70 Tahun Sindhunata, Penulis Serba Bisa dan Guru Kehidupan
Selama puluhan tahun berkarya, Sindhunata tak hanya menjadi penulis serba bisa yang menghasilkan aneka ragam tulisan, tetapi juga guru kehidupan yang mengajarkan berbagai nilai melalui karya-karyanya.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
Wartawan senior dan sastrawan Sindhunata genap berusia 70 tahun pada Kamis (12/5/2022) lalu. Selama puluhan tahun berkarya, Sindhunata tak hanya menjadi penulis serba bisa yang menghasilkan aneka ragam tulisan, tetapi juga guru kehidupan yang mengajarkan berbagai nilai melalui karya-karyanya.
Ulang tahun ke-70 Sindhunata itu dirayakan dalam acara bertajuk "70 Tahun Sindhunata: Berkarya untuk Literasi Negeri", Minggu (15/5/2022) malam, di kompleks Omah Petroek, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan tersebut diisi dengan beragam acara, antara lain ritual keagamaan, pentas kesenian, pameran seni rupa, dan peluncuran buku.
Total ada enam buku yang diluncurkan dalam acara tersebut dan lima di antaranya merupakan karya Sindhunata, yakni Jalan Hati Yesuit, Anak-anak Ignatius: Kontemplasi dalam Aksi, Sisi Sepasang Sayap, Anak Bajang Mengayun Bulan, serta Anak-anak Semar. Sementara satu buku lainnya adalah The Secrets of Sindhunata karya Simon H Rae.
Sindhunata lahir pada 12 Mei 1952 di Kota Batu, Jawa Timur. Dia mengawali karier kepenulisannya dengan menjadi wartawan Majalah Teruna milik Balai Pustaka pada tahun 1974-1977. Mulai tahun 1977, Sindhunata bekerja sebagai wartawan Harian Kompas. Pada tahun 1982, Sindhunata juga menjadi salah satu pendiri Bentara Budaya yang merupakan lembaga kebudayaan di bawah Kompas Gramedia.
Sebagai penulis, Sindhunata telah menghasilkan berbagai jenis buku dan tulisan, misalnya novel, puisi, buku filsafat, feature jurnalistik, analisis sepak bola, dan lain sebagainya. Karya novelnya yang paling dikenal adalah Anak Bajang Menggiring Angin yang terbit tahun 1983 setelah sebelumnya dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Kompas.
Pada tahun ini, Sindhunata juga meluncurkan novel Anak Bajang Mengayun Bulan yang bisa dianggap sebagai kelanjutan Anak Bajang Menggiring Angin. Seperti buku pendahulunya, Anak Bajang Mengayun Bulan juga pernah dimuat di Harian Kompas sebagai cerita bersambung.
Sindhunata menuturkan, sejak masih mahasiswa, dirinya mulai menulis artikel di Harian Kompas. Pada satu waktu, artikel karya Sindhunata itu berhasil dimuat di Kompas. Namun, setelah itu, sejumlah artikel yang dikirim Sindhunata ternyata tidak dimuat di Kompas.
Sindhunata kemudian bertemu dengan salah satu pimpinan Kompas saat itu, Pollycarpus Swantoro. Dalam pertemuan itu, Swantoro menyebut tulisan Sindhunata terlalu teoretis. Selain itu, Swantoro juga menawarkan Sindhunata menjadi wartawan Kompas.
"Saya ikut di Kompas mulai tahun 1977. Dari situ, saya betul-betul belajar dari bawah sebagai wartawan," ujar Sindhunata dalam talkshow saat acara "70 Tahun Sindhunata: Berkarya untuk Literasi Negeri".
Dari pengalaman panjangnya sebagai penulis, Sindhunata mengaku paling senang saat turun ke lapangan untuk melakukan kerja jurnalistik sebagai wartawan. Selama bekerja sebagai wartawan, Sindhunata banyak menulis feature human interest tentang orang-orang miskin dan terpinggirkan.
"Yang paling saya suka itu sebagai wartawan ke lapangan dan menulis feature. Karena di situ saya tidak berkhayal, tapi sungguh-sungguh bercerita dari perjumpaan, terutama dengan orang-orang sederhana, miskin, dan pinggiran," ungkap Sindhunata.
Panutan
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra mengatakan, Sindhunata merupakan sosok panutan bagi para wartawan. Sutta menyebut, dari tahun ke tahun, proses pendidikan dan pelatihan wartawan baru di Kompas selalu menjadikan tulisan feature human interest karya Sindhunatasebagai bahan pembelajaran.
Menurut Sutta, saat melakukan kerja jurnalistik, Sindhunata memadukan kekuatan intelegensia, kepekaan hati, dan liputan ke lapangan. Dalam dunia jurnalistik, liputan ke lapangan itu kerap disebut dengan istilah "pekerjaan kaki".
"Romo Sindhunata itu melakukan kerja jurnalistik yang memadukan antara intelegensia, hati, dan kaki. Itu yang saya rasa enggak ada tandingannya," tutur Sutta.
Staf Khusus Presiden, Sukardi Rinakit, mengatakan, karya sastra Sindhunata sangat puitis dan kaya makna. Sukardi menyebut, karya-karya filsafat dan analisis sepak bola Sindhunata juga sangat luar biasa.
Sukardi menilai, Sindhunata juga merupakan guru kehidupan karena dia mengajarkan banyak nilai kebaikan melalui tulisan-tulisannya. "Romo Sindhunata adalah guru hidup untuk kita belajar menulis, belajar berbuat, belajar toleransi terhadap sesama, membangun bareng-bareng untuk hidup yang saling membantu," tuturnya.