Andika Tampubolon, Pengabdian Guru Milenial di Pedalaman Papua
Jalan yang ditempuh Andika Tampubolon tidak populer di kalangan anak muda. Alih-alih mengejar karier di kota besar, ia justru memilih mengabdi sebagai guru di pedalaman Papua.
Oleh
Fabio Maria Lopes Costa
·5 menit baca
Setelah lulus dari Universitas Gadjah Mada tahun 2016, Andika Tampubolon tidak mengejar pekerjaan lain di kota besar. Ia memilih untuk mengabdi sebagai guru di pedalaman Kabupaten Mamberamo Raya, Papua.
Sejak 5 September 2017, Andika mengajar di SD Negeri Kampung Fuau di Distrik Mamberamo Hulu. Perjalanan dari Jayapura, ibu kota Papua, ke Fuau dengan menggunakan pesawat berbadan kecil sekitar 40 menit. Apabila melewati Dabra, ibu kota Distrik Mamberamo Hulu, ke Kampung Fuau, harus menggunakan perahu motor selama sembilan jam.
Andika bertugas di sana sebagai guru sukarelawan di lembaga Trevor Johnson Ministry yang fokus pada kegiatan pendidikan, kesehatan, dan keagamaan di daerah pedalaman Papua. Lembaga ini didirikan Pendeta Trevor Johnson dari Amerika Serikat. Saat ini, ada 80 siswa yang belajar di SD Fuau. Mereka adalah anak-anak dari keluarga petani dan nelayan.
Andika tinggal bersama salah seorang rekan guru, seorang perawat di Puskesmas Pembantu Fuau, dan dua pelajar di sebuah rumah. Rumah ini berjarak sekitar 500 meter dari SD Fuau. Jarak dari rumah itu ke sekolah ditempuh sekitar 15 menit dengan berjalan kaki. Ia bersama rekan guru yang lain memulai kegiatan belajar tepat pukul 07.30 WIT dan selesai pukul 14.00 WIT.
Di SD Fuau hanya terdapat dua ruang kelas dan sama sekali tidak memiliki kamar mandi. Para guru harus pulang ke rumahnya jika ingin menggunakan kamar mandi. Sementara sebagian siswa terpaksa buang air besar dan kecil di sungai.
Aktivitas kegiatan belajar di setiap kelas di SD Fuau hanya berlangsung dua jam karena ruang kelas harus dipakai bergantian untuk setiap kelas. Selain itu, tenaga pengajar di sana memang kurang. Siswa kelas I dan kelas II belajar dari pukul 07.30 hingga pukul 10.00, siswa kelas III dan IV dari pukul 10.00 hingga pukul 12.00, serta siswa kelas V dan VI dari pukul 12.00 hingga pukul 14.00.
Andika mengajar kelas I, IV, dan VI sejak 4,5 tahun terakhir. Siswa-siswanya semangat dan antusias untuk belajar. ”Saat saya tiba di sekolah, semua anak telah berada di kelas. Mereka menyapa saya dengan penuh semangat dan siap untuk menerima materi baru,” ungkap Andika ketika ditemui di Jayapura, awal Juni lalu.
Setelah kegiatan belajar di sekolah selesai, Andika dan salah seorang rekan guru bernama Nia Lumban Tobing, memberikan les membaca, berhitung, bahasa Indonesia, dan ilmu pengetahuan alam dari pukul 16.00-18.00 WIT.
Kini sebanyak 53 anak didik Andika telah lulus dari SD Fuau dari tahun 2017 hingga 2021. Mereka telah melanjutkan sekolah menengah pertama di daerah Dabra dan Jayapura.
Janji
Andika terpanggil menjadi guru di pedalaman Papua ketika mengikuti kuliah kerja lapangan (KKL) di Kampung Wafor di Kabupaten Supiori, pertengahan tahun 2014. Saat KKL, Andika menjadi guru di salah satu SD di Wafor dan mengajar siswa kelas VI. Hatinya sangat sedih saat melihat kondisi pendidikan di Wafor.
”Saya ingin menangis saat melihat anak-anak ini. Banyak anak yang belum dapat membaca dan berhitung walaupun telah kelas VI SD,” ungkapnya.
Andika pun berjanji dalam hati untuk kembali ke tanah Papua untuk berkontribusi sebagai guru. Tujuannya membantu anak-anak di pedalaman Papua agar bisa meraih masa depan yang lebih baik.
Kesempatan itu pun tiba ketika Trevor John Ministry membuka lowongan pekerjaan sebagai tenaga guru di Kampung Fuau pada awal tahun 2017. Andika pun mengetahui informasi ini dari media sosial. Pria kelahiran Batam ini mendaftar dan mengikuti sejumlah tes serta wawancara selama beberapa bulan. Akhirnya Trevor Johnson memutuskan Andika yang layak sebagai guru di Fuau.
”Beliau (Trevor) secara langsung mengantar saya ke Jayapura. Kemudian Yulianus Wau, salah satu tokoh masyarakat, yang mengantar saya dari Jayapura ke Fuau dengan pesawat Maskapai Yajasi,” tutur pria berusia 28 tahun ini.
Saat tiba di Fuau, masyarakat menyambut Andika dengan penuh bahagia. Sudah bertahun-tahun mereka menanti seorang guru yang rutin mengajar di SD Fuau. Memang terdapat dua tenaga guru setempat di SD tersebut. Namun, keduanya kurang aktif mengajar anak-anak dalam beberapa tahun terakhir.
”Saat pertama kali tiba di Fuau, saya menemukan kondisi pendidikan yang sama seperti di Supiori. Banyak anak yang belum dapat membaca dan berhitung walaupun usianya di atas 10 tahun,” ungkap Andika.
Perubahan
Banyak kendala yang dirasakan guru dan anak-anak di Fuau untuk mendapatkan ilmu pengetahuan di sekolah. Kendala utamanya adalah minimnya sarana infrastruktur. Tidak terdapat layanan telekomunikasi dan listrik di Fuau. Dalam melaksanakan ujian di sekolah, misalnya, para guru harus menulis soal di kertas dan membagikan kepada para siswa.
Kondisi bangunan sekolah juga rusak dan tidak ada fasilitas kamar mandi ataupun perpustakaan. ”Padahal, dengan dana otonomi khusus, anak-anak ini bisa memiliki sekolah dengan fasilitas yang lebih layak,” ujarnya.
Ia menyarankan agar pemerintah daerah dan pusat lebih peka melihat kondisi pendidikan di daerah pedalaman Papua, seperti di Fuau. Sebab, anak-anak di daerah pedalaman sangat bersemangat dalam belajar, tetapi belum mendapatkan akses sarana infrastruktur yang memadai.
”Saya selalu berharap dan optimistis ada perubahan bagi dunia pendidikan di Fuau,” ujar Andika.
Andika Tampubolon
Lahir: Batam, Kepulauan Riau, 20 Januari 1993
Orangtua: Batahan Tampubolon (alm) dan Rentauli Sitorus.
Pendidikan terakhir: S-1 Jurusan Biologi Universitas Gadjah Mada
Pekerjaan: Guru SD Negeri Kampung Fuau, Kabupaten Mamberamo Raya, Papua.