Profesor Penciptaan Seni di Indonesia Mendekati Nihil
Aosiasi Pencipta Seni Indonesia (Apesi) mengusulkan pengangkatan profesor penciptaan seni mengakomodasi prinsip penilaian karya seni atau desain berdasarkan penciptaan atau perekaan.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Jumlah profesor penciptaan seni di Indonesia semakin menyusut, bahkan mendekati nihil. Pengangkatan profesor penciptaan seni terkendala pemberlakuan syarat khusus mengenai karya ilmiah jurnal internasional untuk pengusulan profesor. Untuk mengatasi kelangkaan profesor penciptaan seni, Asosiasi Pencipta Seni Indonesia atau Apesi mengusulkan sejumlah nama agar ditetapkan sebagai guru besar penciptaan seni.
Delapan nama seniman sekaligus akademisi dari beberapa perguruan tinggi dan institut seni di Indonesia diusulkan agar ditetapkan sebagai guru besar penciptaan seni. Adapun nama-nama seniman itu adalah Tisna Sanjaya (ITB Bandung), Rachman Saleh (ISBI Bandung), Agus Windharto (ITS Surabaya), Eko Supriyanto (ISI Surakarta), Susas Rita Loravianti (ISI Padang Panjang), Tony Supartono (ISBI Bandung), Sulaiman Juned (ISI Padang Panjang), dan I Gusti Putu Sudarta (ISI Denpasar).
Perihal pengusulan nama delapan seniman dan pendidik seni itu sebagai profesor penciptaan seni diangkat dalam Simposium Republik Seni Nusantara Bali-Dwipantara Waskita yang diselenggarakan Apesi bersama Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar secara hibrida, yakni secara luring dan daring, di Gedung ISI Denpasar, Kota Denpasar, Bali, Kamis (7/4/2022).
Dari siaran pers ISI Denpasar kepada Kompas, simposium nasional bertema ”Mata Air Cipta Seni” itu menghadirkan Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nizam serta Direktur Sumber Daya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi M Sofwan Effendi. Simposium nasional secara hibrida yang dipandu Tommy Awuy itu menghasilkan rekomendasi pengakuan profesor penciptaan seni dalam skema baru usulan guru besar. Hal itu disampaikan Rektor ISI Denpasar I Wayan Adnyana kepada Kompas, Kamis (14/4/2022).
Adapun ke delapan nama seniman sekaligus akademisi yang diusulkan diangkat sebagai profesor penciptaan seni itu, menurut Kun Adnyana, adalah figur yang sudah diakui bereputasi internasional, berdedikasi sebagai pendidik dan seniman yang sudah menghasilkan karya-karya seni bernilai adikarya (masterpiece), serta menginspirasi mahasiswa dan seniman muda.
Dalam simposium tersebut juga dibahas perihal syarat penetapan profesor penciptaan seni agar mengakomodasi sejumlah prinsip, antara lain karya seni atau karya desain harus dinilai dari penciptaan atau perekaan yang berdasarkan riset dan berbasis praktik seni atau desain; karya seni atau desain dinilai dalam hubungannya dengan biografi kekaryaan; serta penilaian kekaryaan atas karya seni atau desain dilakukan tim penilai dan unsur seniman, asosiasi pencipta seni, guru besar bidang seni, dan pakar seni.
Prinsip lainnya, karya seni atau desain dihasilkan berdasar praktik eksperimen penciptaan atau perekaan; karya seni atau desain harus ditampilkan di ruang publik (baik secara luring maupun daring) sesuai konteks, relevansi, dan kemanfaatan bagi masyarakat; serta karya seni atau desain memungkinkan menjangkau kemungkinan-kemungkinan inovasi baru berbasis teknologi terkini.
Implikasi pendidikan tinggi seni
Menurut Kun Adnyana, pembahasan dalam simposium juga menyadari kelangkaan jumlah profesor penciptaan seni di Indonesia berimplikasi langsung terhadap pendidikan tinggi seni di Indonesia. Baik pembahas maupun peserta simposium juga mengetahui pendidikan tinggi seni di Indonesia sudah memiliki strata magister penciptaan dan doktor penciptaan yang telah menghasilkan doktor penciptaan seni dengan kualifikasi sebagai seniman dengan praktik penciptaan seni yang melibatkan masyarakat dalam jumlah masif, berorientasi pada budaya lokal yang beragam sekaligus terbuka pada dunia global, dan karyanya menjawab persoalan era masa kini.
Dalam simposium pada Kamis (7/4/2022), pembina Apesi, Sardono W Kusumo, menyatakan, pendidikan seni di Indonesia sesungguhnya dibangun untuk menghasilkan seniman dalam spirit kebangsaan yang kemudian diterjemahkan dalam praktik penciptaan seni yang bersumber dari keragaman budaya dan ekosistemnya. Sardono memaparkan, doktor penciptaan seni di Indonesia sudah menjalankan praktik penciptaan seni melibatkan masyarakat dalam jumlah masif dan karya cipta mereka dijadikan orientasi seniman untuk menjawab persoalan era masa kini.
”Model praktik seni seperti itu selaras dengan praktik penciptaan seni yang telah dilakukan seniman generasi perintis kemerdekaan, seperti Usmar Ismail, S Sudjojono, dan Affandi,” kata Sardoso seperti disebutkan dalam siaran pers ISI Denpasar tentang Simposium Republik Seni Nusantara Bali-Dwipantara Waskita.
Pembahasan dalam simposium nasional itu juga menyoroti sistem pendidikan penciptaan seni dan meminta pemerintah agar menetapkan kebijakan yang berpihak pada terjaminnya hak doktor penciptaan seni menjadi profesor. Pemberlakuan aturan persyaratan khusus berupa karya ilmiah jurnal internasional bagi pengusulan profesor berdampak terhadap pengusulan profesor penciptaan seni yang mendekati nihil. Pengusulan profesor penciptaan seni seharusnya dibangun atas prinsip pengakuan karya seni.
Apesi sudah mengusulkan dan mengajukan nama-nama doktor penciptaan seni agar diangkat sebagai guru besar penciptaan seni. Apesi juga sudah bersurat ke Presiden perihal permohonan percepatan pengangkatan guru besar penciptaan seni pada 27 November 2020. Doktor penciptaan seni, di antaranya, Tisna Sanjaya, Rachman Saleh, dan Agus Windharto sudah disetujui dan diajukan masing-masing institutnya.
Dalam Simposium Republik Seni Nusantara Bali-Dwipantara Waskita tersebut, Plt Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam menyatakan sudah disusun rancangan Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang mengakomodasi prinsip penetapan guru besar melalui tiga jalur, yakni jalur akademik, jalur kekaryaan, dan jalur profesional.