Revitalisasi untuk Menyelamatkan Bahasa Daerah dari Kepunahan
Bahasa daerah di Indonesia mulai terancam punah. Pewarisan kepada generasi muda semakin penting dengan membuka ruang kreativitas.
JAKARTA, KOMPAS — Puluhan bahasa daerah sebagai khazanah kekayaan budaya, pemikiran, dan pengetahuan yang dimiliki bangsa Indonesia terancam punah. Karena itu, pewarisan bahasa daerah yang dapat digunakan sehari-hari dan relevan bagi anak muda perlu dilakukan semua pihak, termasuk melibatkan komunitas dan keluarga yang masih menuturkan bahasa daerah.
Indonesia memiliki 718 bahasa daerah. Saat ini, 25 bahasa daerah terancam punah, 6 bahasa daerah kritis, dan 11 bahasa daerah telah punah. Punahnya bahasa daerah terutama karena para penutur tidak menggunakan lagi, tidak mewariskan kepada generasi selanjutnya, serta penutur bahasa daerah mengganggap bahasa daerah tidak mendesak lagi digunakan.
”Bahasa daerah bukan hanya sekumpulan kata, tapi bagian dari identitas kita sebagai kekayaan bangsa dan kebinekaan,” kata Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim dalam acara peluncuran Merdeka Belajar Episode 17: Revitalisasi Bahasa Daerah, di Jakarta, Selasa (22/2/2022).
”Kalau bahasa daerah punah, kita tidak hanya akan kehilangan identitas, tapi juga kehilangan kebinekaan dan kearifan lokal. Karena itu, kita mesti membuktikan komitmen menyelamatkan bahasa daerah dari kepunahan dengan karya nyata berupa program revitalisasi bahasa daerah,” tuturnya.
Peluncuran program Revitalisasi Bahasa Daerah ini juga sebagai rangkaian peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional yang diperingati setiap tanggal 21 Februari. Dalam kurun waktu 30 tahun ini, sudah ada sekitar 200 bahasa daerah di dunia yang punah.
Bahasa daerah bukan hanya sekumpulan kata, tapi bagian dari identitas kita sebagai kekayaan bangsa dan kebinekaan.
Nadiem mengatakan, banyak bahasa daerah di Indonesia yang juga terancam punah karena penutur jati tidak lagi menggunakan dan tidak mewariskannya kepada generasi berikutnya. Akibatnya, bahasa daerah bisa hilang pada generasi berikutnya.
Baca juga : Keluarga Menjadi Pusat Pertahanan Bahasa Ibu
Guna mengatasi punahnya bahasa daerah di Indonesia, program revitalisasi bahasa daerah secara serius dilakukan pada tahun 2022. Program dilakukan dengan prinsip dinamis, adaptif, regenerasi, dan merdeka berkreasi dalam penggunaan bahasanya.
”Dinamis, berorientasi pada pengembangan dan bukan sekadar memproteksi bahasa. Adaptif dengan situasi lingkungan sekolah dan masyarakat tuturnya. Regenerasi dengan fokus pada penutur muda di tingkat sekolah dasar dan menengah, serta merdeka berkreasi dalam penggunaan bahasanya,” kata Nadiem.
Tujuan revitalisasi bahasa daerah tersebut adalah agar penutur muda menjadi penutur aktif. Anak muda harus mulai mengenal bahasa daerah, selain bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Karena itu, kreativitas dan inovasi untuk mengembangkan bahasa daerah yang relevan dengan kebutuhan generasi muda didukung.
Daerah dapat mengembangkan berbagai program yang menyasar sekolah dengan melibatkan komunitas penutur asli bahasa daerah agar bahasa daerah semakin populer dan relevan bagi generasi muda.
Asistant General for Education UNESCO Stefania Giannini mengutarakan, jika bahasa daerah dalam kondisi kritis, maka bersama bahasa daerah itu, budaya dunia dan sistem pengetahuan leluhur ikut terancam punah.
Pelindungan dan pelestarian bahasa daerah bertujuan menjamin hak masyarakat adat melestarikan, merevitalisasi, dan mempromosikan bahasa mereka serta mengarusutamakan keragaman bahasa dan multibahasa ke dalam semua pembangunan berkelanjutan yang berjalan.
Baca juga : Ujian Ganda Keluwesan Bahasa Ibu
”Kita harus memastikan bahwa teknologi digital mendukung penggunaan dan pelestarian bahasa dan keragaman bahasa ini,” kata Stefania.
Pewarisan terhenti
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa E Aminudin Azis mengatakan, anggapan berbahasa daerah tidak keren atau kampungan membuat pewarisan bahasa daerah jadi terhenti. Orangtua dan anak-anak tidak lagi menggunakan bahasa ibu/daerah sehingga bahasa daerah yang ada bisa masuk ke fase kritis lalu punah.
Penyelamatan bahasa daerah mulai dilakukan dengan sejumlah inisiatif baru. Sejak tahun 2021 sudah dimulai revitalisasi bahasa daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Program ini utamanya menyasar 1 juta siswa SD dan SMP untuk mulai berbahasa daerah dengan sukacita.
”Trennya positif. Guru, komunitas tutur, dan pemerintah daerah terlibat,” kata Aminudin. Pada tahun 2022, ada 38 bahasa daerah yang jadi obyek revitalisasi di 12 provinsi, antara lainyaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Model revitalisasi dirancang tidak seragam.
Sasaran revitalisasi bahasa daerah ini meliputi 1.491 komunitas penutur bahasa daerah, 29.370 guru, 17.955 kepala sekolah, 1.175 pengawas, serta 1,5 juta siswa di 15.236 sekolah.
Sementara itu, untuk komunitas penutur, Kemendikbudristek akan melibatkan secara intensif keluarga, para maestro, serta pegiat pelindungan bahasa dan sastra dalam penyusunan model pembelajaran bahasa daerah, pengayaan materi bahasa daerah dalam kurikulum, serta perumusan muatan lokal kebahasaan dan kesastraan.
Kemendikbudristek akan melatih para guru utama serta guru-guru bahasa daerah; mengadopsi prinsip fleksibiltas, inovatif, kreatif, dan menyenangkan yang berpusat kepada siswa; mengadaptasi model pembelajaran sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing; serta membangun kreativitas melalui bengkel bahasa dan sastra.
Baca juga : Bahasa Ibu yang Dirindu
Ada tiga model revitalisasi yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Model A, dengan karakteristik daya hidup bahasanya masih aman, jumlah penuturnya masih banyak, dan masih digunakan sebagai bahasa dominan di dalam masyarakat tuturnya. Pendekatan yang dilakukan adalah pewarisan dilakukan secara terstruktur melalui pembelajaran di sekolah (berbasis sekolah). ”Contohnya bahasa Jawa, Sunda, dan Bali,” ujar Nadiem.
Selanjutnya model B, karakteristik daya hidup bahasanya tergolong rentan, jumlah penuturnya relatif banyak, dan bahasa daerahnya digunakan secara bersaing dengan bahasa-bahasa daerah lain.
Pendekatan pada model ini adalah pewarisan dapat dilakukan secara terstruktur melalui pembelajaran di sekolah jika wilayah tutur bahasa itu memadai dan pewarisan dalam wilayah tutur bahasa juga dapat dilakukan melalui pembelajaran berbasis komunitas.
Kemudian, model C, karakteristik daya hidup bahasanya kategori mengalami kemunduran, terancam punah, atau kritis, serta jumlah penutur sedikit dan dengan sebaran terbatas.
Pendekatan yang dilakukan pada model ini beru[a pewarisan melalui pembelajaran berbasis komunitas untuk wilayah tutur bahasa terbatas dan khas serta pembelajaran dilakukan dengan menunjuk dua atau lebih keluarga sebagai model tempat belajar atau dilakukan di pusat kegiatan masyarakat, seperti tempat ibadah, kantor desa, atau taman bacaan masyarakat.
Puncak Revitalisasi Bahasa Daerah akan berujung pada Festival Tunas Bahasa Ibu. Festival ini merupakan media apresiasi kepada para peserta revitalisasi bahasa daerah yang dilakukan secara berjenjang, mulai dari sekolah atau komunitas belajar.
Akan dda tujuh materi, yaitu membaca dan menulis aksara daerah, menulis cerita pendek, membaca dan menulis puisi (sajak, gurit), mendongeng, pidato, tembang tradisi, dan komedi tunggal.
Afifah Al Hafizah S, siwa sekolah dasar di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, mengatakan, dirinya masih berbahasa daerah di rumah. Ketika berbicara dengan kakek-nenek, ia memakai bahasa daerah, sedangkan dengan orangtua campuran bahasa Indonesia dan daerah.
”Di sekolah sering berbahasa Indonesia, sesekali saja berbahasa daerah. Ketika ikut lomba Festival Tunas Bahasa Ibu, saya menang di lomba pidato. Saya jadi semakin bangga bisa berbahasa daerah,” kata Afifah.