Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah memberikan gelar doktor kehormatan kepada Menteri Agama periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin. Ia dinilai berjasa dalam menuangkan gagasan hingga praksis moderasi beragama.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, praktik moderasi beragama harus terus dikedepankan dan menjadi kebutuhan nyata bangsa yang agamis. Praktik moderasi beragama yang diterapkan dengan prinsip keadilan, keberimbangan, serta menaati konstitusi ini diyakini dapat melindungi kemanusiaan dan membangun kemaslahatan bersama.
Hal tersebut disampaikan Menteri Agama periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin saat memberikan orasi ilmiah dalam sidang senat terbuka Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah di Jakarta, Selasa (31/5/2022). Lukman mendapat gelar doktor kehormatan dari UIN Syarif Hidayatullah dalam bidang pengkajian Islam peminatan moderasi beragama.
Lukman menyampaikan, bangsa lain di dunia selalu melihat Indonesia dengan dua ciri utama yang melekat, yakni kemajemukan dan keagamaan atau religiusitas. Dua ciri utama ini juga sempat menjadi perdebatan para pendiri bangsa dalam menyusun dasar dalam mengelola kemajemukan, seperti suku, ras, agama, bahasa, budaya, kekayaan alam, dan sosial lainnya.
Kesadaran dalam menjalankan agama yang diterapkan dengan prinsip keadilan, keberimbangan, dan menaati konstitusi inilah yang disebut Lukman sebagai moderasi beragama.
”Kearifan para pendiri bangsa inilah yang mengantar tercapainya titik kompromi yaitu agama. Meski bukan dasar dalam berbangsa dan bernegara, agama telah menjiwai ideologi dan mewarnai konstitusi kita. Jika kita mendalami Pancasila, seluruh sila yang terkandung hakekatnya adalah nilai-nilai agama,” ujarnya.
Menurut Lukman, Indonesia memiliki relasi yang khas antara agama dan negara. Relasi ini bahkan dipandang tidak sama dengan bangsa lainnya yang menjadikan agama sebagai dasar negara. Akan tetapi, Indonesia menjalankan kehidupan bernegaranya dengan acuan atau panduan dari nilai-nilai agama.
Meski demikian, saat ini Lukman memandang bahwa realitas kehidupan beragama di Indonesia tengah menghadapi tantangan yang serius. Tantangan ini tidak terlepas dari munculnya umat beragama yang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan. Hal tersebut juga memunculkan ekslusivitas, segregasi, dan konfrontatif hingga bersifat destruktif.
”Tantangan kedua yaitu semakin muncul fenomena tafsir keagamaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tafsir yang tidak berdasar ini kemudian dipaksakan untuk diberlakukan kepada semua kalangan bahkan diiringi tindak kekerasan,” tuturnya.
Solusi dari tantangan ini, menurut Lukman, adalah membangun kesadaran bersama dalam menjalankan paham keagamaan yang tidak berlebihan dan tidak melampaui batas atau ekstrem. Kesadaran ini harus dibangun secara terencana dan terpola serta melibatkan seluruh institusi atau kelembagaan dan organisasi keagamaan.
Kesadaran dalam menjalankan agama yang diterapkan dengan prinsip keadilan, keberimbangan, dan menaati konstitusi inilah yang disebut Lukman sebagai moderasi beragama. Dengan kata lain, cara masyarakat dalam beragamalah yang perlu diupayakan untuk senantiasa berada pada posisi yang moderat atau tidak melampaui batas.
”Moderasi beragama hakikatnya adalah ikhtiar dan proses yang tidak berkesudahan. Ini adalah upaya untuk membangun cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama. Jadi, moderasi beragama yaitu melindungi kemanusiaan dan membangun kemaslahatan bersama,” ujarnya.
Membangun perdamaian
Guru Besar Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra memandang, penganugerahan gelar doktor kehormatan ini merupakan langkah strategis untuk menegaskan kembali sikap dan keberpihakan civitas akademika bahkan arus utama Islam Indonesia. Keberpihakan ini khususnya dalam membangun hubungan perdamaian, inklusivitas, akomodasi, religio-cultural, dan orientasi pada kedamaian serta kemaslahatan.
Menurut Azyumardi, Lukman saat menjabat sebagai menteri agama telah menggagas dan merumuskan serta melaksanakan moderasi beragama. Hal ini diproyeksikan tidak hanya sebagai gagasan, tetapi juga sebuah gerakan untuk membangun tatanan kehidupan beragama dan bernegara yang damai serta rukun pada masyarakat yang majemuk.
”Melihat jejak dan kiprah Saudara Lukman Hakim Saifuddin, saya percaya gagasan moderasi beragama yang diusung tidak lahir tiba-tiba. Ide hingga praksis moderasi beragama adalah akumulasi dan kepeduliannya dalam menyaksikan masih ada gejolak dan konflik sosial bernuansa agama,” ujar Azyumardi yang juga promotor gelar doktor kehormatan ini.
Selain itu, Lukman juga dinilai tidak pernah surut mempromosikan gagasan dan gerakan moderasi beragama meski tidak lagi menjabat sebagai menteri agama. Hal ini ditunjukkan Lukman saat menghadiri berbagai forum untuk menyosialisasikan dan menyebarkan paham moderasi beragama ini.
Ketua Senat UIN Syarif Hidayatullah, Abuddin Nata, berharap, penganugerahan gelar doktor kehormatan ini meningkatkan kiprah dan pengabdian Lukman dalam kajian Islam, khususnya bidang moderasi beragama. Pengabdian ini sekaligus diharapkan dapat meningkatkan kemajuan bagi sosial kemasyarakatan dan bangsa serta pembangunan seluruh perguruan tinggi keagamaan, baik negeri maupun swasta.
”Gelar kehormatan ini kiranya dapat memicu semangat untuk terus meningkatkan karya inovatif dan imajinatif dalam mengembangkan keilmuwan, umat, masyarakat, bangsa, negara, dan dunia,” tuturnya.