Bahasa Ibu yang Dirindu
Tinggal di kota besar, bahkan dengan pergaulan internasional, tidak menghalangi mereka belajar dan menghidupi bahasa ibu mereka.
Tinggal di kota besar, bahkan dengan pergaulan internasional, tidak menghalangi mereka belajar dan menghidupi bahasa ibu mereka. Apa gunanya? Mereka meyakini, bahasa daerah ikut berperan dalam kesuksesan pendidikan, perkembangan diri, serta kebanggaan akan jati diri mereka.
Alunan gamelan memecah ketenangan Minggu (19/1/2020) siang di Sanggar Nirmala Sari, Cinere, Kota Depok, Jawa Barat. Di atas perangkat musik tradisional Jawa itu, tangan-tangan kecil piawai memukul bilah-bilahnya, menghasilkan tembang yang sudah mereka akrabi.
Mereka adalah para murid yang belajar mendalang di sanggar tersebut selama beberapa tahun terakhir. ”Muridnya sekarang 20-an anak. Dikelompokkan, yang paling muda lima tahun, sampai usia 30 tahun,” ujar Ki Asman Budi Prayitno, pemilik sanggar.
Anak-anak itu lahir dan besar di Jakarta dan sekitarnya, dari orangtua yang kebanyakan berasal dari suku Jawa, tetapi ada juga yang bersuku lain. Mereka datang pertama kali tanpa mengenal bahasa Jawa, apalagi bahasa pedalangan. Namun, di hati mereka telah ada ketertarikan terhadap dunia tersebut.
Ki Asman mengajarkan mereka bahasa Jawa, lalu bahasa Jawa dengan kaidah kesusastraan atau paramasastra yang digunakan untuk mendalang. Mereka dibuatkan teks yang bisa dibaca dan dihafalkan.
”Harus telaten, tetapi karena mereka antusias, sedikit demi sedikit mereka bisa,” ujar Ki Asman.
Siang itu, anak-anak belajar suluk atau narasi yang dilagukan oleh dalang. Ada pula yang belajar memainkan wayang dan gamelan. Kadang-kadang anak-anak itu bercakap dalam bahasa Jawa meskipun juga diselingi percakapan ”lu-gue”.
Di antara mereka adalah Harlindar Mukti Prakosa (12) yang sudah lebih dari tujuh tahun belajar di Sanggar Nirmala Sari. Sang ayah, Darko (50), berdarah Jawa, sedangkan ibunya, Siti Maulina (46), berdarah Sunda.
”Dia sering ngomong sama bapaknya pakai bahasa Jawa, ngomong sama saya pakai bahasa Sunda meskipun belum fasih,” ujar Maulina, warga Tegal Rotan, Bintaro, Tangerang Selatan, itu.
Harlindar gemar menonton wayang kulit bersama ayahnya atau wayang golek bersama ibunya. Belajar mendalang pun atas kemauannya sendiri.
Darko mengatakan, pedalangan adalah masa depan anaknya. Itulah sebabnya, bahasa Jawa sangat penting bagi Harlindar meskipun dia tetap berbahasa Indonesia, bahkan berbahasa Inggris. Harlindar bercita-cita mendalang hingga ke kancah internasional.
Ditegaskan Darko, dengan belajar bahasa Jawa, secara paralel Harlindar juga belajar tentang budaya Jawa di dalamnya, termasuk pelajaran budi pekerti lewat wayang.
Bagi Dwi Setiahardi (37), warga Petamburan, Jakarta Pusat, mempelajari bahasa Jawa ibarat menjaga identitas mereka. Dwi lahir dan besar di Jakarta kendati orangtuanya berasal dari suku Jawa. Istrinya, Indriani (36), berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah. Putra mereka, Wicaksaning Naya (9), juga belajar mendalang di Sanggar Nirmala Sari.
”Sedikit-sedikit kami berbahasa Jawa di rumah meskipun kadang saya masih suka bingung dengan kata yang tepat,” ujar Dwi tentang perbedaan kata dalam bahasa Jawa halus dan kasar.
Lontaran ”masak orang Jawa enggak bisa ngomong Jawa” rupanya menggelitik mereka. Meskipun logatnya tidak seperti orang asli Jawa, keluarga mereka tetap belajar menggunakan bahasa Jawa.
Fondasi
Sejumlah keluarga meyakini bahwa keterampilan berbahasa daerah meletakkan fondasi yang kuat dalam pergaulan anak-anak mereka di tahap selanjutnya. Kecakapan itu pun dinilai mendukung masa depan sang anak.
Mellani (39), warga Jakarta keturunan Minang, mengajarkan bahasa Minang kepada anaknya lewat percakapan sehari-hari. ”Aku dan suami masih bisa bicara bahasa Minang. Aku sampai SMA masih di kampung yang masih memakai bahasa Minang sehari-hari. Suamiku, walau besar di Riau, keluarganya masih berbahasa Minang. Sejak masih berpacaran sampai sekarang punya anak, kami bicara bahasa Minang di rumah,” tuturnya.
Putranya, Hudzaifah (11), kini cukup lancar berbahasa Minang meskipun masih ada kata atau kalimat yang belum dia pahami. Dia kadang menyeletuk atau berkomentar secara spontan memakai bahasa Minang.
Dengan terampil berbahasa daerah, pergaulan si anak semakin luas. Misalnya saat berada di kampung halaman, berkumpul bersama keluarga besar, atau kelak ketika si anak hidup merantau.
Ini pula yang dipegang Lenti Sitorus (45), warga Jakarta keturunan Batak. ”Dari dulu, aku sudah bercita-cita ingin menikah dengan orang Batak asli dari kampung supaya identitas sebagai orang Batak enggak hilang. Memang bahasa Batak yang kami pakai sekarang masih kategori marpasir alias pasif, tetapi asal sama-sama dipahami,” katanya.
Didukung oleh institusi gereja yang juga masih melestarikan budaya Batak, kedua anaknya, Mabelle (12) dan Mika Gultom (10), terbiasa berbahasa Batak dan terpapar budaya Batak. ”Karena di gereja diajarkan manortor (menari) tarian Batak, anakku di sekolah mendapat nilai 90 untuk pelajaran seni tari,” lanjut Lenti.
Anak bungsunya pun sudah menunjukkan ketertarikan terhadap adat istiadat Batak.
Sementara sutradara film Nia Dinata malah mengenal bahasa Jawa dari putra bungsunya, Gibran Papadimitriou (18). Sebagai keturunan Sunda-Minang, Nia paham kedua bahasa daerah itu, tetapi tidak demikian dengan bahasa Jawa. ”Darah Jawa saya cuma seperempat, dari nenek buyut saya yang asli Yogyakarta,” ujarnya sambil tertawa.
Gibran lahir dan besar di Jakarta. Ayahnya keturunan Yunani-Indonesia. Gibran kecil rupanya tertarik dengan dunia wayang. Dia belajar mendalang pada usia 11 tahun dan kini menjadi dalang. Dia fasih berbahasa Jawa kromo atau halus. Nia menuturkan, di rumah, anaknya sering berbahasa Jawa halus, baik untuk meminta maupun mengekspresikan sesuatu. Sekarang, Gibran tengah kuliah di Yogyakarta.
”Kami tidak melarang, bahkan mendukung dia. Dari menunggui Gibran belajar mendalang, saya jadi tahu ada bahasa Jawa kromo, Jawa ngoko. Tetapi kalau dia sudah ngomong bahasa Jawa kromo, saya minta, tolong, dong, terjemahkan,” kata Nia.
Metafora
Di mata Hartati, seniman tari dari Minang, banyak metafora yang berharga dalam bahasa ibunya sehingga dia sebisa mungkin mengajarkan bahasa Minang kepada anak-anaknya. Metafora berbahasa Minang ”raso jo pareso” kerap ia sampaikan di tengah keluarga. Metafora itu menanamkan cara berinteraksi dengan orang lain, yakni tahu dan menghargai lawan bicara dengan tidak menyinggung perasaannya.
Hartati mengungkapkan metafora lain, ”lawak di awak katuju dek urang”. ”Ini ajaran toleransi, betapa kita harus menimbang kata dan tindakan agar tidak berbuat salah dan menyinggung perasaan orang lain,” ujar Hartati.
Di tengah aneka etnik di Jakarta, berbahasa ibu juga menyejukkan perasaan Beiby Sumanti, seniman musik tradisional Minahasa dan aktivis sosial asal Tondano, Sulawesi Utara. Ia merantau ke Jakarta sejak 1979 dan selalu menggunakan bahasa ibunya untuk berkomunikasi sehari-hari. Tahun 1989, Beiby mendirikan Sanggar Bapontar, sanggar musik kolintang.
”Sejak awal kami berkomitmen bersama untuk selalu menggunakan bahasa Manado. Ada perasaan kedekatan sebagai keluarga. Bagi sesama perantauan, bahasa Manado jadi obat home sick atau rindu kampung halaman,” ucapnya.
Beiby membuat kaus dengan tulisan bahasa Manado ”kita bukang kaki gatal maar suka bapontar” untuk suvenir dan mendapatkan tanggapan bagus dari rekan-rekannya. Tulisan itu bermakna ’kaki kita (saya) bukan gatal, tetapi senang jalan-jalan’. ”Ini bermakna tentang kesukaan merantau atau menjelajah ke luar Manado,” imbuh Beiby.
Banyak studi telah menunjukkan manfaat bagi seseorang yang menguasai bahasa ibunya. Tak heran, sejak tahun 1953, UNESCO pun mendorong pendidikan awal untuk anak-anak menggunakan bahasa ibu.