Kursi Kulit Domba hingga Menara Eiffel
Terjepit oleh keterbatasan pasokan kayu, minimnya tenaga kerja, dan persaingan dengan mebel impor, para perajin mebel dan ukir Jepara tak mau menyerah. Mereka bertekad tak mau kalah dengan melakukan inovasi berkelanjutan. Desain perabot unik dan variatif digarap guna menggaet permintaan pasar yang kian dinamis.
Kursi-kursi dari kayu jati ataupun kayu sonokeling terus dimodifikasi secantik dan seunik mungkin. Kursi-kursi itu dibuat makin empuk dengan lapisan kulit domba. Kursi tunggal ini kini mulai jadi tren di kalangan perajin mebel di Jepara, Jawa Tengah. Inovasi ini lahir dari krisis dan tekanan kompetitor.
"Saat belum diproduksi massal, saya bisa menjual lebih dari sepuluh unit per hari, sebagian besar penjualan lewat online. Sekarang sudah jauh lebih banyak," ujar Jefry Masduri (29), perajin mebel UD Sumber Alam, di sentra mebel dan ukir Mulyoharjo, Jepara, beberapa waktu lalu.
Di sentra kerajinan mebel ini, keahlian para perajin mebel Jepara terlihat. Mereka tidak hanya memanfaatkan kulit domba sebagai variasi kursi, cabang-cabang kayu jati yang tidak terpakai pun bisa menjadi kursi teras yang unik. Batang cabang kayu jati bulat itu dipotong-potong dengan ukuran 15 sentimeter (cm), 20 cm, dan 30 cm. Potongan kayu itu disusun rapi membentuk kursi teras yang ditawarkan dengan harga Rp 6 juta untuk 2 kursi dan 1 meja.
Jefry mengakui, saat ini penjualan mebel masih stagnan. Bahkan, cuaca yang buruk juga menyulitkan perajin mengeringkan kayu. Kalau tidak punya mesin oven, pekerjaan jadi lebih lambat. Meski demikian, perajin Jepara bukan kali ini saja dilanda krisis, dan selama ini mereka selalu bisa bertahan.
Untuk menggaet pasar kaum muda yang tidak terlalu suka model kuno, beberapa perajin mencoba membuat kursi dilapisi lambang bendera negara atau ikon-ikon Eropa dan Amerika. Ikon-ikon dunia, seperti Menara Eiffel, telepon kuno, pemandangan kota New York, atau perahu di perairan Hongkong, terpampang pada kain kanvas dudukan kursi. Salah satunya seperti terlihat di Kemang Industri Furniture, Jepara.
Mebel luar ruang
Secara umum, model produk mebel di Jepara dominan dengan kesan elegan. Adapun model minimalis yang mulai tumbuh belakangan baru sekitar 34 persen, terutama mebel luar ruangan dan aksesori taman. Sisanya model oriental ataupun klasik. Mebel luar ruang ini, kini kian banyak diminati, terutama di luar negeri. Kebanyakan dimanfaatkan sebagai properti kafe pantai, taman, dan teras kafe.
General Manager PT Presiden Furniture Ponco Suhirno menuturkan, produk mebel di pabriknya saat ini 70 persen adalah mebel luar ruang. "Produk paling laris mengisi furnitur hotel-hotel baru di sejumlah negara yang destinasi wisatanya tumbuh pesat, seperti Dubai (Uni Emirat Arab), Afrika Selatan, Asia Timur, dan beberapa negara di Eropa Timur. Hotel-hotel baru biasanya butuh mebel berbeda antara satu ruang dan ruang lainnya," katanya.
Meski demikian, Ponco mengaku pasar mebel luar negeri ada musimnya. Biasanya, pada Januari-April sepi, kemudian April-September kembali ramai, puncaknya pada September hingga Desember.
Seperti ketika Kompas menyambangi pabriknya, Ponco tengah menerima pelanggan asal Jerman yang memilih meja dan kursi lipat di gudangnya. Jan Muller dan Stefan, nama pelanggan itu.
Jan Muller mengatakan, rekannya tersebut hendak memesan mebel luar ruang untuk dikirim ke Jerman. Kebetulan memasuki musim panas, mulai April hingga lima bulan ke depan, pasar mebel di Eropa mulai ramai, terutama kebutuhan pasar mebel luar ruang.
Dari tinjauan ke gudang itu, Stefan tertarik dengan produk set meja dengan enam kursi. Ia langsung memesan satu kontainer berisi 116 set untuk bulan- bulan ini. Tiap pekan, Ponco bisa mengirim 4-10 kontainer mebel luar ruang dengan kapasitas sekitar 68 meter kubik.
Perajin kampung
Pasar ekspor menjadi andalan bagi pengusaha mebel, terutama skala menengah. Terlebih, mereka menjadi tempat bergantung puluhan hingga ratusan perajin mebel di kampung-kampung. Perajin kampung ini biasanya mendapat pesanan dari industri mebel. Jika pesanan sepi, dapur tak akan mengepul.
"Kami terus berinovasi karena ada tanggung jawab terhadap kelangsungan sekitar 106 perajin kampung," tutur Ponco.
Pemilik CV Aulia Jati Indofurni, Maskur Zaenuri, mengatakan, industri mebel di Jepara memang padat karya. Sebesar apa pun perusahaan mebelnya, biasanya melibatkan perajin mebel kampung.
"Usaha saya melibatkan 61 perajin di desa-desa. Ketika bisnis lesu, kami mesti mampu membentengi produksi perajin kampung itu," kata Maskur yang saat ini mampu mengirim 8-11 kontainer per bulan ke sejumlah negara Eropa dan Asia.
Upaya inovasi itu juga menular ke para perajin kampung yang tidak memiliki jalinan kerja sama dengan industri mebel skala menengah. Seperti halnya Purwono (39), perajin mebel akar jati di Mulyoharjo. Oleh karena harga kayu jati semakin tak terjangkau, ia memilih kayu trembesi sebagai bahan mebel. Harganya relatif lebih murah 60 persen dibandingkan harga jati yang mencapai Rp 4,8 juta per meter kubik. Kayu trembesi banyak diperoleh di Jawa Timur, tetapi kayu trembesi memerlukan pengolahan khusus karena kualitasnya rendah.
Sebagai perajin kampung, Purwono juga mulai berani memasarkan produknya lewat sistem daring. Penjualan lewat gawai itu telah menghubungkan calon pembeli dengan dirinya. Purwono setidaknya bisa menjual 3-4 set kursi akar jati ke luar kota ataupun ekspor.
Banyak perajin juga mulai memanfaatkan limbah kayu untuk dijadikan mebel, baik sebagai tambahan bahan baku maupun diolah menjadi produk baru yang memiliki nilai jual. Contohnya suvenir serta pelengkap furnitur. Semuanya dilakukan untuk mempertahankan riwayat panjang ukir Jepara yang konon tumbuh sejak abad ke-16.
(WINARTO HERUSANSONO)