Usut secara Serius Kasus Dugaan Perundungan dan Pelecehan Seksual di KPI
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan serangkaian tes psikologi, pernyataan MS dapat dipercaya bahwa dia mengalami pelecehan seksual dan perundungan di kantor KPI Pusat.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI Pusat, Kementerian Komunikasi dan Informatika, hingga Kepolisian Daerah Metro Jaya untuk menindaklanjuti secara serius kasus dugaan perundungan dan pelecehan seksual yang menimpa MS. Korban mengalami trauma yang berdampak pada kesehatan dan psikis dirinya.
Di acara Peluncuran Hasil Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM RI: Dugaan Peristiwa Perundungan dan Pelecehan Seksual di Lingkungan KPI Pusat, Senin (29/11/2021), Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan, kajian beberapa psikolog menunjukkan hasil sama, bahwa MS yang berjenis kelamin laki-laki ini mengalami post traumatic stress disorder (PTSD) berdasarkan diagnostic and statistical manual of mental disorder (DSM) 5.
Trauma tersebut berdasarkan pada perlakuan pelecehan seksual yang pernah menimpanya saat menjadi staf visual data KPI Pusat. Dia juga mengalami perundungan secara fisik dan verbal yang membuatnya merasa terancam.
Sering MS datang lebih pagi ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya, atau saat istirahat menghindar dengan berada di mushala agar terhindar dari perundungan dan kekerasan.
Saat masih bekerja di kantor tersebut, dirinya mencoba menghindar dari perlakuan buruk sejumlah rekan kerjanya. Sering MS datang lebih pagi ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya, atau saat istirahat menghindar dengan berada di mushala agar terhindar dari perundungan dan kekerasan.
Korban MS mengalami pelecehan sekitar tahun 2015 di gedung KPI lama. Perundungan terhadap dirinya terus berlanjut. Perlakuan tidak sepantasnya dari rekan-rekan kerjanya tersebut membuat MS stres berat, ditambah trauma karena pelecehan seksual dari rekan kerja laki-laki di kantornya.
Sudah melaporkan
Bahkan, MS sudah mencoba mencari pertolongan dengan pemeriksaan psikolog/psikiater. Di tahun 2017, MS pernah mengirim surat elektronik kepada Komnas HAM, lalu direspons bahwa kasusnya tersebut masuk tindak pidana sehingga seharusnya dilaporkan ke polisi. MS juga mencoba mengadukan ke rekan kerja dan atasan di KPI. Atasan mencari solusi dengan memindahkan ruang kerja korban dengan terduga pelaku.
Lalu, MS melapor ke Polsek Gambir pada tahun 2019. Akibat dinilai tidak ada barang bukti dan dokumen, laporannya tidak ditindaklanjuti. MS melaporkan kembali kasusnya pada tahun 2020, tapi lagi-lagi disarankan untuk mengadu ke atasan. Padahal, saat itu, ia sudah membawa hasil pemeriksaan kondisi kesehatan dan psikisnya dari rumah sakit.
Peristiwa MS tersebut kemudian muncul ke permukaan. Lalu, MS dan pengacaranya melaporkan dugaan perundungan dan pelecehan seksual yang dialaminya ke Komnas HAM pada 6 September 2021. Laporan ditindakanjuti Komnas HAM dari 7 September hingga 1 November 2021 melalui penyelidikan.
Sampai laporan ini dibuat, Komnas HAM sudah meminta keterangan dari 12 pegawai KPI Pusat, dua di antaranya dilakukan dua kali untuk pendalaman. Ada juga pengumpulan data dari pihak Polres Jakarta Pusat, Kominfo, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LSPK), psikolog, psikiater, hingga koalisi masyarakat sipil peduli kasus KPI.
”Berdasarkan hasil pemeriksaan dan serangkaian tes psikologi, pernyataan MS dapat dipercaya bahwa dia mengalami pelecehan seksual dan perundungan di kantor KPI Pusat,” kata Beka.
Tidak berpura-pura
Psikolog/Tim Penyidik Ahli Komnas HAM, Zoya Amirin, mengatakan, dari laporan klinis dan wawancara dengan psikolog yang pernah memeriksa MS, secara konsisten MS mengalami PTSD dari tahun 2019-2021. ”Kalau dia memalsukan beberapa kondisi atau keadaan sebagai histeria atau stres serta masalah, dia enggak mendapat keuntungan dari kepura-puraan,” kata Zoya.
Zoya menjelaskan bahwa MS mengalami PTSD berdasarkan DSM kelima, artinya ia terpapar dengan hal yang membuat trauma, baik langsung ataupun tidak langsung dari orang terdekat. Selama dijauhkan dari hal yang memicu trauma, MS bisa biasa-biasa saja.
Sebenarnya, MS sudah trauma sejak tahun 2005, tetapi sebagai individu yang tertutup, dia terbiasa menghindar dan berpikir akan bisa hilang sendiri. Namun, kenyataannya tidak bisa sehingga MS kemudian minta bantuan psikolog/psikiater.
Ada dampak trauma, emosi, hingga sakit fisik pada MS. Ketika kasusnya diketahui secara luas, ada ketidaksiapan juga mendapat dukungan dan respons banyak orang. Namun, dengan lingkungan yang mendukung, MS mampu menghadapi kasusnya.
Menurut Beka, ada pelanggaran HAM terhadap hak-hak MS terkait hak atas rasa aman, bebas dari ancaman kekerasan, dan perlakuan layak. Harkat dan martabatnya sebagai manusia dilanggar karena peristiwa perundungan dan pelecehan seksual. Hal ini berdampak pada hak kesehatan dirinya yang mengalami stres, salah satunya mengakibatkan ketidakharmonisan di dalam keluarga.
”Kami minta kepada Ketua KPI Pusat memberikan dukungan pada MS secara moril dan mekanisme kebijakan pemulihan korban. KPI juga harus bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mempercepat proses penegakan hukum,” kata Beka.
Beka mengatakan, pencegahan dan penanganan kasus perundungan dan pelecehan seksual di instansi harus ada standar prosedurnya dan edukasi kepada semua. Kepolisian pun diminta untuk bisa mengembangkan wawasan dan kemampuan aparatnya dalam menangani laporan kasus perundungan dan pelecehan seksual.