Sejarawan Dukung Revisi Keppres untuk Luruskan Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949
Penetapan Hari Penegakan Kedaulatan Negara yang merujuk pada peristiwa sejarah Serangan Umum 1 maret 1949 di Yogyakarta diminta diluruskan. Sejarah harus berdasarkan data dan fakta yang ada, bukan politis.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kalangan sejarawan Indonesia meminta pemerintah merevisi Keputusan Presiden Nomor 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Penyebutan nama-nama tokoh sejarah dalam konsiderans di keputusan presiden yang juga terkait dengan peristiwa sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 ini dinilai belum menjelaskan data dan fakta sesungguhnya. Perubahan diminta agar tidak perlu menyebutkan nama-nama tokoh sejarah di dalam keputusan presiden sehingga tidak menimbulkan polemik dan mencederai pendidikan sejarah di Indonesia.
Kalangan sejarawan mengapresiasi pengakuan terhadap salah satu peristiwa sejarah penting yang merujuk pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap ibukota negara Republik Indonesia di Yogyakarta yang dulu sudah dikuasai pasukan Belanda. Keputusan ini telah memperkuat ingatan kolektif bangsa Indonesia yang sangat bermanfaat dalam pendidikan sejarah di Indonesia
“Namun, adanya polemik antara Keppres tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara dengan data dan fakta sejarah ini sangat merugikan pendidikan sejarah pada masa depan dan merusak ingatan kolektif bangsa Indonesia terhadap Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai peristiwa yang sangat penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia,” kata Ketua Umum P3SI Abdul Syukur di webinar "Implikasi Keppres Nomor 2 Tahun 2022 terhadap Pembelajaran Sejarah" yang digelar Perkumpulan Program Studi Pendidikan Sejarah Se-Indonesia (P3SI) dan Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Makassar, Selasa (22/3/2022).
Secara terpisah, Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) juga mengapresiasi sekaligus mengkritik keputusan politis pemerintah tersebut. Ketua Umum MSI Agus Mulyana mengatakan, keputusan itu memunculkan polemik di masyarakat karena di konsideransnya, terutama di huruf C, dituliskan nama tokoh-tokoh, tetapi misalnya tidak ada nama Soeharto yang juga berperan penting.
Cuplikan salah satu konsiderans di Keppres Nomor 2 Tahun 2022 “bahwa peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan didukung oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya...”
MSI menilai munculnya nama-nama tokoh dalam konsiderans di atas belum merepresentasikan tokoh-tokoh sejarah yang berperan penting dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, seperti Soeharto, Bambang Soegeng, Abdul Haris Nasution dan lain-lain. Di satu sisi, terdapat nama tokoh yang perannya masih diperdebatkan secara langsung.
“Keppres Nomor 2 tahun 2022 secara administrasi pemerintahan merupakan suatu keputusan politik yang menjadi dasar ditetapkannya Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Namun, keputusan itu akan menjadi sumber sejarah, sehingga data sejarah dalam keputusan presiden tersebut harus menjelaskan data dan fakta yang sesungguhnya,” kata Agus.
Agus mengatakan, MSI meminta pemerintah untuk merevisi Keppres Nomor 2 tahun 2022 tentang hari Penegakan Kedaulatan Negara dan mengusulkan agar tidak menyebutkan nama-nama tokoh sehingga tidak memunculkan polemik di masyarakat. Sebab, Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan kerja kolektif sehingga harus melihat kontribusi seluruh pelaku sejarah secara proporsional.
Generasi muda akan mempertanyakan ketidaktelitian dan apa yang terjadi dengan sejarawan di masa itu.
Dalam paparannya, MSI menjelaskan Serangan Umum 1 Maret sebenarnya merupakan salah satu fragmen dalam sejarah Indonesia pada masa revolusi. Kemunculannya bukan tanpa sebab. Ada rangkaian peristiwa sebelumnya, seperti Agresi Militer Belanda II, Pengasingan Soekarno dan Hatta ke Bangka, serta Pendirian Pemerintah Darurat Republik Indonesia pada bulan Desember 1948.
Dari sini, Belanda melihat bahwa Indonesia sudah tidak ada. Namun, sepertinya Belanda lupa, bahwa kekuatan Indonesia belum sirna. Gerakan gerilya masih terus berlanjut di berbagai tempat di tanah air, dan akhirnya terjadi serangan umum pada 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
Serangan ini menjadi efek kejut. Tidak hanya bagi Belanda, tetapi bagi dunia internasional. Serangan ini menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia masih memiliki eksistensi. Hal ini sangat penting mengingat pada saat yang sama, Indonesia juga tengah berjuang melalui jalur diplomasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Posisi ini tentu saja berpengaruh terhadap bagaimana Dewan Keamanan PBB menyikapi tindakan Belanda atas Indonesia sebagai negara yang tengah mempertahankan kedaulatannya. Oleh karena pentingnya posisi peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, pemerintah bermaksud menetapkannya sebagai hari Penegakan Kedaulatan Negara.
Dua naskah akademik
Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia Susanto Zuhdi mengatakan, ternyata ada dua naskah akedemik yang melandasi Keppres Nomor 2 Tahun 2022. Di naskah akademik yang pertama tahun 2018 disebutkan tokoh yang berperan seperti Sultan HB IX, Jenderal Soedirman, dan Letnan Kolonel Soeharto. Lalu, ada naskah akademik terbaru yang menjadi landasan Keppres Nomor 2 tahun 2022. Ada perubahan kalimat maupun paragraf di pendahuluan, yaitu hilangnya nama Soeharto.
“Kita menganalisis peristiwa dan memberi penjelasan sejarah berdasarkan data dan fakta. Soeharto memang punya peran,. Tapi di dalam Keppres tidak ada nama Soeharto, padahal (ikut) merundingkan dalam pertemuan dengan Sultan HB IX tentang serangan tersebut,” ujar Susanto.
Susanto mengingatkan pentingnya sejarawan menjaga integritas. Perlu dikritisi juga sumber internal dan eksternal dalam naskah akademik. “Kalau sejarah ada kaidahnya harus bisa betul membedakan peristiwa sejarah Serangan Umum dan Keppres. Kalau Keppres sudah produk politik, bukan sejarawan lagi,” kata Susanto.
Adanya polemik tersebut membuat bingung dalam pembelajaran sejarah. Apakah usulan revisi akan diterima atau tidak oleh pemerintah, menurut Susanto yang penting kalangan sejarawan memperjuangkan kebenaran berdasar data dan fakta sejarah.
Agus Santoso dari Arsip Nasional Republik Indonesia mengatakan, kalau berkaca pada Keppres Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Hari bela Negara yang mengacu pada terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia pada 19 Desember 1948, tidak disebut nama dan peristiwa, sehingga netral. Untuk kasus Keppres terbaru ini, perlu dikritisi sebagai pembelajaran supaya tidak terjadi polemik dari keputusan pemerintah.
Agus menilai, terlalu jauh kalau berpikir Keppres tersebut hendak membelokkan sejarah. Hal tersebut masih bisa dibenahi asal alasannya bisa dikemukakan.
“Ke depan, perlu ada kesamaan berpikir bahwa kejadian seperti ini. Naskah akademik dan Keppres harus bersatu. Apakah seluruh nama dimasukkan Keppres atau tidak, ya tergantung diterima semua pihak atau tidak, tidak mendiskreditkan, serta tidak memecah belah agar tidak membingungkan masyarakat yang membacanya,” ujar Agus.
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan mengatakan, karena kebijakan publik yang diatur Keppres terkait sejarah, maka harus mengacu pada kebenaran peristiwa sejarah. “Tidak bisa sembarangan karena akan jadi bagian dari sumber sejarah ke depan. Bisa jadi sumber primer dan naskah akademik bagi anak-anak belajar sejarah. Mau tidak mau harus diperbaiki,” tegas Hamid.
Hamid mengatakan, polemik harus diselesaikan karena akan berpengaruh ke depan. Generasi muda akan mempertanyakan ketidaktelitian dan apa yang terjadi dengan sejarawan di masa itu. “Ke depannya jadi tidak bagus untuk bangsa. Terkait sejarah itu tidak boleh ceroboh,” ujar Hamid..