Restorasi film lawas merupakan jembatan bagi publik untuk mengenal produk seni budaya di masa lalu. Film lawas juga jadi media mempelajari dinamika sosial yang terjadi saat itu.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Sebagai produk seni dan budaya, film biasanya menampilkan dinamika sosial masyarakat di suatu zaman. Dinamika itu sesungguhnya berulang. Yang terjadi dulu dapat terjadi pula di zaman ini. Film memiliki daya (force) untuk mengajak audiens merefleksikan dinamika tersebut.
Potret dinamika sosial tampak di film berbagai zaman, baik yang lawas maupun terkini. Namun, agak sulit menonton film-film lawas secara legal. Film lawas jarang ada di bioskop maupun platform daring.
Film lawas biasanya bisa ditonton secara legal jika ada forum khusus. Itu pun audiensnya terbatas. Padahal, film lawas merupakan penyambung ingatan akan dinamika sosial masa lampau.
Salah satu upaya menyambung kembali ingatan tersebut adalah dengan restorasi film. Sejumlah film lawas telah direstorasi dan ditayangkan kembali ke publik. Salah satu judul film yang direstorasi ialah Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982) karya sutradara Chaerul Umam.
Titian Serambut Dibelah Tujuh ditayangkan di bioskop pada 22-28 April 2022. Penayangan film ini untuk menyambut Madani International Film Festival kelima yang akan diselenggarakan pada Oktober 2022.
Menurut penulis skenario sekaligus pemrogram film Ifan Ismail, proses restorasi film tidak mudah. Biaya yang dibutuhkan pun tidak sedikit. Restorasi film lawas yang menggunakan seluloid lebih sulit karena melibatkan perbaikan fisik seluloid. Sementara itu, restorasi film digital dinilai lebih mudah karena yang disunting adalah data digital.
Proses restorasi film tidak mudah. Biaya yang dibutuhkan pun tidak sedikit. Restorasi film lawas yang menggunakan seluloid lebih sulit karena melibatkan perbaikan fisik seluloid. Sementara itu, restorasi film digital dinilai lebih mudah karena yang disunting adalah data digital.
”Tantangan lain untuk restorasi adalah masalah rights (hak cipta). Rights film ada di mana, siapa pemilik film? Untuk film lama, kadang produser hingga rumah produksinya sudah tidak ada,” ucap Ifan pada diskusi film Titian Serambut Dibelah Tujuh secara daring, Minggu (24/4/2022).
Proses panjang itu juga terjadi ketika film Tjoet Nja’ Dhien (1988) direstorasi. Data master film yang diarahkan sutradara Eros Djarot tersebut selama ini disimpan di Australia. Namun, pihak penyimpan di sana telah tutup dan master film tidak ditemukan. Restorasi pun akhirnya dilakukan ke salinan film.
Pemeran Cut Nyak Dien, Christine Hakim, mengatakan, restorasi diinisasi oleh Indofilm Foundation dan dibiayai Eye Filmmuseum, Belanda. ”Eros Djarot menyerahkan film ini ke rumah produksi Christine Hakim Films sejak 1990-an. Kami hanya memberi izin untuk restorasi. Namun, yang direstorasi adalah salinan film, bukan master-nya,” kata Christine Hakim (Kompas, 8/6/2021).
Pelajaran
Menurut Christine, film Tjoet Nja’ Dhien perlu direstorasi karena menggambarkan bahwa perang tidak pernah hitam dan putih. Selalu ada area abu-abu. Perang tidak melulu soal mengalahkan lawan, namun juga interaksi manusia berikut emosinya. Tokoh antagonis dan protagonis mutlak pun sulit ditentukan pada perang.
Adapun Tjoet Nja’ Dhien mencuplik pertempuran antara penduduk Nusantara dan Belanda di Aceh pada 1896-1901. Menurut sejarah, perang terjadi sejak 1873. Itu menjadi perang terlama yang dialami Belanda selama di Nusantara.
Film yang memboyong delapan Piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI) 1988 ini juga bercerita soal pengkhianatan. Isu itu masih relevan hingga sekarang. Film bisa jadi media pembelajaran bagi generasi saat ini. ”Dari sejarah, anak muda bisa tahu nenek moyangnya, tahu dirinya sendiri, dan tahu apa itu Indonesia. Dengan ini, mereka bisa mantap berjalan ke depan dan menjaga Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, film Titian Serambut Dibelah Tujuh dinilai mampu menggambarkan masalah kompleks yang dialami umat Islam. Film yang skenarionya ditulis Asrul Sani ini memotret orang-orang yang tahu agama, tetapi tidak paham cara mempraktikannya.
Hati warga gampang terbeli dengan uang, tindakan culas, dan omongan manipulatif. Yang jadi korbannya adalah orang-orang yang tidak bersalah. Tidak mudah menegakkan kebenaran di kampung yang seperti ”layang-layang putus” ini.
”Ini merupakan film bertema Islam terbaik dari Chaerul Usman. Dimensi visual maupun ceritanya baik. Film ini berangkat dari ide, namun berhasil diwujudkan ke bentuk yang tidak mengorbankan ide. Kesalahan kebanyakan film adalah berat di ide, namun runtuh di (eksekusi) bentuk film, begitu pula sebaliknya,” kata kritikus film sekaligus anggota Board of Madani International Film Festival Hikmat Darmawan.
Titian Serambut Dibelah Tujuh mendapat Piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI) 1983 pada kategori Skenario Terbaik. Film juga menjadi nominasi Film Terbaik FFI dan Aktris Terbaik.
Menurut dia, penting untuk mempertunjukkan lagi film-film lama ke publik. Film lawas dinilai dapat menambah wawasan baru buat publik, khususnya kaum muda. Ini juga upaya mewariskan produk seni budaya ke generasi berikutnya. ”Jika tidak ada forum tertentu, akan sulit melihat film masterpiece seperti ini dari generasi ke generasi. Akibatnya, film jadi tidak terwariskan,” kata Hikmat.