Semangat anak-anak Papua untuk mengejar pendidikan menjadi cahaya terang di tengah berbagai keterbatasan di daerah tersebut. Para guru dan pengurus sekolah pun turut menjaga asa itu terus menyala.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO/SUCIPTO
·5 menit baca
Irenius Tukani (17) baru saja masuk sekolah setelah setahun lebih belajar di rumah. Ia sempat pulang ke Kampung Pronggo, Distrik Mimika Barat Tengah. Baginya sekolah daring sama seperti libur, apalagi sinyal di kampungnya timbul tenggelam di tepi Laut Arafura. Namun, sesulit apa pun, lelaki ramping itu tetap belajar, tak ingin putus sekolah seperti beberapa teman sebaya di kampungnya.
Iren, begitu sapaan akrabnya, bersekolah di SMA Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) Tiga Raja Timika, Kabupaten Mimika, Papua. Ia duduk di bangku kelas XII jurusan bahasa. Selama bersekolah daring, ia pulang ke kampung yang jaraknya lebih kurang 139 kilometer dari sekolah.
Di kampungnya, ia sama sekali tidak bisa belajar. Untuk mengikuti sekolah daring, terlebih dahulu ia harus mengarungi pantai dan muara menggunakan perahu bermotor. Setelah menempuh 30 menit perjalanan, ia baru bisa belajar bermodalkan gawai.
Meski sulit, ia bersyukur. Tak semua temannya di SD dan SMP bisa meneruskan sekolah ke SMA. Bukan hanya masalah uang, tetapi motivasi dan dukungan keluarga. ”Tidak tahu mereka berpikir apa, tapi saya tara (tidak) mau berhenti sekolah,” ujar Iren, Jumat (22/10/2021).
Sejak SMP, Iren sudah sekolah di YPPK. Selain karena beasiswa, ia termotivasi sebab banyak teman di kampungya yang lulus SMA bisa mendapatkan pekerjaan baik. Beberapa di antaranya bahkan bisa berkuliah.
Salah satu motivasi Iren untuk terus bersekolah, meski teman-teman sepermainannya memilih untuk mencari ikan di laut, adalah karena ingin menjadi polisi. Bukan hanya terpukau dengan seragam, Iren merasa bangga jika bisa menyelamatkan orang dan menangkap penjahat.
”Kalaupun tak lulus tes polisi nanti, saya akan tetap kuliah. Saya mau belajar,” ungkap anak suku Kamoro, suku asli Kabupaten Mimika, itu.
Saya mau jadi orang Kamoro yang sukses.
Di YPPK Tiga Raja, Iren sadar mendapatkan ijazah tidak mudah. Di sekolah itu nilai menjadi salah satu yang utama. Meski sulit, ia yakin teman dan guru-guru bisa membantunya untuk maju. ”Saya mau jadi orang Kamoro yang sukses,” ujarnya.
Sejak kasus Covid-19 menurun di Mimika, sekolah tatap muka memang mulai dilakukan di YPPK Tiga Raja. Siswa berangkat ke sekolah tiga kali dalam seminggu dan tiga hari lainnya belajar daring. Namun, Iren berangkat ke sekolah setiap hari.
Saat jadwal pembelajaran daring, ia butuh akses internet lancar dan gratis. Untuk itu, ia memilih belajar daring di perpustakaan sekolah yang menyediakan akses Wi-Fi cuma-cuma. Sebab, tak ada Wi-Fi di asrama tempatnya tinggal di Timika, ibu kota Kabupaten Mimika.
Di sekolah itu, Iren bertemu teman kelas dari sejumlah daerah dengan beragam suku dan latar belakang. Salah satunya Katty Mom (17). Teman kelasnya di jurusan bahasa itu berasal dari Wamena, anak suku Dani.
Jika Iren sangat menghemat kata saat berbicara, Katty sebaliknya. Ia bercerita banyak soal hal baru yang ia pelajari selama bersekolah di YPPK Tiga Raja. Di gedung lantai dua itu, ia dan puluhan teman kelasnya tak hanya belajar mata pelajaran wajib, tetapi juga mengenal banyak seni dan kebudayaan yang selama ini Katty pun tidak tahu.
”Belajar banyak juga dari kegiatan sekolah, seperti Pramuka dan kegiatan lain. Bahkan, dengan bertemu kakak kelas saja bisa belajar pengalaman mereka,” kata Katty.
Sejak menyentuh bangku SMA, Katty sudah punya tujuan. Ia ingin kuliah di Universitas Cenderawasih di Jayapura. Dengan bekal ilmu di kampus, perempuan berambut keriting itu berencana melanjutkan bisnis keluarganya atau bekerja.
Salah satu misi Sekolah YPPK Tiga Raja adalah memberi akses pendidikan bagi suku asli Papua, khususnya dua suku asli di sekitar Timika, yakni Kamoro dan Amungme. Sejak sekolah berdiri pada 2002, mereka mencari putra-putri asli Kamoro dan Amungme agar bisa bersekolah.
Oleh karena Kabupaten Mimika sudah menjadi tempat hidup berbagai suku di Nusantara, saat ini persentase siswa di sana 53 persen orang non-Papua dan 47 persen orang asli Papua. Biaya sekolah setiap bulan juga tidak sama, yakni Rp 350.000, Rp 270.000, dan terendah Rp 175.000. Jumlah itu disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orangtua siswa.
”Khusus untuk putra daerah, meski masuk kategori biaya Rp 175.000, kalau kondisi ekonomi orangtua tidak memungkinkan, buat apa dipaksa. Kami membiarkan dan tidak pernah menagih. Anak bisa dan mau bersekolah saja kami sudah bersyukur,” kata Kepala Sekolah YPPK Tiga Raja Yohanes Indriastata Pramana.
Kalau mereka kurang mahir di bidang akademis, kami mengembangkan sisi yang mereka minati.
Meski demikian, program mendidik suku asli Papua di Timika tidak mudah. Banyak siswa yang tinggal di daerah pedalaman belum lancar berbahasa Indonesia, membaca, menulis, dan berhitung saat mendaftar ke SMA YPPK Tiga Raja. Maklum, beberapa SD dan SMP di daerah pedalaman dan pinggiran Papua kerap meluluskan siswanya meski belum sesuai kompetensi.
Dengan kondisi seperti itu, kata Yohanes, pihaknya tidak lantas menolak siswa tersebut. Di tahun pertama, guru-guru di sana membuat kelas khusus bagi siswa-siswi itu agar mampu menguasai kemampuan dasar berbahasa, baca, tulis, dan berhitung.
”Umumnya, putra-putri daerah ini lebih suka di bidang seni, seperti bernyanyi, bermusik, dan menari. Kalau mereka kurang mahir di bidang akademis, kami mengembangkan sisi yang mereka minati. Sisi itu yang kami kembangkan,” katanya.
Bahkan, agar guru-guru bisa mengenal lebih jauh siswa, setiap tahun sekolah memiliki program live in atau tinggal di pedalaman hingga pinggiran Mimika. Kagiatan itu diikuti siswa dan guru. Tujuannya, agar siswa dan guru mengenal budaya, karakter, dan bahasa suku asli di sekitar Timika.
Melalui program itu, guru Bahasa Inggris YPPK Tiga Raja, Golda Contessa Talumewo, jadi paham karakter siswanya dengan meninjau latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya anak didiknya. Golda, yang berasal dari Sulawesi Utara, jadi tahu beberapa kata dalam bahasa Amungme dan Kamoro. Hal itu memudahkannya untuk melakukan pendekatan kepada siswa.
”Saya belajar bersosialisasi kepada siswa karena masing-masing adalah pribadi yang unik. Saya berusaha menjadi sahabat mereka,” ujar Golda.
Yohanes berharap penyelenggaraan pendidikan semacam itu bisa menciptakan iklim belajar-mengajar yang efektif. Lebih dari itu, ia berharap pendidikan bisa diakses dengan mudah dan murah bagi orang Papua. Meski masih banyak yang perlu dikembangkan dari sekolah yang ia pimpin, Yohanes punya asa sumber daya manusia di Papua bisa semakin maju.