Pendidikan alternatif terus diupayakan demi menjangkau anak-anak yang hidup di wilayah pedalaman Jambi. Para guru adaptif mengambil peran penting di dalamnya.
Oleh
Irma Tambunan
·5 menit baca
Kedatangan “Cikgu” disambut gembira anak-anak komunitas adat Batin Sembilan di pedalaman Jambi. Hampir sepekan menanti, jadwal Sekolah Besamo akhirnya kembali digelar.
Cikgu (guru) Teguh telah bermalam di kamp Hutan Harapan yang lokasinya dekat dengan permukiman komunitas tersebut di wilayah Kelompang, Kabupaten Batanghari, Jambi. Sedangkan Cikgu Rio sejak pagi-pagi sekali berangkat dari rumahnya di wilayah Bungku, menempuh perjalanan 40 kilometer bermedan terjal. Lumpur menghadangnya karena hujan semalaman.
Sekitar pukul 08.00 WIB, segala rintangan selesai dilalui. Kedua guru siap mengajar, Jumat (26/11/2021).
Anak-anak menyebut para gurunya Cikgu. Mereka paling suka belajar berhitung dan belajar tentang tumbuh-tumbuhan di alam terbuka. Teguh dan Rio menuruti kemauan mereka. Yang penting anak-anak semangat menimba ilmu.
Saking semangatnya, cikgu dibuat kewalahan karena anak-anak cepat selesai, lalu berebut minta dikoreksi. Selanjutnya meminta lagi soal-soal baru.
“Cikgu, berikan soal lagi,” desak Elisa (11), salah seorang anak.
Teguh dan Rio merupakan guru kelas jauh SDN 49 Bungku, yang diberi nama Sekolah Besamo. Sekolahnya berada dalam kawasan Hutan Harapandi pedalaman Jambi dan Sumatera Selatan. Siswanya berjumlah 60-an. Berasal dari Suku Batin Sembilan yang mendiami sepanjang tepi aliran-aliran sungai.
Anak-anak itu datang dari beragam usia. Agar dapat mengawal pendidikan setempat, kedua guru berbagi tugas. Rio mengajar siswa Kelas I hingga Kelas III, sedangkan Teguh membimbing Kelas IV hingga VI.
Di tengah keterbatasan, guru dan siswa saling beradaptasi. Belajar dimana saja dalam waktu yang tidak dibatasi. Baik guru maupun siswa tak berseragam. Guru datang dengan sepatu boot-nya yang belepotan lumpur. Anak-anak tetap menyambutnya.
Di tengah keterbatasan, guru dan siswa saling beradaptasi. Belajar dimana saja dalam waktu yang tidak dibatasi. Baik guru maupun siswa tak berseragam. Guru datang dengan sepatu boot-nya yang belepotan lumpur. Anak-anak tetap menyambutnya.
Sebelum masa pandemi Covid-19, pembelajaran dipusatkan pada salah satu lokasi dekat kamp hutan. Setiap hari, para guru perlu menjemput anak-anak dari pondok ke pondok, lalu membawanya ke tempat belajar. Penjemputan harus dilakukan karena sebagian orangtua tak dapat mengantar anaknya karena harus manda, berburu dan mengumpulkan hasil hutan untuk waktu tertentu. Hasil hutan akan dijual ke pasar untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Jalanan terjal yang dilalui penuh lubang dan berlumpur di tengah rimba itu. Sedangkan tempat tinggal anak-anak saling berjauhan di tengah hutan. Proses penjemputan cukup menyita waktu. Setelah semua telah berkumpul, barulah pelajaran dimulai.
Para guru mengubah strategi ketika pandemi meningkat di pertengahan tahun lalu. Kelas dipecah per kelompok wilayah. Guru langsung mengajar pada kelompok-kelompok kecil. Karena banyaknya lokasi yang harus dikunjungi guru, setiap anak hanya mendapatkan kunjungan dua hari dalam sepekan. “Soalnya cikgu harus mengajar berkeliling dari satu kelompok ke kelompok lain,” kata Teguh.
Anak Rimba
Meskipun berat dijalani, keduanya tetap setiap mengawal pendidikan adaptif bagi komunitas adat itu. Hal serupa dilakoni pula guru-guru rimba di Bukit Duabelas. Guru menjangkau muridnya. Mereka lalu belajar dimana saja. Di bawah pohon ataupun di pinggir sungai. “Di manapun bisa menjadi ruang kelas kami untuk belajar,” kata Yohana Marpaung, guru rimba dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi itu.
Dalam rimba, mereka nyaris tidak mematok waktu. Belajar bisa kapan saja. Anak-anak malah kerap belajar serius pada malam hari. Yohana semula kesulitan beradaptasi dengan situasi yang tak menentu itu. “Pernah di tengah malam kami dibangunkan. Anak-anak minta belajar. Lalu kami nyalakan kayu bakar untuk memberi penerangan saat mereka belajar,” kisahnya.
Selama masa pandemik, Orang Rimba menjalankan tradisi jaga jarak Besesandingon. Ia pun menunggu sampai anak-anak diizinkan orangtuanya belajar bersama guru.
Sekolah di tengah rimba lebih menyenangkan. Kadang-kadang mereka belajar sembari memancing. Selepas belajar, mereka membakar ikan, lalu makan bersama.
Berbeda dengan di dalam hutan, kondisi anak-anak rimba yang kehilangan hutan lebih miris. Karena tak punya lahan, kelompok itu harus menumpang hidup di perkebunan kelapa sawit perusahaan. Pondok-pondok sederhana lalu dibangun di bawah pohon-pohon sawit. Di situlah mereka membangun tempat belajar.
Menurut guru rimba lainnya, Maknun, mengajar anak rimba yang berada di sawitan lebih berat. Sebab, mobilitas orangtuanya lebih tinggi. Mereka harus pindah setiap kali diusir pengelola kebun. Seringkali guru datang, tempatnya sudah kosong.
Demi tekad mengejar murid-muridnya, mereka lalu bertanya orang-orang di dusun dan mencari keberadaan siswanya. Pernah satu kali ia berhasil menemui salah satu kelompok yang berpindah. Ketika bertemu lagi, anak-anak sudah lupa dengan pelajaran huruf dan angka. Sehingga harus mengulang lagi dari awal.
Belakangan ini, program-program pendidikan bagi masyarakat pedalaman semakin luas difasilitasi baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Jika dulu Orang Rimba harus keluar hutan agar dapat belajar di sekolah, kini sejumlah program dikemas lebih ramah bagi mereka. Diselenggarakan dengan program sekolah berpindah.
Tempat penyelenggaraannya tidak tersekat oleh dinding kelas, tetapi dapat berlangsung di tengah hutan, di bawah pohon rindang atau di atas rerumputan. Siswanya tak perlu berseragam. Sedangkan para guru rela mengikuti siswanya menetap di hutan untuk waktu tertentu. “Pembelajarannya juga berjalan dalam konteks lokalitas,” kata Haidir, Kepala Balai Taman Nasional Bukit Duabelas.
Pihaknya mengusung dua program pendidikan non formal, yakni "mobile school" dan Sekolah Rimba. Mobile School diselenggarakan bagi kelompok yang tengah berpindah. Saat ada kelompok menjalankan tradisi melangun (pindah tempat karena berduka ada anggota kelompok yang meninggal) petugas pendidikan akan mendekati kelompok yang tengah berduka itu. Asupan pendidikan di tempat yang baru sekaligus menjadi bagian dari penghiburan.
Sedangkan Sekolah Rimba dibangun dalam kawasan taman nasional dengan bangunan sederhana dari kayu. Di Kelompok Tumenggung Bepayung yang belum tersentuh pendidikan, telah bangunan sekolah berukuran 6x6 meter. Tenaga pengajar didatangkan dari kader konservasi Balai TNBD.