebijakan pusat dengan kebijakan pemda tidak sejalan. Di daerah tidak ada satu pun yang merevisi perda. Padahal, ini bisa menekan biaya- biaya di daerah," ujar Ignesjz.
Ignesjz berharap pemerintah dapat memperbaiki masalah yang masih menghadang industri properti, seperti deregulasi yang masih belum berjalan di daerah. Sebab, jika industri properti tumbuh, maka akan mendorong industri lain serta menyerap banyak tenaga kerja.
Managing Partners Marx and Co Andryan mengatakan, pengembang perlu memitigasi potensi munculnya masalah antara bank dengan pengembang.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan, bunga KPR perbankan mestinya masih memiliki ruang untuk diturunkan sampai level 8 persen. "Saat ini suku bunga acuan Bank Indonesia masih di 4,75 persen. Masih ada ruang yang cukup lebar," kata Ali.
Selain itu, menurut Ali, risiko kredit macet (NPL) telah menurun. Sementara, permintaan KPR secara perlahan telah naik. Di sisi lain, bank juga mendapatkan dana murah hasil dari program pengampunan pajak, meskipun dana para wajib pajak tersebut belum banyak yang masuk ke sektor riil. (NAD)