Terdakwa Bebas, Keadilan bagi Korban Kekerasan Seksual Dipertanyakan
Kasus kekerasan seksual di kampus hingga kini masih fenomena gunung es. Tidak banyak korban yang berbicara meskipun menjadi korban.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR, YOLA SASTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru yang membebaskan Syafri Harto (53), Dekan FISIP nonaktif Universitas Riau, terdakwa tindak pidana pencabulan pada persidangan, Rabu (30/3/2022), mengundang pertanyaan sejumlah kalangan. Putusan hakim tersebut tidak menunjukkan komitmen untuk menciptakan keadilan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia.
Jaksa penuntut umum kasus tersebut diharapkan mengajukan kasasi di dalam perkara tersebut agar majelis hakim di tingkat kasasi dapat memperbaiki kesalahan penilaian fakta di dalam perkara tersebut dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa secara proporsional sesuai dengan perbuatannya, dengan menerapkan amanat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017.
Harapan ini disampaikan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa), Aliansi Kampus Aman, dan KOMPAKS, Kamis (31/3/2022).
”Kami berharap Rektorat Universitas Riau dapat mendorong kejelasan mekanisme etik untuk menyelesaikan kasus ini dan tidak terpengaruh dengan putusan PN Pekanbaru. Rektorat juga harus dapat memastikan bahwa putusan ini tidak berdampak buruk kepada kelanjutan pendidikan korban,” ujar Maidina Rahmawati, peneliti ICJR.
Seperti diberitakan, kasus pelecehan seksual ini terjadi pada 27 Oktober 2021. Waktu itu korban mengikuti bimbingan skripsi dengan tersangka. Dalam bimbingan, tersangka mulai bertanya soal privasi korban, lalu mengarah ke hal lain, dan terjadilah perbuatan pelecehan seksual.
Korban mengadukan perbuatan tersangka kepada beberapa dosen, tetapi tidak ada tindak lanjut. Korban bertemu dengan teman-teman Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (Komahi) Unri, lalu mereka berbicara di Instagram dan viral. Sehari setelah viral, Jumat (5/11/2021), LBH Pekanbaru mendampingi L untuk melapor ke Polresta Pekanbaru. Di tengah jalan, kasus diambil alih oleh Polda Riau.
Menurut Maidina, dalam pengadilan kasus tersebut, majelis hakim mengabaikan Kitab Hukum Acara Pidana dan Perma No 3/2017, membebaskan terdakwa karena pertimbangan antara lain karena tidak ada bukti kekerasan dan ancaman kekerasan. Padahal, menurut ICJR, IJRS, Puskapa, Aliansi Kampus Aman, dan KOMPAKS, seluruh bukti yang disampaikan oleh penuntut umum di dalam perkara tersebut telah cukup membuktikan terjadinya perkara.
”Di dalam kasus ini, kami mencermati bahwa alat bukti yang diajukan untuk memperkuat dilakukannya pelecehan oleh terdakwa adalah alat bukti surat pemeriksaan korban dan juga keterangan ahli, yakni psikiater,” ujar Maidina.
Kedua alat bukti tersebut seharusnya sudah dapat mendukung keterangan saksi korban atas peristiwa yang terjadi terhadapnya. Dasarnya adalah Pasal 185 Ayat (3) yang menyatakan bahwa satu saksi sudah cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah apabila disertakan alat bukti lainnya, dalam hal ini ada alat bukti surat dan ahli.
Berkaitan dengan ketiadaan saksi yang mengetahui secara langsung kejadian, ICJR, IJRS, Puskapa, Aliansi Kampus Aman, dan KOMPAKS memandang majelis hakim gagal merekognisi sifat utama dari kekerasan seksual, yakni mayoritas terjadi di ruang tertutup tanpa adanya saksi sama sekali.
Naomi dari IJRS menambahkan, dalam kasus ini, majelis hakim juga mengabaikan Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang tertuang di dalam Perma No 3/2017. Padahal, melalui perma tersebut, hakim diharapkan dapat memeriksa kasus dengan menggunakan analisis jender.
Vonis bebas terhadap terdakwa Syafri Harto dibacakan di PN Pekanbaru, Rabu (30/3/2022), dipimpin Ketua Majelis Hakim Estiono. Dalam petikan putusan yang Kompas terima, terdakwa Syafri Harto tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan primer, dakwaan subsider, dakwaan lebih subsider penuntut umum.
”Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan primer, dakwaan subsider, dakwaan lebih subsider penuntut umum tersebut,” kata Estiono, Rabu. Dalam sidang putusan itu, Estiono didampingi hakim anggota, yaitu Tommy Manik dan Yuli Artha Pujayotama.
Hakim juga memerintahkan penuntut umum agar mengeluarkan terdakwa dari tahanan. Selanjutnya, juga memulihkan hak terdakwa Syafri Harto dalam kemampuan, kedudukan, dan martabatnya.
Kuasa hukum
Atas putusan bebas itu, kuasa hukum korban L, Rian Sibarani dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, mengatakan, menghormati putusan hakim yang dibacakan di PN Pekanbaru, Rabu ini. Walakin, ia kecewa terhadap putusan bebas tersebut. ”Tentunya putusan ini tidak membawa kegembiraan bagi penyintas (L), ini juga semakin membuktikan bahwa kasus kekerasan seksual itu sulit untuk diadili karena pertimbangan kurangnya saksi sehingga perbuatan itu dinyatakan tidak terbukti,” kata Rian, Rabu.
Menurut Rian, hakim tidak berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017. Hakim juga tidak mempertimbangkan adanya relasi kuasa yang timpang antara terdakwa dan penyintas yang berstatus sebagai dosen dan mahasiswa. LBH Pekanbaru meminta jaksa penuntut umum untuk melakukan upaya hukum kasasi.
Sementara itu, kuasa hukum Syafri Harto, Dody Fernando, mengatakan bersyukur atas vonis bebas tersebut. ”Putusan itu sudah sesuai fakta yang terungkap di persidangan. L juga menjelaskan, pada kejadian itu tidak ada kekerasan atau ancaman,” kata Dody. Terkait kemungkinan diajukannya kasasi, Dody mengaku, pihaknya siap menghadapi.