Komunitas sastra menjadi simpul penting bagi ekosistem sastra di berbagai pelosok daerah, terutama dalam hal memberi stimulus anggotanya untuk menggali keresahan, lantas menjadikannya bahan kreativitas
Oleh
BUDI SUWARNA, ELSA EMIRIA LEBA, MOHAMMAD HILMI FAIQ, PUTU FAJAR ARCANA
·5 menit baca
Jaringan komunitas sastra yang tumbuh subur di berbagai daerah membuka gerbang bagi setiap orang untuk berkisah. Di antara mereka ada buruh migran yang merana, warga desa yang ingin berbagi cerita, serta aktivis literasi dan sastra yang ingin memberdayakan warga. Lewat sastra, mereka lantang bersuara.
Satu dekade lalu, Nasmawati Nahar (37) hanya bisa berhalusinasi untuk menerbitkan cerita-cerita yang ia tulis berdasarkan pengalamannya sebagai perempuan dan buruh migran korban kekerasan. Namun, ia sama sekali tidak tahu caranya. Jalan terang mulai kelihatan ketika ”keajaiban” teknologi media sosial perlahan menghubungkannya dengan jaringan komunitas sastra di kampungnya, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, pada 2016.
”Saya cari penulis di medsos. Berusaha kenalan dengan mereka dan minta bantuan menerbitkan buku saya. Sampai akhirnya saya bisa mengontak Syuman Saeha tahun 2016. Awalnya dia tidak mau, mungkin menganggap saya hanya bercanda karena saya TKW,” cerita Nas lewat telepon dari Mekkah, Arab Saudi, Kamis (3/3/2022). Syuman Saeha yang dimaksud tidak lain sastrawan dan pegiat teater yang berbasis di Polewali Mandar.
Tahun 2018, Nas kembali menghubungi Syuman, yang saat itu penasaran dan ingin membaca dulu naskah novel Nas. Setelah membaca, ia setuju membantu penerbitan novel berjudul Aku Tak Pernah Perawan pada 2019. Novel itu berkisah tentang anak perempuan yang diperkosa saat berusia 9 tahun dan menyimpan trauma seumur hidup. Namun, seumur hidupnya pula ia justru dipersalahkan.
”Plong sekali. Lewat novel yang buat saya sangat emosional ini, saya ingin membuka mata banyak orang betapa menderitanya korban pemerkosaan,” ujar Nas dengan suara bergetar.
Setelah itu, ia menerbitkan lagi—tetap dengan bantuan Syuman—buku kedua berisi kumpulan cerita pendek berjudul Rantai di Jalan Rantau. Buku ini menuturkan kisah nyata para buruh migran yang menderita akibat banyak hal, termasuk menjadi korban kekerasan seksual, pemerasan, serta penindasan oleh agen penyalur buruh migran dan oknum aparat negara.
”Kami TKW hanya dianggap alat untuk mendapatkan devisa negara, alat agen dan oknum aparat untuk meraup uang, alat untuk menaikkan taraf hidup keluarga di kampung. Mereka tidak peduli pada apa yang kami alami dan rasakan. Kami menderita. Jadi bahan cemoohan dan siksaan majikan,” tutur Nas yang bekerja sebagai TKW sejak 2009 dan sejauh ini telah bekerja sebagai asisten rumah tangga di Arab Saudi, Qatar, Oman, dan Uni Emirat Arab.
Berkah komunitas
Komunitas seperti yang diikuti Nas menjadi simpul penting bagi ekosistem sastra di berbagai pelosok daerah, terutama dalam memberi stimulus anggotanya untuk menggali keresahan, lalu menjadikannya bahan kreativitas sastra.
Ini juga yang tecermin dari Lakoat.Kujawas, sebuah komunitas sastra di Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Komunitas ini awalnya bergerak dari sebuah perpustakaan kecil yang berdiri pada 2016, kemudian menjadi komunitas sastra yang diikuti ratusan warga desa.
Realitas tentang lunturnya identitas sosial, seperti ketidaktahuan anak muda tentang sejarah dan budaya Mollo, mendorong pendiri komunitas ini, Dicky Senda, bergerak lebih strategis lewat jalan seni dan budaya, yang di dalamnya termasuk sastra. Lakoat.Kujawas merangkul gereja, sekolah, tetua adat, dan kelompok masyarakat demi menciptakan ekosistem kesusastraan itu. Dicky membuat kelas menulis untuk anak-anak ataupun proyek menulis yang melibatkan orang dewasa di kampung-kampung sekitar.
Setidaknya Lakoat.Kujawas menghasilkan lima buku berkat gerakan itu. Beberapa cerita pendek bahkan diminta badan pemerintah provinsi untuk diterjemahkan ke bahasa lokal lainnya, seperti bahasa Alor, Rote, Tetun, dan Dawan.
Dalam proyek To The Lighthouse, misalnya, Lakoat.Kujawas berkolaborasi dengan anak-anak dari SMPK St Yoseph Freinademetz. Mereka menghasilkan buku antologi dongeng Dongeng dari Kap Na’m To Fena; buku puisi Tubuhku Batu, Rumahku Bulan; dan kumpulan cerpen Dongeng dari Nunuh Haumeni. Dicky mengatakan, Lakoat.Kujawas juga aktif mengampanyekan kegiatan sastra, kebudayaan, dan pengarsipan mereka di Instagram, Twitter, Facebook, serta Tiktok.
Dari NTT, kita meluncur ke Bali. Di sana, sastrawan Nanoq da Kansas (55) sejak 2012 mendirikan Bali Kauh Publishing di Desa Moding, Kecamatan Melaya, Jembrana. Letaknya 15 kilometer dari kota Negara. Sampai kini, penerbitan indie ini telah menerbitkan sembilan buku, antara lain dua buku karya Nanoq dan satu buku karya sutradara Ibed Surgana Yuga.
Bali Kauh Publishing, menurut Nanoq, didirikan untuk memberi akses kepada anak-anak muda di Jembrana dalam menerbitkan buku. ”Sekarang siapa pun bisa bikin buku, anak muda, para petani, bahkan para ibu di desa,” kata Nanoq, Selasa (1/3), dari Desa Moding.
Selain penerbitan, Nanoq membentuk komunitas Dusun Senja di Desa Moding, yang mewadahi ekspresi anak muda di desa. Ia, misalnya, mendirikan perpustakaan dengan buku-buku sumbangan dari berbagai lembaga. Baginya, bacaan dari buku menjadi sangat penting saat ini untuk ”mengerem” serbuan ”sampah” digital yang masuk setiap detik ke gawai milik para remaja, termasuk remaja di desa.
Sosok-sosok seperti Nanoq, Dicky, dan Syuman telah membuka jalan bagi orang biasa untuk menjadi penulis. Berkat mereka, suara yang selama ini terpendam dalam kesunyian mulai didengar.
Nas, misalnya, awalnya tidak mengenal sastra. Perempuan lulusan SMP dan sekarang jadi buruh migran itu mengaku sejak kecil memang senang melampiaskan gejolak perasaannya lewat tulisan. Kebiasaan itu ia bawa saat bekerja sebagai buruh migran.
”Saya selalu meminta buku kosong dari majikan. Di sela-sela istirahat yang kadang hanya 4 jam sehari, saya menumpahkan curhatan saya dalam bentuk cerita sastra. Belakangan saya tahu, sastra itu gerbang buat saya untuk bercerita dan bersuara,” tutur Nas. (MHF/CAN)