Praktisi Mempertanyakan Nasib Pendidikan di luar Persekolahan dalam RUU Sisdiknas
Masukan dan kritik untuk Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional terus bergulir. Para pakar mempertanyakan posisi pendidikan non-formal dan sekolah rumah dalam RUU tersebut.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Meskipun draf dan naskah akademik Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang diinisasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi belum dapat diakses secara resmi oleh masyarakat luas, berbagai surat terbuka sudah disampaikan untuk mengkritisi dan memberi saran mengenai berbagai elemen yang seharusnya ada di dalamnya nanti. Pemerintah diharapkan tidak hanya mengutamakan pendidikan formal/persekolahan karena dinamika pendidikan di luar persekolahan juga butuh dukungan dan kepastian hukum.
Para praktisi pendidikan non-formal dan sekolah rumah yang terhimpun dalam Koalisi Praktisi Pendidikan Masyarakat dan Sekolahrumah pada Jumat (25/2/2022), menyerahkan surat terbuka kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim di Jakarta. Surat tersebut berisi keberatan dari koalisi karena praktisi pendidikan non-formal dan informal diabaikan dalam proses pembentukan RUU Sisdiknas. Dalam surat itu, kolasi juga meminta agar para praktisi pendidikan non-formal dan sekolah rumah bisa dilibatkan secara bermakna dalam setiap tahap pembentukan RUU Sisdiknas serta naskah akademiknya, sebelum draf RUU masuk dalam Program Legislasi Prioritas.
Ellen Nugroho, Juru Bicara Koalisi Praktisi Pendidikan Masyarakat dan Sekolahrumah mengatakan, dalam UU Sisdiknas yang berlaku sekarang sudah tercantum ketentuan-ketentuan yang meskipun belum seluruhnya sesuai dengan aspirasi para praktisi pendidikan non-formal dan informal. UU Sisdiknas mengamanatkan agar jalur pendidikan formal, non-formal, dan informal serta hasil pendidikannya diperlakukan sama dan setara.
“Namun, kenyataannya selama ini, pemerintah cenderung mencurahkan perhatian dan sumber daya pada pendidikan formal, dan belum banyak memperhatikan jalur pendidikan non-formal dan informal,” kata Ellen.
Kenyataannya selama ini, pemerintah cenderung mencurahkan perhatian dan sumber daya pada pendidikan formal, dan belum banyak memperhatikan jalur pendidikan non-formal dan informal
Ellen menambahkan, anak-anak di jalur pendidikan non-formal dan sekolah rumah masih sering mengalami diskriminasi dalam pembuatan kebijakan dan/atau sikap dari para aparat atau pejabat. Sebagai contoh, warga belajar pendidikan non-formal dan anak-anak sekolah rumah, karena tidak terdaftar di sekolah/pendidikan formal, tidak bisa mendapatkan beasiswa pendidikan dari BPJS Ketenagakerjaan setelah orangtuanya meninggal karena kecelakaan kerja; tidak adanya jalur prestasi/undangan dari perguruan tinggi negeri untuk warga belajar lembaga pendidikan non-formal; tidak adanya fleksibilitas format laporan hasil pembelajaran warga belajar pendidikan non-formal atau sekolah rumah yang sesuai dengan proses belajar yang dijalani anak; dan berlakunya berbagai peraturan teknis yang tidak sesuai dengan hakikat pendidikan non-formal dan informal.
Keprihatinan disampaikan Koalisi Praktisi Pendidikan Masyarakat dan Sekolahrumah setelah mengkaji draf RUU Sisdiknas yang beredar, meskipun disebutkan belum final. “Dari draf yang belum final itu pun terlihat kesan bahwa jalur pendidikan non-formal dan informal bukannya semakin dihargai agar setara dengan pendidikan formal, justru semakin dipangkas ruang keberadaannya dan hak-hak peserta didiknya,” kata Ellen.
Perwakilan lainnya, Linggayani Soentoro mengatakan, sejumlah kemunduran aturan bagi jalur pendidikan non-formal dan informal dalam draf tak final RUU Sisdiknas itu, antara lain tidak ada lagi pasal yang menyebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Dengan demikian, tidak ada lagi penjelasan tentang fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian program lintas satuan dan jalur pendidikan (multi entry-multi exit system). Klausul tentang penyetaraan hasil pendidikan informal dengan pendidikan formal dan non-formal lenyap dalam draf RUU Sisdiknas.
“Pendidikan non-formal yang disebut sebagai pelengkap atau pengganti pendidikan formal dinilai menunjukkan ketidaksetaraan (antara) pendidikan non-formal dengan sekolah, yang berarti belum diatasinya kelemahan paradigma UU Sisdiknas sekarang,” kata Linggayani.
Secara terpisah, Ketua Bidang Kerja Sama Antarlembaga Dewan Pengurus Pusat Forum Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Lukman Hakim mengatakan, pendidikan non-fomal kini tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Banyak peserta didik yang secara sadar memilih jalur pendidikan non-formal karena fleksibilitas belajar yag dapat di mana dan kapan saja, bahkan dengan siapa saja. Tren ini semakin jadi pilihan, terutama bagi warga di perkotaan.
Di sisi lain, PKBM juga jadi pilihan belajar bagi anak-anak yang terkendala mengakses pendidikan formal karena faktor geografis dan kondisi ekonomi. Selain itu, PKBM ini jadi peluang bagi mereka yang putus sekolah tanpa batas usia untuk bisa mendapat kesetaraan seperti pendidikan non-formal.
“PKBM ini berjalan sebagain besar dari inisiatif masyarakat. Tantangannya kini memang terus meningkatkan layanan pendidikan non-formal berkualitas yang bukan hanya mengejar ijazah atau agar mendapat bantuan operasional peniddikan. Karena itu, dukungan dari pemerintah pusat dan daerah tetap dibutuhkan dalam kebijakan maupun pendanaan untuk memastikan proses pembelajaran juga bermakna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia,” kata Lukman.
Menggelar diskusi kelompok terpumpun
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek, Anindito Aditomo menjelaskan, RUU Sisidiknas adalah salah satu RUU yang masuk ke dalam program legislasi nasional 2020-2024. RUU ini diarahkan menjadi UU pengganti dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
“Norma-norma pokok diintegrasikan ke dalam satu Undang-Undang tersebut, sedangkan norma-norma turunannya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah,” kata Anindito.
Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) atau Uji Publik telah digelar empat kali. Pada 25 Januari 2022, Kemendikburistek mengadakan DKT pertama dengan melibatkan pakar pendidikan dan pakar hukum dari berbagai universitas guna memperkaya naskah akademik RUU Sistem Pendidikan Nasional. Adapun DKT kedua pada 8 Februari 2022 melibatkan organisasi kemasyarakatan dan penyelenggara pendidikan termasuk PP Muhammadiyah, PB Nahdlatul Ulama, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI), Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia, Kolese Kanisius, Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, dan Perkumpulan Sekolah SPK Indonesia.
Selanjutnya, DKT ketiga diselenggarakan pada 10 Februari 2022 dengan mengundang perwakilan organisasi dan asosiasi profesi guru yang terdiri dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (HIMPAUDI), Ikatan Guru Indonesia (IGI), Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Yayasan Guru Belajar (YGB), Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia (IGTKI), Yayasan Cahaya Guru, Ikatan Guru Pendidikan Khusus Indonesia (IGPKhI), dan Ikatan Guru Vokasi Indonesia Maju (IGVIM).
Pada DKT keempat yang dilaksanakan pada 14 Februari 2022, Kemendikbudristek mengundang perwakilan pemerintah daerah dari Kabupaten Malinau, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Kota Binjai, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi DKI Jakarta, dan Provinsi Jawa Tengah. Perwakilan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Sijunjung, dan Kabupaten Pesisir Selatan belum dapat hadir dalam forum tersebut.
Dalam DKT dipaparkan empat hal pokok yang diformulasikan dalam RUU Sisidiknas, yakni kebijakan standar pendidikan yang mengakomodasi keragaman antardaerah dan inovasi, kebijakan wajib belajar dilengkapi dengan kebijakan hak belajar, kebijakan penataan profesi guru agar semakin inklusif dan profesional, dan kebijakan peningkatan otonomi serta perbaikan tata kelola pendidikan tinggi.
Budi “Bukik” Setiawan dari Yayasan Guru Belajar mengapresiasi terobosan Kemendikbudristek yang mengintegrasikan tiga UU. “Bagi kami praktisi lintas jenjang suka kebingungan, mana aturan yang harus diacu. Integrasi 3 UU dalam RUU Sisdiknas ini bisa memudahkan kami para praktisi. Saya juga bahagia bagaimana organisasi profesi diatur dalam RUU ini. RUU ini memberikan kemerdekaan pada guru untuk berserikat”, jelas Budi.