Jalur pendidikan nonformal menyasar bagi komunitas pedalaman di Jambi. Penyelenggaraannya fleksibel dari segi kurikulum, waktu, ataupun tempat. Guru dan siswanya pun tak perlu berseragam.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Pendidikan kian dirasakan penting untuk menyasar masyarakat di pedalaman. Mengenalkan angka dan huruf akan membantu warga komunitas tak lagi dibodoh-bodohi orang luar. Sekaligus mengantar mereka bertahan dan berdaya di tengah arus global.
Di Jambi, tiga komunitas adat di pedalaman belum mendapatkan layanan pendidikan maksimal. Mereka adalah Suku Orang Rimba yang menyebar di dalam dan sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas, Suku Talang Mamak di ekosistem Bukit Tigapuluh, dan Suku Batin Sembilan yang tinggal di sepanjang aliran sungai dalam hutan-hutan di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan.
Secara khusus, Orang Rimba merupakan suku yang paling belum merata menerima asupan pendidikan. Hasil survei Balai Taman Nasional Bukit Duabelas Tahun 2018 menunjukkan, baru 225 Orang Rimba mengenyam bangku pendidikan dari total populasi 2.777 jiwa yang menyebar dalam kawasan taman nasional. Itu berarti layanan pendidikan di kawasan itu baru menjangkau 8,10 persen.
Tahun 2018 menunjukkan, baru 225 Orang Rimba mengenyam bangku pendidikan dari total populasi 2.777 jiwa yang menyebar dalam kawasan taman nasional. Itu berarti layanan pendidikan di kawasan itu baru menjangkau 8,10 persen.
Mereka yang telah menerima pendidikan mayoritas di kelompok Tumenggung Nangkus sebanyak 120 orang dari 344 anggota kelompok atau 34,88 persen. Diikuti kelompok Tumenggung Bebayang 21,2 persen, kelompok Tumenggung Jelitai 12,6 persen, Tumenggung Bepayung 11,5 persen, Tumenggung Celitai 9 persen, Tumenggung Afrizal 6,7 persen, dan Tumenggung Nggrip 1,8 persen.
Tujuh kelompok lainnya belum tersentuh pendidikan. Mereka menyebar di wilayah pimpinan kelompok Tumenggung Girang, Meladang, Ngadap, Ngamal, Nyenong, dan Nyurau.
Data di atas menunjukan bahwa pendidikan belum memadai bagi komunitas pedalaman itu. Salah satu kendala yang dihadapi Orang Rimba untuk mendapatkan pendidikan adalah akses yang sulit dan jauhnya tempat tinggal mereka dengan fasilitas pendidikan.
Mereka yang tinggal paling dekat dengan pinggir hutan lebih mudah dijangkau pendidikan. Beberapa di antaranya mulai menetap di desa-desa sekitar, seperti pada kelompok Nangkus, Afrizal, dan Celitai.
Kepala Balai Taman Nasional Bukit Duabelas, Haidir, menceritakan, kondisi itu mendorong pihaknya mengupayakan pendidikan lebih merata bagi seluruh warga. Tujuannya agar mereka melek angka dan huruf, setara dengan warga negara lainnya.
Haidir menjelaskan, pendidikan yang dikembangkan berupa nonformal. Ada sekolah rimba dan mobile school. ”Jalur nonformal dipilih karena lebih fleksibel dari segi kurikulum, waktu, dan tempat,” kata Haidir, Senin (29/11/2021).
Di sekolah rimba dan mobile school, anak-anak diajarkan mengenal huruf dan angka. Belajar menulis, membaca, berhitung, serta pengetahuan umum yang kontekstual dengan kehidupan mereka. Uniknya, mereka juga memperdalam pengetahuan tentang adat istiadat. Sejumlah tetua adat dilibatkan dalam proses belajar-mengajar ini. Mereka memberikan materi adat istiadat Orang Rimba kepada anak-anak.
Saat ini sudah ada enam sekolah rimba yang dirintis balai. Salah satunya, Sekolah Rimba Kejasung, berlokasi di Kabupaten Batanghari. Sekolah itu diselenggarakan untuk mengasup pendidikan bagi kelompok pimpinan Tumenggung Celitai.
Kelompok itu telah dimukimkan oleh Kementerian Sosial pada 2010. Sayangnya, permukiman belum dilengkapi sarana pendidikan. Bangunan sekolah sebagai ruang kelas diusahakan secara swadaya oleh kelompok Temenggung Celitai. Kelasnya berupa bangunan belum berdinding dari kayu.
Meskipun kelompok Celitai sudah hidup menetap, mereka masih mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupan. Sebab, tiada mata pencarian yang bisa didapat di sekitar permukiman.
Saat orangtuanya melangun (berpindah tempat sebagai tanda dukacita akibat kematian anggota kelompok) atau mencari hasil hutan, anak-anak terpaksa ikut pindah. Dalam kondisi itu, diadakan pula sekolah berpindah atau mobile school.
Ada pula Sekolah Rimbo Pintar Sungai Kuning, Sekolah Rimba Sako Selensing, Sekolah Rimba Terap Serengam, Sekolah Rimba Talang Kayu Bulan, dan Sekolah Rimba Sako Ninik Tuo.
Untuk mobile school, lanjutnya, petugas pendidikan akan mendekati kelompok yang tengah berduka itu. Asupan pendidikan di tempat yang baru sekaligus menjadi bagian dari penghiburan. Namun, mobile school tidak hanya dikhususkan untuk anak-anak yang sedang melangun, tetapi juga bagi para orangtua yang belum tersentuh pendidikan.
Sukarelawan guru yang mengajar di Sekolah Rimba Terap Serengam, Ahmad Aswir, menceritakan, untuk mencapai sekolah yang berdiri sejak 2019 itu, ia harus melintasi jalan setapak yang licin menembus hutan. Tugasnya mengajar berlangsung tiga kali dalam satu pekan, yakni Senin, Rabu, dan Sabtu. ”Muridnya berjumlah 30 orang,” ujarnya.
Menjadi guru di pedalaman, diakui Aswir, tidak sepopuler menjadi guru sekolah formal. Namun, baginya, seorang guru dinilai bukan dari sejauh mana penampilannya, melainkan sejauh mana pengabdiannya.
Ia pun kerap mendapati tidak ada satu pun anak setibanya di sekolah. Rupanya, mereka sedang melangun. Tantangan lainnya adalah masih ada beberapa kelompok yang belum memperbolehkan anak-anak mengikuti kegiatan belajar- mengajar di sekolah rimba karena dianggap mencampakkan (melanggar) adat.
Ada pula anggapan orangtua, jika anak-anak bersekolah, tidak dapat lagi membantu orangtuanya mencari kehidupan. Di sinilah peran guru dan pendamping kelompok mengadakan pendekatan dengan para orangtua.