Candi Borobudur menyimpan pengetahuan tentang pangan lokal. Hal itu sekaligus menunjukkan ketahanan pangan masyarakat pada abad ke-8 dan ke-9.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Kemegahan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, tidak terbatas hanya pada visual dan dimensinya. Borobudur pun megah karena menyimpan pengetahuan dari beberapa abad silam. Salah satu pengetahuan yang dituliskan Borobudur dalam reliefnya adalah soal pangan.
Candi Borobudur terdiri dari 1.460 relief yang dapat dibaca searah jarum jam. Jumlah relief sama dengan jumlah hari dalam setahun dikali empat. Artinya, seseorang butuh waktu empat tahun untuk membaca seluruh relief yang ada di Candi Borobudur.
Relief-relief tersebut menggambarkan kehidupan di masa lampau, tepatnya di sekitar abad ke-8 dan ke-9. Selain itu, relief menjadi sumber inspirasi masyarakat sekitar untuk menjalani keseharian mereka, seperti untuk mendirikan bangunan, berpakaian, meracik makanan, hingga menyajikan makanan.
Cerita ini dikemas dalam pertunjukan digital Lingsir Wengi (Borobudur), salah satu acara ragam atau variety show di rangkaian acara Pekan Kebudayaan Nasional 2021. Lingsir Wengi (Borobudur) karya sutradara Hanung Bramantyo ini dapat ditonton secara daring melalui laman pkn.id maupun Youtube sejak 23 November 2021.
Menurut filolog Sugi Lanus, Candi Borobudur berlimpah data tentang sumber pangan lokal. Ada banyak pahatan biji-bijian pada relief candi. Hal ini menunjukkan kekayaan sumber pangan lokal, sementara kini hanya ada beberapa pangan yang mendominasi, misalnya beras.
Pendiri Javara dan Sekolah Seniman Pangan Indonesia Heliyanti Hilman menjelaskan, relief pada Candi Borobudur sangat realis. Guratan garis-garisnya jelas ketika menggambarkan tanaman pangan sehingga proses identifikasi pangan bisa dilakukan. Setidaknya ada 150 jenis tanaman pangan pada relief Borobudur antara lain kluwih, kelapa, dan sukun.
Menurut Sugi dan Heliyanti, relief tanaman pangan tersebut mencerminkan ekosistem pada masa lalu. Hal itu juga mencerminkan ketahanan pangan di abad ke-8 dan ke-9.
Pada salah satu relief, publik bisa menemukan sekul paripurna yang dinilai serupa dengan tumpeng yang ditemukan di masa sekarang. Adapun bahan makanan yang tersaji pada sekul paripurna umumnya diambil dari lingkungan sekitar. ”Paripurna itu berarti kesempurnaan. Artinya representasi dari ekosistem dan ragam vegetasi itu ada dalam satu sajian,” kata Heliyanti.
Kekayaan sumber pangan lokal pada masa itu diikuti juga dengan ilmu titen yang diwariskan secara turun-temurun. Ilmu titen secara sederhana adalah kemampuan membaca tanda-tanda alam. Ilmu ini berguna dalam hal pertanian sehingga hasil panen pun baik.
Resep warisan
Keragaman pangan lokal tersebut kemudian diolah menjadi makanan. Resep dan tradisi memasak diwariskan secara turun-temurun dari anggota keluarga yang lebih tua ke yang muda. Memasak pun menjadi kegiatan yang sarat kearifan lokal. Namun, tidak banyak catatan resep tradisional yang bisa ditemukan karena budaya literasi di masa lalu masih minim.
Relief tanaman pangan tersebut mencerminkan ekosistem pada masa lalu. Hal itu juga mencerminkan ketahanan pangan di abad ke-8 dan ke-9.
Hilangnya resep tradisional juga berhubungan dengan urbanisasi dan globalisasi. Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengatakan, urbanisasi dan globalisasi membawa masyarakat ke budaya modern. Hal ini berpengaruh pada preservasi budaya pangan lokal.
Hilangnya resep tradisional dan budaya memasak pangan lokal dinilai bakal memperburuk kemampuan masyarakat untuk bertahan hidup. Ini karena ada potensi ketergantungan pada produk pangan eksternal, bukan sumber lokal. Hilmar menambahkan, ketergantungan tersebut pada akhirnya berhubungan dengan perubahan iklim.
”Kami percaya bahwa tindakan sederhana seperti menyelamatkan resep asli, mencatat masakan nenek atau ibu kita adalah tindakan pelestarian budaya. Itu mungkin berdampak pada budaya kuliner dan ketahanan pangan masyarakat setempat,” kata Hilmar pada diskusi daring, Senin (15/11/2021).