Film ”Titian Serambut Dibelah Tujuh”, Cermin Masalah Sosial Lintas Zaman
Film "Titian Serambut Dibelah Tujuh" (1982) direstorasi dan ditayangkan di bioskop pada 22-28 April 2022. Film ini mencerminkan isu sosial di tahun 1980-an yang masih relevan hingga kini.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Film Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982) tidak hanya menampilkan nilai-nilai keislaman. Film itu juga memotret masalah sosial yang ada di masyarakat pada zaman itu, seperti fitnah dan ilmu agama yang minim praktik di kehidupan sehari-hari. Potret sosial itu masih relevan hingga sekarang.
Hal ini mengemuka pada diskusi film Titian Serambut Dibelah Tujuh secara daring, Minggu (24/4/2022). Film digarap oleh sutradara Chaerul Umam dan penulis skenario Asrul Sani. Selain Titian Serambut Dibelah Tujuh, keduanya pernah berkolaborasi juga untuk film Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1986).
Titian Serambut Dibelah Tujuh tidak hanya berkesan buat penonton, tetapi juga menerima pujian dari industri film. Film ini menerima anugerah Festival Film Indonesia (FFI) 1983 pada kategori Skenario Terbaik. Film juga menjadi nominasi Film Terbaik FFI. Melalui akting Dewi Irawan, film ini pun masuk dalam nominasi Aktris Terbaik FFI di tahun yang sama.
Apa adanya
Menurut kritikus film sekaligus anggota Board of Madani International Film Festival Hikmat Darmawan, Titian Serambut DibelahTujuh merupakan salah satu film bertema Islam karya Chaerul Umam terbaik. Film dapat menggambarkan isu kompleks yang dihadapi umat Islam dengan apa adanya.
Mengutip laman Filmindonesia.or.id, film berkisah tentang Ibrahim, guru agama muda yang pindah ke kampung. Seorang pengelana memperingatkan Ibrahim. Katanya, warga kampung di sana seperti ”layang-layang putus”.
Di kampung ada guru agama dan tokoh desa yang mengajar dengan keras, tetapi perilaku di kehidupan nyata jauh dari nilai agama yang dipelajari. Ada pula orang kaya yang gemar berjudi. Ada lagi pemuda yang tidak suka kehadiran Ibrahim, terlebih Ibrahim menyaksikan pemuda itu memerkosa seorang perempuan.
Konflik memanas ketika Ibrahim difitnah perempuan yang ia tolak cintanya. Ibrahim dituduh hendak memerkosa. Warga pun bergerombol hendak menghakimi Ibrahim.
”Menurut saya, sajian tema Islam di film berpeluang jadi lebih kuat karena ada keberanian menggambarkan (isu) apa adanya. Walau nanti ada gambaran soal dekadensi atau keruntuhan moral di desa. Ini sebagai lambang Indonesia atau masyarakat secara umum dari perspektif keagamaan,” kata Hikmat.
Produser film Lola Amaria berpendapat, film ini menggambarkan kondisi sosial masyarakat sepanjang masa. Fitnah, misalnya, masih terjadi dan memecah masyarakat. Jika dulu fitnah disampaikan dari mulut ke mulut, kini fitnah berkembang dari ketikan jari dan unggahan di media sosial.
”Ini hanya berganti zaman, tetapi intinya tetap sama,” tutur Lola. Ia menambahkan, film ini memberikan banyak perspektif yang dapat dilihat dan dipelajari oleh penonton.
Sementara itu, menurut penulis skenario dan pemrogram film Ifan Ismail, Titian Serambut DibelahTujuh menampilkan unsur Islam, tetapi tidak menggurui. Sebaliknya, film ini menjadi cermin realitas masyarakat. Audiens pun diajak merenungkan kenyataan tersebut.
Film Titian Serambut DibelahTujuh yang tahun ini berusia 40 tahun tersebut telah direstorasi. Hasil restorasinya kemudian ditayangkan di bioskop CGV pada 22-28 April 2022. Ada beberapa film lain yang ditampilkan di periode itu, seperti Merindu Cahaya De Amstel dan Jejak Langkah 2 Ulama.
Ini merupakan bagian dari program Ngabuburit Week on Cinema, hasil kerja sama Madani International Film Festival dengan pihak bioskop. Adapun Madani International Film Festival akan diselenggarakan pada Oktober 2022.
Festival tersebut menampilkan film-film dengan beragam perspektif Islam. Ini merupakan tahun kelima penyelenggaraan Madani International Film Festival di Indonesia.
”Jika tidak ada forum tertentu, akan sulit melihat film masterpiece seperti ini dari generasi ke generasi. Akibatnya, film jadi tidak terwariskan,” kata Hikmat.