Pemanfaatan bisa menghidupkan kembali bangunan cagar budaya, misalnya Pos Bloc di Jakarta dan Spiegel Bar & Resto di Semarang. Namun, setiap perubahan mesti berdasarkan catatan rekomendasi dan izin pemerintah provinsi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bangunan cagar budaya berpotensi dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi. Pemanfaatan diyakini mendorong keberlanjutan bangunan cagar budaya. Namun, pemanfaatannya mesti sesuai kaidah pelestarian cagar budaya.
Menurut anggota Tim Ahli Cagar Budaya, Candrian Attahiyyat, pelestarian bangunan cagar budaya tidak sebatas untuk dilihat dan dibanggakan saja. Potensi bangunan bisa dieksplorasi, kemudian dimanfaatkan. Hasil pemanfaatan dapat digunakan untuk pemeliharaan bangunan.
”Jika tidak ada pemasukan, tidak ada anggaran, bangunan tidak akan terawat lagi. Unsur ekonomi mesti dimasukkan agar (perawatan) bangunan berkelanjutan. Namun, pelestarian dan kegiatan ekonomi butuh kompromi yang fifty-fifty,” kata Candrian, Minggu (10/4/2022).
Gedung Filateli di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, adalah contoh pemanfaatan bangunan cagar budaya. Bekas kantor pos era Hindia Belanda ini disulap menjadi ruang kreatif yang digemari kaum muda. Ada deretan gerai makanan dan minuman, busana, barang kesenian, dan ruang komunal di dalam gedung.
Adapun Spiegel Bar & Resto di Kota Lama, Semarang, dulu adalah bangunan kuno terbengkalai. Shita Devi Kusumawati membeli bangunan itu, kemudian mengubah lantai satu menjadi bar dan bistro, sementara lantai dua untuk kantor dan ruang privat (Kompas.id, 16/10/2021).
Bangunan yang dulu bernama H Spiegel ini didirikan pada 1885 oleh Herman Spiegel. Bangunan berfungsi sebagai toko serba ada yang menyediakan berbagai produk dari Belanda, kemudian menjadi kantor ekspor-impor dan gudang alat berat sebelum mangkrak.
Pemilik atau pengelola bangunan bersejarah dapat mengubah fungsi suatu ruangan untuk dimanfaatkan. Namun, perubahan mesti disertai catatan rekomendasi dari Tim Sidang Pemugaran daerah setempat. Setelah mengantongi catatan rekomendasi, pemerintah provinsi akan menerbitkan izin. Prosedur yang sama mesti dilakukan untuk setiap perubahan dan perbaikan bangunan cagar budaya.
Di sisi lain, tidak semua pemilik bangunan cagar budaya paham cara melestarikan bangunannya. Menurut Candrian, sejumlah pemilik mengaku tidak tahu propertinya adalah bangunan cagar budaya. Itu bisa jadi karena belum ada sosialisasi dari pemprov. Kemungkinan lain adalah pemilik bangunan pura-pura tidak tahu untuk menghindari kewajiban menjaga bangunannya.
”Kewajiban pemilik bangunan cagar budaya adalah melaporkan perbaikan dan perubahan pada bangunan. Perubahan fungsi bangunan juga mesti dikonsultasikan lebih dulu,” katanya.
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana berharap agar penetapan bangunan cagar budaya mendorong pengelolaan bangunan cagar budaya yang baik. Perawatan bangunan pun diharapkan terkendali.
”Penetapan bangunan cagar budaya merupakan komitmen Pemprov DKI Jakarta dalam upaya pelestarian bangunan bersejarah. Ini sesuai dengan amanat UU. Dengan begitu, bangunan cagar budaya dapat dikelola dengan baik dan mendapat perawatan yang lebih terkendali,” katanya.
Sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta menetapkan 14 cagar budaya baru di periode 2020-2021, antara lain Gedung Bank Indonesia Kebon Sirih, Jembatan Kereta Terowongan Tiga, dan Gedung Tjipta Niaga. Ada empat bangunan lain yang baru ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya di Jakarta, yaitu gedung Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Wihara Dharma Jaya atau Sin Tek Bio, Toko Kompak, serta bekas Toko Tio Tek Hong.