Karantina, Bea Cukai, hingga Kendala Bahasa di Pameran Seni
Ada banyak ”kerepotan” di balik pameran seni rupa antarnegara yang digelar saat pandemi Covid-19. Agar pameran tetap lancar, segala kerepotan itu pun rela ditempuh.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Menggelar pameran seni antarnegara saat pandemi Covid-19 jauh dari kata sederhana. Seniman mesti datang jauh-jauh hari sebelum pameran untuk memastikan dirinya aman dari paparan virus. Atas nama seni, kesehatan, serta keamanan, para seniman pun rela repot.
Sandy Hsiu-chih Lo, seniman asal Taiwan, menunjukkan gelang yang ia pakai melalui aplikasi Zoom saat konferensi pers, Jumat (7/1/2022). Gelang itu umumnya berisi data diri, seperti nama dan jenis kelamin, serta dikenakan oleh orang-orang yang menjalani karantina selepas tiba dari luar negeri. Sandy sudah sepekan lebih menjalani karantina sejak tiba di di Indonesia pada akhir tahun 2021.
Ia menempuh 3.000-an kilometer dari Taiwan ke Jakarta demi pameran Ring Project: Metaphor About Islands. Selain berperan sebagai ko-kurator, ia berencana hadir di pembukaan pameran, Minggu (9/1/2022), di Museum Nasional. Pameran yang merupakan bagian dari Jakarta Biennale 2021 ini akan berlangsung hingga 21 Januari 2022.
Kami terkendala bahasa saat berkolaborasi dengan Rahic Talif (seniman dari Taiwan). Ia tidak bisa bahasa Inggris, sedangkan kami tidak bisa bahasa Mandarin.
Melalui pertemuan daring yang tersendat-sendat akibat kendala sinyal dan teknis, Sandy meminta maaf karena tidak bisa hadir di konferensi pers. Ia masih harus menjalani karantina setidaknya sehari lagi. Jika hasil tes Covid-19 miliknya negatif, ia akan hadir di pameran secara langsung.
Karantina bukan satu-satunya tantangan pameran seni rupa kontemporer ini. Ada dua instalasi seni yang kini tertahan di Bea Cukai. Salah satu instalasi seni itu diterbangkan langsung dari Taiwan. ”Ditahan karena ada tab (gawai tablet) di instalasi itu,” kata penyelenggara pameran.
Karya seni di pameran ini memang beragam. Beberapa di antaranya dikirim langsung dari luar negeri. Itu karena ada 41 seniman dan kolektif seni dari Indonesia dan luar negeri yang terlibat, yakni dari Thailand, Vietnam, Malaysia, Kamboja, Nepal, Bangladesh, dan Taiwan. Mereka dipasangkan untuk berkarya bersama. Pameran ini menunjukkan hasil kerja kolaboratif mereka.
Tantangan
Berkolaborasi dengan seniman di seberang laut tentu menantang. Sudah terpisah jarak, waktu, kedua pihak berbeda bahasa ibu pula.
”Kami terkendala bahasa saat berkolaborasi dengan Rahic Talif (seniman dari Taiwan). Ia tidak bisa bahasa Inggris, sedangkan kami tidak bisa bahasa Mandarin,” kata Destry, anggota kolektif seni Volume Escape dari Sukabumi, sambil setengah terkekeh.
Destry dan kawan-kawannya tidak mau diam saja karena masalah bahasa. Mereka menggunakan kekosongan diskusi dengan terus berproses di Sukabumi, kemudian rutin mengabari proses seni tersebut ke rekannya di Taiwan melalui surat elektronik. Agar diskusi berjalan lancar, surat elektronik dikirim dengan tembusan ke penyelenggara pameran yang menjadi penerjemah.
Anggota kolektif seni SIKU Ruang Terpadu dari Makassar, Adrian, mengatakan, ia berkolaborasi dengan seniman dari Kathmandu, Nepal. Zona waktu di Makassar dan Kathmandu berbeda sekitar 2 jam 15 menit. Perbedaan itu menuntut kompromi. Adrian dan kawan-kawan pun kerap terjaga malam-malam agar bisa bertemu rekan di Nepal secara daring.
”Saat di sana (Kathmandu) masih sore, di Makassar sudah malam. Untung kami anak malam, he-he-he,” katanya. ”Kami mau bikin suasana menjadi cair. Kalau kami tidak tahu mau membahas apa, kami masak dan makan bareng via Zoom. Kami menghabiskan 1-2 bulan untuk nongkrong dan ngobrol, baik obrolannya penting maupun tidak,” tambahnya.
Dari obrolan santai tersebut, kedua pihak justru menemukan ide. Mereka juga jadi mengenal kota satu sama lain. Wawasan umum dan wawasan soal seni pun bertambah.
Adrian mengatakan, sebelumnya, sulit bagi para seniman di Makassar untuk membayangkan perkembangan seni rupa kontemporer. Isu itu jarang dibahas di kotanya hingga akhirnya Makassar Biennale digelar pertama kali beberapa tahun lalu.
Proyek kolaborasi dengan seniman lintas negara, menurut dia, mendorong pertukaran pengetahuan tentang seni, khususnya seni kontemporer. Kolaborasi ini juga memungkinkan para seniman untuk berbagi ide, sumber daya, hingga memperoleh teman-teman baru.
”Ini membuka kesempatan bagi kami untuk berjejaring. Kesempatan itu minim selama ini,” ucap Adrian.
Kerja kolektif
Sementara itu, menurut Direktur Program Jakarta Biennale 2021 Farah Wardani, kerja kolektif para seniman mesti diwadahi. Kolektivisme seni dinilai menjadi paradigma baru dalam pekerjaan seni kontemporer.
”Kolektivisme atau kerja kolektif dalam seni juga menjadi bagian masa depan seni, baik di Indonesia maupun dunia. Itu juga bagian dari gerakan sosial, ekonomi, dan budaya sekarang,” ucap Farah.
Sandy mengatakan, salah satu nilai penting pameran Ring Project: Metaphor About Islands adalah pertemanan dan koneksi. Pameran ini menjadi wadah berbagi dunia melalui dialog dan komunikasi yang bebas. Pameran juga diibaratkan sebagai suaka di mana semua orang bertindak untuk mencapai tujuan kolektif yang bersifat estetis.