Meski jumlah warga lanjut usia membesar, jumlah layanan kesehatan dan sosial mereka terbatas. Digitalisasi layanan bisa menjadi solusi tetapi terkendala oleh rendahnya literasi digital pada warga lansia.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mulai tahun ini, Indonesia memasuki struktur penduduk tua dengan 10 persen lebih penduduknya berumur lebih dari 60 tahun. Sebagian besar penduduk senior itu belum punya akses terhadap berbagai layanan kesehatan dan sosial. Untuk itu, pemerintah mengembangkan sistem layanan digital hingga bisa menjangkau warga lanjut usia lebih luas.
Dibandingkan negara maju, persentase penduduk lansia di Indonesia relatif lebih rendah. Namun, karena jumlah penduduk Indonesia adalah yang terbesar keempat di dunia, maka jumlah penduduk lansia yang dimiliki menjadi sangat besar.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam peluncuran Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Kelanjutusiaan di Jakarta, Kamis (18/11/2021), mengatakan, perubahan struktur penduduk itu menjadi bukti keberhasilan pembangunan yang membuat umur harapan hidup masyarakat makin panjang.
”Namun, perubahan ini juga memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi bukan hanya pada penduduk lansia, melainkan juga bagi masyarakat luas yang sekaligus menjadi peluang dan tantangan,” katanya.
Sensus Penduduk 2020 menyebut ada 26,84 juta orang lansia atau 9,93 persen dari 270,2 juta penduduk Indonesia. Jumlah penduduk lansia Indonesia itu lebih besar dari jumlah seluruh penduduk Australia. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 memperkirakan akan ada 33,69 juta orang lansia pada 2025 dan 48,19 juta orang lansia pada 2035. Selain itu, jumlah penduduk lansia diprediksi mencapai 64,1 juta orang pada 2045.
Sementara Pendataan Keluarga 2021 menunjukkan ada 16,6 juta keluarga memiliki orang lansia dari 65,48 juta keluarga. Jumlah keluarga dengan orang lansia itu lebih besar dibandingkan jumlah keluarga dengan anak berumur kurang dari lima tahun (balita) sebesar 14,85 juta keluarga.
Suharso mengakui, banyak penduduk lansia belum memiliki akses layanan kesehatan dan perlindungan sosial. Sebagian besar penduduk lansia tidak memiliki jaminan hari tua atau uang pensiun serta tidak punya akses layanan perawatan jangka panjang.
Jumlah perempuan lansia lebih besar daripada laki-laki lansia. Banyak di antara mereka tinggal sendiri karena terpisah dengan anak yang hidup merantau. Mereka umumnya juga memiliki status kesehatan buruk, rentan mengalami kekerasan, tempat tinggal tidak layak huni, serta tidak memiliki penghasilan hingga rentan miskin.
”Terbitnya PP No 88/2021 pada September lalu menjadi komitmen pemerintah untuk mewujudkan penduduk lansia yang sejahtera, mandiri, dan bermartabat,” katanya.
Untuk memperluas berbagai layanan terhadap penduduk lansia tersebut, Bappenas sejak tahun 2015 menginisiasi sistem informasi dalam platform digital yang dinamai Sistem Informasi Lansia (Silani). Sistem ini menggabungkan berbagai program kelanjutusiaan yang tersebar di Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, serta Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Sistem ini sedang diuji coba di sejumlah desa atau kelurahan di DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, dan sejumlah daerah lain. Sistem ini bisa digunakan untuk memutakhirkan data orang lansia, memberikan layanan kesehatan, termasuk pendaftaran layanan rujukan, serta menghubungkan orang lansia dengan pendamping lansia di daerah mereka.
Namun, penggunaan teknologi digital ini dinilai sebagian kalangan jauh dari kondisi riil penduduk lansia Indonesia saat ini yang umumnya berpendidikan rendah, bahkan sebagian tidak bisa membaca dan menulis. Banyak pula warga lansia tidak memiliki telepon seluler, tinggal di perdesaan dan pelosok yang terbatas jaringan telekomunikasinya, dan rendah literasi digitalnya.
Belum lagi menurunnya kemampuan fisik dan kognitif penduduk lansia membuat proses adaptasi dengan teknologi menjadi lebih sulit. Saat menggunakan telepon seluler, banyak warga lansia harus dibantu oleh orang lain.
”Siapkan penduduk lansia dengan proses digitalisasi,” kata pegiat lansia yang juga sukarelawan Rumah Zakat Desa Berdaya Tegalurung, Indramayu, Jawa Barat, Lastri Mulyani.
Hal senada diungkapkan Sekretaris Majelis Kesejahteraan Sosial Pimpinan Pusat Aisyiyah, Siti Asfiyah. Meski Silani dibutuhkan, keragaman kondisi dan latar belakang penduduk lansia perlu menjadi perhatian. Pelibatan rumah sakit dan organisasi masyarakat sipil yang selama ini memiliki banyak program untuk warga lansia juga perlu ditingkatkan.
”Terlebih, banyak organisasi masyarakat sipil yang justru memiliki peran besar di daerah marjinal,” katanya.
Banyak organisasi masyarakat sipil yang justru memiliki peran besar di daerah marjinal.
Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas Maliki menilai Silani justru bisa mendekatkan akses layanan penduduk lansia dari pemerintah kepada masyarakat. Pemerintah juga bisa mendapatkan aspirasi dari penduduk lansia, mulai dari keinginan mereka untuk bekerja, terus belajar, infrastruktur dan fasilitas publik yang ramah lansia, hingga kebutuhan akan wisata.
Selama pandemi Covid-19, sistem ini juga bisa digunakan untuk melacak penularan Covid-19, pemberian bantuan sosial, hingga vaksinasi.
”Silani dirancang bukan hanya untuk warga lansia, tetapi juga untuk anggota keluarganya sehingga bisa meningkatkan hubungan antargenerasi,” katanya. Jika warga lansia tersebut tinggal sendiri, mereka akan terhubung dengan komunitas terdekatnya.
Ke depan, katanya Maliki, Silani akan terus diperbaiki hingga bisa memberikan layanan kepada penduduk lansia secara komprehensif. Selain mengintegrasikan berbagai program kementerian dan lembaga untuk penduduk lansia, sistem ini juga bisa mengakomodasi program pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil.
Perbaikan sistem ini mutlak diperlukan karena jumlah penduduk lansia dipastikan akan terus bertambah dan literasi digital mereka akan makin berkembang seiring masuknya penduduk lansia baru dengan tingkat pendidikan lebih baik dan lebih melek teknologi.
Direktur Medis Good Doctor Technology Indonesia Adhiatma Gunawan menambahkan, penggunaan teknologi digital bisa meningkatkan layanan kesehatan hingga ke pelosok Indonesia hingga semua orang bisa mengakses layanan. Keterbatasan internet dan layanan teknologi komunikasi memang menjadi kendala, tetapi persoalan ini diyakini bisa teratasi 5-10 tahun ke depan mengingat pertumbuhan teknologi internet yang eksponensial.
”Teknologi membuat semua orang bisa mengakses layanan kesehatan dan mengurangi biaya layanan hingga menjadi lebih efisien tanpa harus mengurangi kualitas layanan,” katanya. Namun, keterbatasan literasi digital masyarakat, khususnya penduduk lansia, yang saat ini terjadi dan membuat layanan tidak optimal diberikan perlu segara diatasi.