Syekh Nawawi al-Bantani, Penyebar Ajaran Islam nan Moderat
Manuskrip yang ditulis ulama Nusantara pada zaman dulu menyimpan pengetahuan yang relevan hingga sekarang. Salah satunya ajaran tentang hidup toleran dan damai.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Suasana pameran Pekan Memorial Syekh Nawawi Banten di Jakarta, Selasa (8/2/2022). Syekh Nawawi al-Bantani adalah salah satu ulama besar yang lahir pada tahun 1813 di Banten. Ia pernah menjadi imam di Masjidil Haram di Mekkah, Arab Saudi. Ia juga disebut mahaguru para ulama Nusantara. Muridnya tersebar di sejumlah daerah di Nusantara dan di sejumlah negara, termasuk pendiri NU, Syekh Hasyim Asy’ari, dan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
Ada banyak naskah tulisan para ulama Nusantara zaman dulu yang berisi pemikiran dan ilmu pengetahuan. Namun, belum semua naskah rampung diteliti. Beberapa bahkan belum ditemukan keberadaannya. Menggali naskah para ulama penting karena di dalamnya ada berbagai petuah yang relevan hingga kini, salah satunya tentang menghargai keberagaman.
Salah satu ulama Nusantara yang dinilai patut dipelajari adalah Syekh Nawawi al-Bantani. Beberapa orang menyebutnya Syekh Nawawi Banten. Sama seperti namanya, Syekh Nawawi lahir di Banten pada 1813, tepat saat Kesultanan Banten runtuh. Ia wafat di Arab Saudi pada 1897.
Ia merupakan salah satu ulama besar di Nusantara. Setelah mendalami agama Islam di Banten dan Purwakarta, Jawa Barat, selama bertahun-tahun, Syekh Nawawi beribadah haji sambil belajar di Arab Saudi. Ia mengajar agama begitu kembali ke Nusantara.
Namun, ceramah Syekh Nawawi dinilai membahayakan pihak Belanda pada masa itu. Sebab, Syekh Nawawi lantang menolak kolonialisme. Gerak-geriknya pun dibatasi Belanda. Syekh Nawawi pun memilih kembali ke Mekkah, Arab Saudi, pada usia sekitar 19-20 tahun. Ia menetap di sana hingga akhir hayatnya.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Suasana pameran Pekan Memorial Syekh Nawawi Banten di Jakarta, Selasa (8/2/2022). Syekh Nawawi al-Bantani adalah salah satu ulama besar yang lahir pada 1813 di Banten. Ia pernah menjadi imam di Masjidil Haram di Mekkah, Arab Saudi. Ia juga disebut mahaguru para ulama Nusantara. Muridnya tersebar di sejumlah daerah di Nusantara dan di sejumlah negara, termasuk pendiri NU, Syekh Hasyim Asy’ari, dan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
Kendati tidak lagi ada di Nusantara, pengaruh Syekh Nawawi tetap kuat. Ia menjadi rujukan para santri dan calon ulama yang hendak belajar agama ke Arab Saudi. Mereka belajar agama dan bahasa dari madrasah yang didirikan Syekh Nawawi di Mekkah.
Orientalis Christian Snouck Hurgronje menyebut, semua orang yang datang dari Jawa (merujuk pada Nusantara) ke Mekkah pasti belajar kepada Syekh Nawawi al-Bantani. Karena itu, murid Syekh Nawawi tersebar di Nusantara dan sejumlah negara. Snouck juga menyebut Syekh Nawawi mengarahkan muridnya untuk mengkaji Isam secara menyeluruh, dari aspek teologi, hukum, etik, hingga bahasa.
Syekh Nawawi pun disebut mahaguru para ulama Nusantara. Beberapa muridnya menjadi ulama ternama, antara lain pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Syekh Hasyim Asy’ari, dan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
”Syekh Nawawi al-Bantani adalah tokoh panutan paling terkemuka di Arab Saudi dan orang Jawa (Nusantara) di Arab Saudi. Ilmunya diakui semua ulama di Nusantara ataupun Arab pada masa itu,” kata Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zulfa Mustofa saat sesi wawancara terbatas di Jakarta, Jumat (4/2/2022). Adapun Zulfa adalah keturunan Syekh Nawawi.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zulfa Mustofa di Jakarta, Selasa (8/2/2022).
Menghargai perbedaan
Zulfa mengatakan, Syekh Nawawi punya kontribusi besar dari sisi agama karena ia yang menanamkan ajaran Islam moderat. Pemikirannya soal toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan punya pengaruh yang kuat. Ajaran tersebut berkembang hingga sekarang.
Bagi sesama umat Muslim, Syekh Nawawi menekankan bahwa seseorang tidak boleh merasa penafsiran agamanya yang paling benar. Ia juga menekankan agar tidak mengafirkan orang lain.
”Syekh Nawawi melarang untuk mengafirkan, melarang menganggap (ajaran orang lain) sesat, dan melarang mencaci. Hal ini yang kemudian menurun dan diikuti mayoritas umat Islam di Indonesia. Saat ini banyak orang yang mengaku moderat, tetapi bersikap seakan surga dan neraka miliknya,” ujar Zulfa.
Kompas/Hendra A Setyawan
Mural bertema toleransi beragama tergambar di dinding sebuah rumah di kawasan Meruyung, Depok, Jawa Barat, Sabtu (12/9/2020). Survei kerukunan umat beragama dari Litbang Kementerian Agama menunjukkan, indeks kerukunan beragama di Indonesia mencapai 72,20 tahun 2017, 70,9 pada 2018, dan 73,93 pada 2019. Namun, tingginya indeks kerukunan beragama itu bukan berarti tidak ada persoalan intoleransi di Tanah Air. Intoleransi, baik ekonomi, kebudayaan, maupun keagamaan, masih terjadi di Indonesia.
Biografi dan pemikiran Syekh Nawawi kemudian ditulis Zulfa menjadi buku berjudul Tuhfatul-Qâshî wad-Dânî. Zulfa mengatakan, butuh waktu enam tahun untuk riset dan 100 hari untuk menulis. Buku ini ditulis dalam bahasa Arab. Buku serupa versi bahasa Indonesia sedang digarap.
Menggali naskah
Buku biografi tersebut merupakan hasil membaca naskah ataupun kitab yang ditulis oleh Syekh Nawawi. Ada sekitar 100 naskah yang ditulis Syekh Nawawi semasa hidup. Namun, kata Zulfa, baru 44-45 naskah yang ada di Indonesia.
Sejumlah naskah tulisan ulama tersebut tersebar di beberapa negara, antara lain Belanda, Inggris, Mesir, Arab Saudi, dan Lebanon. ”Dari 100 tulisan, belum semuanya ketemu. Ada yang masih berada di negeri lain dan itu perlu kita cari,” ujar Zulfa.
Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin pada Selasa (8/2/2022) mengatakan, karya tulis ulama adalah kekayaan warisan budaya Islam. Masih banyak naskah para ulama yang tersebar di beberapa negara. Banyak pula yang belum dipublikasikan karena masih berupa manuskrip dengan tulisan tangan.
Penerbitan kembali naskah-naskah karya ulama Nusantara penting. Itu sebagai jembatan yang menyambungkan pemikiran masa silam dengan realitas pembaca masa kini.
”Penerbitan kembali naskah-naskah karya ulama Nusantara penting. Itu sebagai jembatan yang menyambungkan pemikiran masa silam dengan realitas pembaca masa kini,” katanya melalui siaran langsung pada kegiatan ”Pekan Memorial Syekh Nawawi Banten: Kebangkitan Turots Nusantara dari Indonesia untuk Peradaban Dunia”.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Manuskrip yang ditulis Syekh Nawawi al-Bantani dipajang pada pameran Pekan Memorial Syekh Nawawi Banten di Jakarta, Selasa (8/2/2022). Syekh Nawawi al-Bantani adalah salah satu ulama besar yang lahir pada 1813 di Banten. Ia pernah menjadi imam di Masjidil Haram di Mekkah, Arab Saudi. Ia juga disebut mahaguru para ulama Nusantara. Muridnya tersebar di sejumlah daerah di Nusantara dan di sejumlah negara, termasuk pendiri NU, Syekh Hasyim Asy’ari, dan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
Upaya mengangkat naskah para ulama Nusantara pun dilakukan dengan menerbitkan buku Seri Penerbitan Karya Agung Ulama Nusantara Sepanjang Masa. Buku berbahasa Arab ini berisi kompilasi 11 naskah para ulama Nusantara dari abad ke-17 sampai ke-20. Naskah itu dikompilasi dan disunting oleh Nahdlatul Turarts, komunitas filologi PBNU.
Filolog sekaligus pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta, Ahmad Ginanjar Sya’ban, mengatakan, 11 ulama pada buku itu merupakan perwakilan ulama di tiap zaman. Mereka juga ulama besar, seperti Syekh Abdurrauf Singkel, Syekh Arsyad al-Banjari, dan Syekh Ahmad Nahrawi Banyumas.
”Naskah kuno yang ditulis tangan (oleh ulama Nusantara) aksesnya terbatas. Kami ingin agar karya intelektual para pendahulu bisa diakses oleh generasi masa kini. Tujuannya agar ada ketersambungan wawasan dan pemikiran para pendahulu,” ujarnya.
Buku tersebut akan didistribusikan ke pesantren, perpustakaan, dan perguruan tinggi. Naskah-naskah lain akan dikompilasi dan dibukukan.