Pemetaan Kekayaan Manuskrip Nusantara Terkendala Minimnya Informasi
Sejauh ini belum ada penelitian sejarah filologi yang mendeskripsikan tentang asal mula manuskrip kuno. Padahal, informasi ini sangat penting untuk merekonstruksi kekayaan manuskrip Nusantara pada masa lampau.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minimnya informasi tentang asal mula teks kuno menjadi salah satu tantangan dalam merekonstruksi dan memetakan kekayaan manuskrip Nusantara pada masa lampau. Oleh karena itu, khazanah manuskrip yang berasal dari keraton Nusantara perlu ditelusuri lebih jauh melalui penelitian sejarah.
Ahli pernaskahan Nusantara dari Leiden University, Belanda, Suryadi, mengemukakan, apabila dilihat dari sejarahnya, manuskrip kerajaan Nusantara yang terdapat di dalam maupun di luar negeri umumnya berasal dari dua sumber skriptorium. Dua sumber skriptorium itu tepatnya dari dalam dan luar keraton atau kerajaan. Namun, mayoritas manuskrip naskah dari keraton telah dijarah oleh pihak luar.
”Kita tidak tahu apa yang terjadi dengan naskah di kerajaan lain, seperti di Kalimantan, Sulawesi, serta Ternate dan Tidore. Permasalahannya, informasi bibliografi tentang asal dari koleksi manuskrip Nusantara di luar negeri juga kurang jelas,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Khazanah Manuskrip Digital Koleksi Kerajaan Nusantara”, Rabu (22/12/2021). Webinar ini digelar Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melalui program Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (DREAMSEA) dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa).
Sejauh ini, kata Suryadi, belum ada penelitian sejarah filologi yang mendeskripsikan tentang asal muasal manuskrip atau teks-teks kuno. Padahal, informasi dan keterangan tentang asal muasal ini sangat penting untuk merekonstruksi kekayaan manuskrip Nusantara pada masa lampau. Sementara informasi yang banyak tersaji saat ini hanya pada surat-surat kuno karena terdapat kejelasan pengirim dan penerima.
Menurut Suryadi, kondisi inilah yang menjadi salah satu tantangan bagi semua pihak yang memiliki perhatian besar terhadap manuskrip Nusantara, terutama sejarawan dan peneliti naskah. Oleh karena itu, khazanah manuskrip yang berasal dari keraton Nusantara perlu ditelusuri lebih jauh melalui penelitian sejarah, khususnya terkait proses penjarahan atau pengambilalihan oleh otoritas kolonial Hindia-Belanda.
Khazanah manuskrip yang berasal dari keraton Nusantara perlu ditelusuri lebih jauh melalui penelitian sejarah, khususnya terkait proses penjarahan atau pengambilalihan oleh otoritas kolonial Hindia-Belanda.
”Tanpa menyebut asal kerajaan atau keraton, Leiden memiliki sekitar 30.000 manuskrip Nusantara. Beberapa manuskrip di antaranya sudah didigitalisasi, tetapi sebagian besar lainnya belum. Ke depan akan lebih strategis kalau pihak manuskrip kita dan pihak lain melakukan perjalanan ke area bekas kesultanan untuk memetakan naskah-naskah tersebut,” tuturnya.
Meski demikian, tambah Suryadi, proses pemetaan ini jangan hanya fokus pada manuskrip yang telah banyak diketahui selama ini, seperti naskah bertuliskan Arab-Jawa. Namun, pemetaan juga harus dilakukan untuk semua dokumen tertulis yang terkait dengan keraton tersebut, termasuk yang berbahasa Latin. Dokumen tertulis yang bisa dipetakan mulai dari surat hingga catatan pengeluaran kerajaan.
”Selain digitalisasi, kita juga bisa menerbitkan sebuah material yang menandakan kerajaan-kerajaan Nusantara memiliki tradisi literasi yang bagus. Kita bisa menerbitkan surat-surat dari sejumlah kerajaan Nusantara di Palembang, Ternate, Bima, Yogyakarta, atau Solo. Ini bisa menjadi bukti yang bisa diwariskan ke generasi mendatang,” ucapnya.
Salah satu manuskrip yang telah didigitalisasi adalah koleksi perpustakaan Widyapustaka Kadipaten Pakualaman. Ketua Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada Sri Ratna Saktimulya mengatakan, proses digitalisasi ini menggunakan kamera sistem cermin otomatis (DSLR). Beberapa alat pendukung yang digunakan adalah copy stand sebagai tempat bernaungnya kamera dan kartu QP untuk kalibrasi warna.
”Proses digitalisasi belum dilakukan untuk semua manuskrip. Dari 251 naskah, tahun ini baru difoto sebanyak 94 naskah. Jadi, masih 157 yang belum difoto dan 7 di antaranya tidak bisa difoto karena kondisi rusak parah,” ujarnya.
Penulis di Palembang
Sultan Palembang Darussalam Sultan Mahmud Badaruddin IV Jaya Wikrama R M Fauwaz Diradja mengatakan, sampai saat ini sejumlah naskah masih tersimpan rapi di Kesultanan Palembang Darussalam. Zaman dulu, Palembang juga memiliki banyak penulis naskah karena keinginan atau perintah langsung dari kesultanan.
”Di Kesultanan Palembang juga terdapat catatan dari ulama Aceh yang kemudian disaring ulang. Jadi, memang ada konektivitas antara catatan ulama di Sumatera ini dan ulama lain di Nusantara,” katanya.
Selain itu, Kesultanan Palembang juga memiliki ulama atau ilmuwan dan peneliti yang menulis, menerjemahkan, serta menyalin kitab-kitab keilmuan Islam sepanjang abad ke-18 dan ke-19. Status penguasa sekaligus penulis dalam era Kesultanan Palembang melekat pada figur Sultan Mahmud Badaruddin II. Bahkan, manuskrip dari Palembang banyak diminta oleh orang-orang Arab dan kini menjadi koleksi di perpustakaan luar negeri.
”Komisaris Belanda yang pernah memburu harta Sultan dan menggeledah rumah-rumah bangsawan Palembang adalah JI van Sevenhoven. Perburuan harta ini mengakibatkan penyitaan 55 manuskrip yang pernah menjadi koleksi perpustakaan keraton,” ucapnya.