Adat dijunjung, tak hendak dilawan. Perjuangan Besiap mengajar anak-anak di rimba Bukit Duabelas bagai berkejaran dengan waktu.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Seumur hidupnya, Besiap tak pernah tahu bagaimana rasanya belajar di atas bangku kelas. Pendidikan formal tak pernah mampu ia raih. Namun, semangat belajar yang terus menyala akhirnya membawa mimpinya terwujud untuk menjadi guru.
Berbeda dengan guru-guru kebanyakan, Besiap sehari-harinya mengajar jauh di tengah rimba. Ruang kelasnya beralas rerumputan di bawah pohon rindang. Papan tulisnya adalah bilah-bilah kayu atau kardus dan kertas bekas. Sementara, alat peraga memanfaatkan beragam jenis akar, ranting, dan kayu yang tersedia dalam hutan. Para siswanya bercawat atau bersarung. Tanpa alas kaki.
”Piado masalah, sokola bisa dimono bae (Tak ada masalah, sekolah bisa di mana saja,” katanya.
Dua tahun terakhir, ia mengajari puluhan anak komunitas Orang Rimba di wilayah Sungai Terab, Taman Nasional Bukit Duabelas, Kabupaten Batanghari, Jambi. Beberapa dari muridnya telah mahir membaca, menulis, ataupun berhitung. Pada tahun ajaran mendatang, empat siswanya pun berharap dapat melanjutkan dengan pendidikan formal. Namun, keinginan tersebut belum dapat terpenuhi karena keluarga mereka belum terdaftar dalam data induk kependudukan.
Karena belum mengenal sekolah formal, belajar di tengah rimba bisa berlangsung di mana saja dan kapan saja. Aktivitas itu menyesuaikan dengan tradisi Orang Rimba yang semi nomadik. Dalam kondisi normal, mereka hidup menetap. Saat ada peristiwa kematian, kelompok itu pun melangun, yakni meninggalkan tempat lama dan kesedihan untuk menjelajah kehidupan di tempat yang baru.
Kondisi Orang Rimba yang kerap berkelana itu sering kali jadi halangan untuk diakui sebagai penduduk di satu wilayah tertentu dan untuk terdaftar di satu sekolah tertentu. Namun, dengan adanya sekolah rimba, guru yang merupakan anggota komunitas itu sendiri tak perlu meninggalkan kelompoknya. Ia bahkan dapat menggelar tempat belajar di mana saja. Jam sekolah bagaikan tak ada batasnya.
Menjadi guru adalah mimpi besar Besiap sejak masih kecil. Pertama kali ia melihat seorang tamu, sukarelawan komunitas konservasi, berkunjung untuk waktu cukup lama di komunitas itu. Ia terkagum-kagum karena sang tamu mengajarinya banyak hal. Pertemuan itu bahkan membawa mimpinya melambung ingin menjadi guru.
Ketika saatnya sang tamu harus bertolak pulang, Besiap masih ingin belajar dengannya. Tatkala mengetahui tamunya ternyata telah pergi, ia pun lari mengejarnya bersama dua teman lain. Beruntung mereka masih dapat mengejar sang tamu yang kemudian membawanya ke Kota Jambi untuk belajar di rumah indekosnya.
Perkenalan dengan ilmu membawa hasratnya belajar terus menyala. Satu ketika, lembaga konservasi tadi mengirimkan seorang guru sukarelawan baru untuk mengajar di Sungai Terab. Baru tiga hari mengajar, tiba-tiba terjadi peristiwa dukacita. Semua anggota kelompok itu harus menjalankan tradisi melangun. Alhasil mereka pergi meninggalkan guru tersebut. Sewaktu menyadari gurunya tertinggal di tempat yang lama, Besiap diam-diam berbalik arah. Ia lari menjemput sang guru.
Berkejaran waktu
Dari sekitar 3.600 warga yang menempati wilayah Bukit Duabelas, baru 25 persen yang mengenyam belajar baca tulis dan hitung secara formal maupun nonformal. Dari situ, yang masuk sekolah dasar (SD) 315 orang dan sekolah menengah pertama (SMP) 20 orang. Sementara yang berhasil sampai pada tingkat sekolah menengah atas (SMA) hanya 8 anak.
Besiap sendiri tak pernah mengenyam pendidikan formal karena dilarang orangtua. Di masa lalu, adat setempat masih menganggap bersekolah sebagai hal tabu. Sekolah dianggap sebagai budaya luar. Para tetua adat khawatir jika anak-anak sudah pintar melampaui orangtuanya, akan cenderung mengikis atau bahkan melawan adat.
Aturan adat baru melonggar 10 hingga 15 tahun terakhir seiring masuknya gerakan literasi di kawasan pedalaman. Besiap sendiri mulai gencar belajar sepeninggal ayahnya. Sejak itu pula, ia kerap mengemukakan cita-citanya menjadi guru. Besiap ingin turut memberdayakan sesamanya agar tak lagi dianggap lebih rendah dari masyarakat luar.
Karena melihat semangatnya yang besar, lembaga tersebut lalu melatihnya untuk mengajar. Tak butuh waktu lama untuk berproses. Dalam waktu singkat, ia fasih mengajar anak-anak, mulai dari membaca, menulis, berhitung, dan juga mendongeng.
Di masa kini, pendidikan formal bagi komunitas pedalaman itu terus diperjuangkan. Namun, di sisi lain, harus pula diakui butuh waktu panjang bagi para orangtua di komunitas itu untuk seluruhnya menerima masuknya pendidikan. Bagaimanapun, masih ada sejumlah batasan. Misalnya, anak-anak perempuan yang mulai memasuki masa remaja, ditandai dengan naiknya kain hingga menutup bagian dada, akan dilarang mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Penerapan aturan adat bagi kaum perempuan Rimba bagaikan, ”Tak lapuk di hujan, tak lekang dipanai (panas)”.
Aturan adat melekat kuat. khususnya pada perempuan Rimba. Mereka yang melanggar diyakini mendapat ganjaran alam. ”Ke pucuk tidak berpanai. Ke bawah tidak berurat. Di tengah dikuku kumbang. Ke air ditangkap buaya. Ke darat ditangkap harimau.” Sedikit banyak pesan di atas termasuk menyatakan bahwa mereka yang melanggar aturan adat akan terancam maut, ke mana pun melangkah.
Besiar menyadari adat dijunjung, tak hendak dilawan. Ia pun berjuang bagai berkejaran dengan waktu. Selagi kain anak-anak belum naik ke atas dada, ia pun berupaya mengajar anak-anak semampunya. Paling tidak, hingga mereka dapat membaca, menulis, dan berhitung.