Toleransi Saja Tidak Cukup, Kaum Minoritas Perlu Penerimaan Utuh
Sekadar bersikap toleran terhadap kalangan yang berbeda dan rentan ternyata tidak cukup. Toleransi yang sejati menuntut sampai pada penerimaan atas manusia, apa pun ekspresi dan identitasnya.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 tidak lantas menghentikan praktik-praktik intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan kepada kelompok minoritas agama atau kepercayaan, etnis atau ras, hingga minoritas jender dan seksualitas. Kelompok minoritas ini kerap menjadi korban eksklusi, kriminalisasi, bahkan persekusi.
”Media masih banyak yang enggan memberitakan fakta-fakta peminggiran hak dan penindasan kebebasan terhadap kelompok minoritas. Media baru mengangkatnya jika telah terjadi konflik dan kekerasan,” kata Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) Ahmad ”Alex” Junaidi dalam acara Diversity Awards 2021 bertajuk ”Pergulatan Minoritas di Tengah Pandemi”, yang digelar di Jakarta, Minggu (12/12/2021).
Mantan editor The Jakarta Post ini mengatakan, pemberitaan-pemberitaan media cenderung mengejar clickbait atau rating. Berita dibuat bombastis dan sensasional, tanpa menimbang dampak bagi korban atau kelompok minoritas, bahkan kerap mengeksploitasinya, sehingga situasi mereka menjadi semakin rentan.
”Di era digital, di mana media-media tidak ramah terhadap keberagaman, Sejuk melihat kerja-kerja jurnalistik selalu menghadirkan optimisme dengan bersetia pada peran edukasi dan watchdog yang mengabarkan keberagaman, memihak kelompok yang dipinggirkan,” tegas Alex Junaidi memberikan alasan pentingnya untuk memberikan menggelar Diversity Award.
Anugerah Diversity Awards yang digelar dua tahun sekali sejak 2014 ini memberikan penganugerahan karya-karya jurnalistik terbaik media di Indonesia dalam peliputan isu-isu keberagaman untuk kategori tulisan (cetak dan online/daring), audio (radio dan podcast/siniar), audiovisual (televisi dan produk audiovisual), foto jurnalistik, dan satu kategori tambahan yang baru: media sosial (influencer).
Dalam acara ini ditampilkan pula orasi kebudayaan oleh Dede Oetomo, pendiri dan pembina Yayasan Gaya Nusantara. Menjadi seorang gay yang beretnis Tionghoa di Indonesia tidak lantas membuat Dede meluapkan kemarahannya dengan hanya mengutuk diskriminasi, bahkan persekusi, yang dialami komunitasnya. Ia tetap mendorong dan mengajak agar lebih banyak pihak tidak berhenti pada sikap dan tindak toleran terhadap kalangan yang berbeda dan rentan, tetapi juga sampai pada penerimaan atas manusia, apa pun ekspresi dan identitasnya.
Sisi optimistis ini ditangkap juga oleh aktivis keberagaman senior Dede. Menurut dia, media adalah entitas sangat penting bagi komunitas LGBTIQ untuk menyuarakan aspirasinya.
”Kemitraan strategis dengan media dan lembaga ilmu pengetahuan yang menghargai dan menjunjung tinggi keberagaman itu sangat penting,” ujarnya.
Dede mengatakan, dalam memperjuangkan keberagaman perlu dicermati apakah kita mengusahakan inklusi atau penerimaan sepenuhnya. ”Kami menghargai pejuang media yang membagikan pemikiran tentang keberagaman, yang tak hanya soal agama dan etis, tapi tentang keberagaman orientasi seksual, kelompok gay atau LGBT. Kami menghargai Sejuk yang menghargai perjuangan kami,” katanya.
Ditampilkan pula film tentang anak-anak muda dari jemaah Ahmadiyah Lombok yang terpaksa belasan tahun tercerabut dari rumah dan kampung halamannya yang dibakar kelompok lain. Mereka dan keluarga tinggal di Wisma Transito di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
”Saya terus membayangkan, semoga bisa punya rumah sendiri. Ada kamar sendiri dan bisa membawa teman-teman main ke rumah,” kata Risha yang sejak usia lima tahun hingga kuliah mengungsi di Wisma Transito.
Sejuk dengan dukungan Kedutaan Besar Norwegia untuk Indonesia kembali memberikan penghargaan terhadap karya jurnalistik terbaik media-media di Indonesia. Dalam ajang dua tahunan ini, dewan juri Diversity Award 2021 memilih karya-karya jurnalistik dan influencer sebagai pemenang. Pemenang untuk kategori tulisan (cetak dan online) adalah Abdullah Fikri Ashri, wartawan harian Kompas, dengan tulisan berjudul ”Toleransi Tetap Bersemi meski Pandemi Mendera Kota Wali”.
Di kategori audiovisual (televisi dan produk audiovisual), gelar juara diraih Maryo Anugerah Sarong dari Kompas TV dengan judul ”Memupuk Toleransi Merawat Keberagaman”. Adapun kategori audio (radio dan podcast) dimenangi Dara Hanafi dan Laila Achmad dengan Kejar Paket Pintar: ”Mama-mama Tambora”
Selanjutnya, penghargaan kategori foto jurnalistik diraih Irwan Abdul Latif, freelancer AFP dan Metro TV, dengan judul foto ”Potret Pilu Penderita Gangguan Jiwa Hidup Dipasung”. Sementara penghargaan kategori media sosial diraih Kalis Mardiasih, aktivis perempuan, penulis buku, dan pengelola Kelas Kalis.
Ketua Tim Riset Diversity Award 2021 Ilham Khoiri menjelaskan, penyelenggaraan Diversity Award kempat sempat tertunda karena ada pandemi. Tema yang diusung adalah pergulatan minoritas. Ada 300-an karya yang diajukan dari jurnalis.
Tim juga mencari karya lain dan menemukan ada 100 lebih untuk memenuhi target Sejuk. Lalu, penghargaan dibagi dalam lima kategori, dengan tambahan media sosial.
”Semua kategori dicek dengan pertimbangan utama mengusung keberagaman dalam arti luas. Tidak hanya kebebasan beragama dan keyakinan, tapi juga penghargaan pada minoritas orientasi seksual, disabilitas, gangguan kejiwaan,” kata Ilham.
”Kami menelisik komitmen dari masing-masing peserta dengan blusukan ke akun media sosial. Apa selaras dengan tulisan atau posting-an lain. Akhirnya ada 25 nomine,” tambahnya.
Dalam sambutan atas penghargaan yang didapat, Kalis Mardiasih turut mengajak kelompok marjinal tetap positif untuk terus berjuang meskipun tantangannya tidak mudah. Kalau perjuangan perempuan saja membutuhkan 40 tahun (di Indonesia dimulai dari tahun 1980-an), bagaimana dengan kawan-kawan dari kelompok minoritas jender dan seksualitas?
”Jadi, jawaban saya atas pertanyaan dan keluhan dari kelompok minoritas jender yang kerap ditujukan kepada saya, masih banyak yang harus kita lakukan untuk memperjuangkan hak-hak kesetaraan jender dan seksualitas, apalagi menyatukan gerakan. Maka, produksi pengetahuan yang harus terus dilakukan, termasuk dengan memanfaatkan media sosial,” kata Kalis.